iii. RASA BENCI DAN PENCIPTANYA

Mendengar perkataan lelaki itu, mata Minara semakin berkedut dan tangannya terkepal erat. Kalau saja dia sedang memegang pisau dan Minara tidak sedang dalam keadaan berlutut seperti orang yang meminta pengampunan dari sang lawan tatapnya, dia akan langsung menancapkannya di leher orang ini, agar dia segera terkapar ke tanah dengan mengenaskan.

"Itu." Lelaki itu berkata lagi.

Wajahnya penuh rasa puas, yang membuat Minara semakin—sebentar. Apakah dia baru saja akan mengatakan dia merasa... jengkel?

Sang lelaki tertawa terbahak-bahak menemukan apa yang dia inginkan dari Minara dan bertepuk tangan sendiri, bangkit dari duduknya, dan menatap Minara ke bawah selayaknya raja menatap pelayan-pelayan mereka.

"Minara Widari membenciku. Rasanya memuaskan melihatmu teronggok di bawah sana, menatapku ke atas sini seperti kau hanyalah sampah istana."

"Aku bukan sampahmu." Dia menggertakkan giginya.

Kalau lelaki itu senang melihatnya penuh benci, Minara akan dengan senang hati memberikannya.

"Kau mau bilang kau sudah menjadi sampah istana ini? Oh, tidak, Minara. Mereka tidak menganggapmu ada. Kau hanya hantu-hantu yang tak pernah nyata. Kau bukan sampah mereka, tetapi milikku." Tawanya kecil.

Saat dia berjalan melalui Minara, gadis itu pikir orang ini akan pergi meninggalkannya. Kalau memang itu bisa mematahkan efek sihir entah macam apa saja yang dia gunakan pada Minara, dia lebih memilih itu.

Tetapi, tidak. Cowok itu menarik rambut Minara yang diikat dalam sanggul rapi, membuat gadis itu mau tak mau melihat mata lawan tatapnya.

"Aku tahu kau butuh atensi semua orang, tapi kau juga butuh aku untuk tetap menatapmu?" tanya Minara, mencibir.

Orang berkulit sawo matang yang menarik rambutnya sampai-sampai ia bisa merasakannya mulai terkulai satu-persatu itu menatapnya tanpa ekspresi.

Meski demikian, tarikannya di rambut Minara semakin kuat, memaksa Minara untuk berjengit dan menggigit bibirnya agar tidak meringis dengan rasa perih yang menghampirinya, manusiawi.

Mungkin baru kali itu ia benar-benar merasa didatangi rasa sakit.

Sesuai perkataan lelaki sawo matang itu—walaupun dia tidak menyukainya untuk mengakui perkataannya terlepas hanya terucap di dalam hatinya, seolah dia bisa mendengar isi pikirannya—Minara memang tidak pernah dianggap lebih penting daripada sebuah hantu istana.

Tentu saja dia tidak akan merasa kesakitan. Mereka tidak cukup memedulikannya untuk menyakitinya.

"Putri tanpa hati bisa merasa sakit juga?" tanyanya seperti baru saja menemukan rahasia baru yang tak diketahui seluruh dunia: hanya dia dan Minara. "Kalau ku tarik lagi, apakah kau akan meringis? Atau masih menggigiti bibirmu seperti sekarang?"

Pertanyaannya disusul dengan tarikannya lagi di rambut Minara, membuatnya kelepasan mengaduh karena sakit.

Bukan hanya itu, bibir Minara sekarang amis karena rasa darah.

"Ya, ya, ya, Minara Widari. Aku suka kau mengenaskan seperti ini." Katanya. "Kau tahu aku punya ide apa untuk kita lakukan setelah semua ini?"

"Aku tidak penasaran."

"Kau tidak penasaran? Kenapa?"

"Setiap kata yang keluar dari bibirmu adalah kalimat paling hina untuk ku dengarkan. Menjijikkan."

"Kau membenciku, aku paham." Dia mendengus geli mendengar perkataan Minara yang penuh dengan kebencian. "Ku pikir kau harus tahu karena hanya akulah yang bisa memberikanmu kebebasan sekarang ini, agar kau tidak dipenggal oleh bawahanku di luar sana, atau para pemberontak yang semaunya sendiri. Aku punya kawan banyak di kalangan mereka, kau tahu."

