i. PUTRI TANPA HATI
Jauh di pedalaman Jawa, berdiri megah istana, menjulang indah tak terkalahkan. Airnya disebut yang paling bersih dan jernih, tanahnya yang paling asri, dan hutan-hutan yang mengelilinginya, hijau dan sempurna.
Tapi, itu adalah pembicaraan yang biasa. Orang lebih suka yang terkesan misterius, putri tunggal dari keluarga terkutuk. Itu lebih menarik untuk dibagikan di perjamuan teh di kalangan atas ataupun di antara kaum-kaum bawah di hiruk-pikuk pasar.
Wangsa Nagara punya rahasia turun temurun: tiap generasinya dengan kutukan mereka. Minara Widari tak ada bedanya. Cantik dan jelita, indah dan tanpa hati.
Bagi Minara, dunia tak ada bedanya. Tak ada rasa marah, dengki, apalagi cinta.
Saat Minara lahir dan langsung membuat ibunya mati di atas ranjang, semua orang tahu ada yang salah dengannya. Sebut dia terkutuk, tapi dia tak menangis. Bayi yang tak menangis justru anomali dan ayahnya memutuskan untuk menciptakan kehidupan mereka terpisah.
Minara memang ada disana, tapi dia tak ada bedanya dengan hantu penghuni istana.
Minara Widari tidak mengenal dunia diluar kamarnya yang luas dan wilayah belakang istana yang disebut-sebut orang luar sebagai tempat terkutuk. Padahal mereka tinggal bilang si gadislah yang membuatnya seperti itu. Dia juga sudah tahu.
Mereka bilang, Rashakara dibangun dengan sihir hitam yang meminta tumbal, meminta satu dari setiap generasi wangsa sialan itu untuk menjadi buah kutukannya. Bukti memang tidak pernah digali karena pelatur sihir istana tidak pernah diperbolehkan mengiyakan pernyataan itu. Orang-orang kerajaan juga tidak pernah sepenasaran itu untuk mencari tahu.
Memisahkan diri dari istana belakang yang menjadi wilayah putri tunggal kerajaan seolah tempat itu memang tidak ada? Gampang bagi mereka untuk melakukannya.
Mustahil untuk Minara karena dialah penghuninya.
Namun, hari itu, lain dari biasanya, mendung langit lebih pekat daripada seingatnya. Rashakara sering tinggi hati karena langit pun tak pernah lain pihak dari mereka. Langit Rashakara hanya mengenal warna yang bagus dan apik, hujan pun tak pernah diawali oleh awan gelap.
Kaki Minara menyentuh lantai yang dingin, membawanya ke luar balkon kamarnya untuk melihat apa yang menjadi dalang dari gelapnya langit sampai-sampai tak ada sinar yang masuk ke kamarnya di sore macam ini. Bukan hanya itu, apa yang menyebabkan suara berisik samar di kejauhan sana.
"...mati." Seru orang berjarak-jarak jauhnya dari tempatnya berdiri, melihat, menunggu yang harusnya muncul menampakkan dirinya sebagai alasan semua keberisikan ini. Coba saja tak ada pohon didepannya, mungkin dia akan lebih bisa melihat.
Angin menghembus ke tubuhnya yang kecil, hampir-hampir membuatnya batal melihat di balkon dan kembali ke kamarnya. Udara yang dingin dan menusuk itu terasa mencekam. Tapi, dia tetap disana.
Tangannya sibuk menyampirkan rambutnya yang hitam legam yang sejak tadi terus beterbangan dibawa oleh angin dan disanalah Minara melihatnya.
Pria berpakaian serba hitam, duduk di atas kuda yang berwarna putih, mungkin itu jugalah yang membuatnya gampang dilihat. Seluruh atensi Minara langsung jatuh kepada sang penunggangnya.
Si gadis tidak dapat melihatnya dengan sungguh-sungguh karena ia menutup seluruh kepalanya dengan kain hitam yang menjuntai dan diterpa oleh angin yang sama yang membuat Minara terus berusaha menyampirkan rambutnya yang panjang ini.
Di detik yang sama dengan saat tak ada satupun helai rambutnya yang menganggunya untuk melihat rupa si pria misteri, itulah saat yang sama dengan orang itu melihatnya balik. Tajam dan kelam. Jantungnya hampir mencelos jatuh.
Namun, tak sampai lima detik berikutnya, ia hilang di balik bangunan istana utama dan Minara sudah dipanggil untuk kembali ke dalam.
*
Dia tahu itu tidak seperti biasanya karena usai kegiatan mandinya di bilik belakang tempatnya selalu membersihkan diri, pelayan-pelayannya ini langsung berkumpul di kamarnya. Bukan hanya satu, tapi tiga sekaligus.
Mereka sibuk mengganti kain kembannya dengan setelan kebaya yang hanya dia gunakan untuk hari besar. Meskipun itu hanyalah formalitas karena pada akhirnya dia hanya akan menyantap makan dengan kekosongan di ruang makan istana belakang, instingnya mengatakan bahwa kali ini dia akan berhadapan dengan sesuatu yang lain.
Usai menyelesaikan pekerjaan mereka dengan rambutnya dan pakaiannya, dia mendengar suara dari balik pintu kamarnya.
"Mohon maaf, Nona. Kehadiran Nona ditunggu di ruang utama."
Ruang utama? Minara mengernyit. "Jangan berceloteh." Katanya dingin. "Istana utama bukan wilayah saya."