Si bajingan ini masih menarik rambutnya, enggan melepaskan. Dia rasa sampai lelaki itu mengutarakan apa yang harus mereka lakukan itu.

Lelaki itu mengusap bibir Minara yang masih terasa amis darahnya, juga dagunya. Minara menebak pastilah cairan itu mengalir sampai ke dagunya. Sekuat itu dia menggigitinya. "Kita harus menikah."

Minara tidak bisa mempertahankan raut wajah tanpa ekspresi seperti yang selama ini dia lakukan, sebelum bertemu dengan orang gila ini. "Kau gila?"

"Justru sebaliknya." Jawabnya dengan kasual, tidak memedulikan pertanyaan Minara yang penuh dengan nada 'Aku akan membunuhmu saat ini juga'. "Tentu saja aku tidak menikahimu karena rasa cinta."

Minara melihat orang ini memutar matanya, seakan-akan si gadis menginginkannya untuk menikahinya atas dasar cinta.

Yang benar saja.

"Menikah atau tidak, kita tidak akan terjebak dalam rasa menggelikan macam cinta." Minara membalasnya.

"Ah, aku senang melihat wajahmu itu. Penuh benci." Lalu lelaki itu melepaskan eratannya di rambut Minara.

Saat ia terbebas dari tarikan kasar yang menyakitkan itu, Minara seolah masih bisa merasakannya disana, di kulitnya, dan dia membenci dirinya sendiri untuk itu.

"Kau tahu kenapa aku mau menikahimu, putri tanpa hati?" tanyanya.

Minara menggeram sebagai refleks. "Karena kau mau melihatku teronggok mati suatu saat nanti, di tanganmu."

"Meski tak punya hati, kau setidaknya punya otak, ya?"

Minara menggertakkan giginya lagi.

"Aku mau melihat rasa bencimu berkembang lagi, sampai aku bosan denganmu dan membuangmu. Oh, tidak, lebih parah lagi. Aku mau melemparmu langsung ke kematian." Suaranya penuh dengan bayang-bayang. Minara menebak, dia pasti sedang membayangkan hari kematian Minara dengan sempurna.

Ia melanjutkan. "Aku tidak mungkin hanya membuangmu. Kau sudah merasakannya seumur hidupmu: dibuang oleh keluargmu sendiri, oleh istana, oleh orang-orangmu. Aku lebih senang menawarimu kesempatan merasakan sesuatu yang lain, yang hanya aku yang bisa memberikannya."

Pantas saja dia senang ketika melihat Minara penuh dengan rasa benci. Pastilah memuaskan untuknya menyaksikan orang yang katanya tak bisa merasakan apa-apa memberikan perasaan-perasaan itu padanya.

Minara Widari adalah objek percobaannya. Dia seharga dengan format-format baru.

"Tentunya kalau kau menolak permintaanku, kau akan kena imbasnya sendiri. Aku orang yang sangat senang bersikeras."

"Aku tahu kau keras kepala, gila." Dia tidak tahu siapa namanya, maka Minara hanya bisa menemukan satu kata yang paling cocok untuk orang yang ada di belakangnya ini, atau sudah dekat dengan pintu, bersiap keluar seolah Minara pasti akan memberinya hanya satu jawaban, 'ya'.

"Karena kau sudah mengetahuinya, jawabannya sesuai keinginanku pastinya." Dia terdengar senang dan Minara tidak suka itu. "Buka pintunya." Dia berseru kepada para pengawal di luar ruang makan istana.

Seraya dengan rasa tidak suka yang lahir di dalam dirinya, Minara berpikir cepat.

"AKU MENERIMANYA." Dia berseru, memastikan si gila itu mendengarnya.

"Aku senang kau mau berkompromi—"

"Dengan syarat." Sunyi merayap di antara mereka. "Satu istana paling indah di tengah Hutan Gayatri."

Lelaki itu ingin Minara bertemu dengan kematian di tangannya, maka sang gadis hanya perlu menawarkan kesepakatan bertemu dengan kematian bersama.

*

apa yaa yang begitu spesial dari hutan gayatri? satu istana di hutan gayatri, tidakkah itu mengingatkanmu dengan sesuatu? (clue: roro jonggrang OFC)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top