"Tuan berkata demikian."
Bukan Tuan. Panggilan mereka kepada ayahnya tidak pernah dengan embel-embel Tuan. Selalu Raja.
Telapak kaki Minara menyentuh lantai yang dingin apalagi karena dia baru saja dimandikan dengan air dingin di bilik belakang sebelumnya. Tetapi, telapak kaki itu sajalah yang bisa membawanya ke istana utama, tempat yang tidak pernah dia datangi sebelumnya seumur hidupnya.
Ingatan pertama Minara sudahlah kamarnya. Tidak ada yang lain. Dunianya yang begitu sempit dan tak ada apa-apanya dengan apa yang sekarang dia saksikan dengan mata telanjangnya.
Ukiran, anyaman, arsitektur, benda-benda bersejarah serta lukisan demi lukisan pemilik istana bersama keluarga mereka di sepanjang lorong. Dalam lorong antara istana utama dan istana belakang juga, di sisi kanan dan kiri jalannya dipenuhi dengan kolam bersama ikan koi yang pastinya didapatkan Rashakara dari pedagang-pedagang Timur.
Saat ia memasuki istana utama, semakin banyak orang yang berkumpul. Namun, di tempat yang Minara perkirakan sebagai ruang utama menampung lebih banyak orang lagi. Semuanya sedang membungkuk hormat tapi bukan kepadanya. Minara bukan opsi.
Jadi, si gadis melihat ke arah mana mereka memandang: ke kursi utama yang ada di ruangan besar nan megah itu. Di atas tangga yang menjulang seakan menunjukkan bahwa kasta mereka berbeda dengan yang duduk dan empunya kursi itu, di kelilingi oleh emas dan ukiran para pengrajin yang terlihat mewah, disanalah Minara melihatnya lagi.
Lelaki yang sama yang ia lihat dari kejauhan, tapi kali ini tidak duduk di atas kudanya. Melainkan di atas kursi utama; kursi raja—singgasana yang paling puncak.
Matanya yang berwarna hitam mencekam suasana, seolah menggoda Minara untuk melakukan yang sama dengan orang-orang di belakangnya: membungkuk, berlutut, apapun demi menunjukkan bahwa pria itu empunya kekuasaan.
Ia melepaskan kain yang daritadi menutupi wajahnya. Kulitnya sawo matang dan eksotik.
"Disambut langsung dengan putri Gatrya Wibinagara yang katanya hanyalah hantu istana. Mereka akan sebut aku orang paling beruntung disepenjuru kepulauan." Suaranya sama dinginnya dan rendah. Matanya yang berwarna hitam pekat itu menyipit untuk melihat Minara dari atas ke bawah dengan intens.
Si gadis tidak menjawab apa-apa dan pria itu memberikan gestur dengan jari telunjuknya untuk menyuruhnya naik dan mendekat ke singgasananya.
Lama orang itu memandang Minara saat si gadis tidak ada bergerak sama sekali.
Seringai di wajah pria menghilang. Mungkin perawakan Minara terlampau biasa, mungkin dia tidak menarik sama sekali. Mungkin tidak ada harganya dia di mata orang ini. Mungkin Minara akan mati hari ini juga.
Pria itu memberikan gestur jari yang sama kepada salah seorang pengikutnya. Pengikutnya membawakan keris dan Minara membayangkan bahwa itu semua hanya akan membawanya ke satu kesimpulan: kematian.
Lalu, satu gerakan singkat dari yang duduk di singgasana dan Minara tahu-tahu sudah melayang di udara, berhadap-hadapan dengannya. Itu terjadi terlalu cepat sampai si gadis tidak sadar.
Ia mengarahkan keris itu ke leher Minara. Si gadis bisa merasakan benda tajam itu mengenai kulitnya. Tapi, keduanya tidak berekspresi sama sekali.
"Aku tinggal menekannya sedikit lebih dalam agar kau menyusul Wibinagara. Kau tak takut?" tanyanya, hampir menyerupai udara itu sendiri. Bisikannya tajam dan sama menusuknya.
Mata Minara menyalang, langsung ke mata yang menatapnya balik, tak kenal takut. "Aku tidak takut apapun."
"Meskipun kematian?"
Si gadis malah bergerak mendekat, tidak gentar sama sekali.
Tanpa mengatakan apa-apa, baginya itu sudah menjadi jawaban paling bagus yang bisa ia berikan.
Namun, ada sesuatu yang lain. Ada rasa penuh keberanian disana lahir dengan sendirinya. Apakah dia bahkan mampu untuk merasakan keberanian lahir di dalam dirinya? Bukankah dia hanyalah manusia tanpa perasaan yang tak mengenal apapun, yang harus disembunyikan dari sepenjuru Rashakara, apalagi dunia, agar tak ada yang tak tahu dia tak punya hati? Tak mampu untuk merasakan jadinya manusia?
Pria itu mendekatkan badannnya, juga bibirnya sampai ufuk kemerahan itu hanya seinci jauhnya dari telinga Minara. Riak wajahnya berubah dari sebelumnya, lebih seperti rasa puas dan setitik bingung.
"Aku tahu kau tak punya hati, Minara Widari. Tak takut mati, aku mengerti. Tapi, aku tidak pernah dengar kau punya rasa berani."
*
haloo lagi hehe
chapter satunya gimanaa? semoga suka!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top