Prolog
"Wake up, Princess."
Kalimat itu bukan ditujukan kepadaku, melainkan kepada bocah perempuan yang duduk di depanku. Aku sama sekali tidak berniat menguping. Kebetulan saja, aku ikut terbangun saat kereta mengerem mendadak tadi dan gerbong ini sunyinya seperti kuburan karena penumpang lain masih pada tidur. Dengungan mekanis yang berasal dari pendingin udara menjadi satu-satunya distraksi suara yang tertangkap telingaku.
Pria yang duduk di sebelah si bocah–kurasa dia ayah bocah perempuan itu–kembali berbisik lembut. Seperti ada yang menggigit-gigit jantungku saat kusaksikan interaksi manis antara ayah dan anak itu. Akan kukambinghitamkan fluktuasi hormon estrogen yang membuatku jadi lebih sensitif dan mudah baper selama masa PMS. Plus, kondisiku yang masih 75% mengantuk ini.
Tak ingin tepergok memperhatikan mereka, kupalingkan wajah ke jendela. Di luar masih gelap, tetapi aku dapat melihat kaki-kaki langit perlahan berubah warna. Samar-samar papan petunjuk di kejauhan mulai terbaca. Rupanya kami sudah memasuki area Stasiun Cirebon. Kelihatannya, kereta yang kutumpangi masih menunggu antrean masuk stasiun karena sampai sekarang ular besi ini belum bergerak lagi.
Melalui pantulan di kaca jendela, aku dapat melihat anak itu menggeliat. Rengekan pelan terdengar dari bibir si bocah. Sang ayah kembali berbisik dan memberi tahu putrinya bahwa mereka harus turun sebentar lagi.
Kapan, ya, Abah pernah memperlakukan selembut itu?
Ah, buat apa bertanya. Tentu saja tidak pernah!
Mau kucari hingga lipatan ingatanku yang paling dalam pun, tetap tidak akan kutemukan kenangan manis bersama Abah. Selama ini, Hamam-lah yang selalu mendapat perhatian Abah, sementara aku hanyalah anak perempuan yang tidak bisa dibanggakan. Mau sekeras apa pun aku berusaha, Abah tidak pernah menoleh ke arahku. Bahkan, ketika kukabarkan keberhasilanku memperoleh beasiswa S2, Abah tidak berkata apa-apa.
Kupikir dengan tidur sepanjang perjalanan ke Jakarta aku bisa melupakan kekecewaan ini. Salahku sendiri, sih, yang berekspektasi terlalu tinggi. Kupikir karena dua tahun ke depan kemungkinan besar aku tidak akan bertemu lagi dengannya, Abah akan sedikit menunjukkan perhatian. Ternyata, beliau sama sekali tidak peduli meski putri sulungnya ini akan merantau ke negeri asing sendirian.
Saat aku pamit semalam, Abah hanya mengangguk sekilas dan kembali sibuk membaca koran. Untung saja aku sudah lihai membendung air mata di hadapan orang. Kalau tidak, aku pasti akan terlihat sangat menyedihkan.
Aku memejam dan berusaha mengatur napas.
Relakan, Mala! Relakan! Anggap saja petualanganmu di Australia sebagai cara untuk membebaskan diri dari orang-orang yang membuatmu tidak nyaman. Dari Abah, Ummah, dan juga ... Tama.
Ah, sial. Bukannya membaik, suasana hatiku justru jadi makin buruk gara-gara nama Tama melintas di kepala. Sebagai lelaki yang sudah menjadi pacarku selama empat tahun terakhir, dia yang paling tahu bagaimana tidak nyamannya aku setiap kali pulang ke rumah orang tuaku. Tapi, selama aku mudik kemarin, dia tidak pernah menanyakan keadaanku.
Duk.
Dahiku terbentur jendela saat kereta mulai bergerak memasuki stasiun. Kujejalkan kembali bayang-bayang Tama ke laci-hal-hal-yang-sedang-ingin-kulupakan. Buat apa aku memikirkan laki-laki yang tidak memikirkanku, kan?
Perhatianku pun kembali teralih pada si bocah perempuan dan ayahnya yang telah bersiap turun. Barang-barang mereka sudah sudah berjajar rapi di kursi yang tadinya diduduki sang ayah. Ketika kereta telah berhenti sempurna di stasiun, pria itu mengulurkan tangan untuk membantu putrinya bangkit dari kursi. Mereka kemudian menyusuri gerbong sambil bergandengan.
Aku menelan ludah. Luka batinku kembali berdarah.
Sejauh yang aku ingat, Abah tidak pernah menggenggam tanganku seerat itu.
=========
Ceritamela:
Halo. Cerita ini akan saya ikutkan event Marathon Writing Month yang diselenggarakan komunitas Nusantara Pen Circle selama Bulan Agustus. Sebenarnya agak nekat sih karena Agustus ini saya sedang kuliah semester terakhir, yang mana matkul (dan dosennya) cukup demanding. Jadi, saya nggak targetin update rutin ataupun tamat. Hanya berharap semoga jumlah kata yang saya hasilkan selama MWM masih bisa menyelamatkan saya dari hukuman.
Btw, Heartfelt Hypothesis ini spin off dari Cahaya Cinta Arunika yang baru saya republish di wattpad. Mala memang nongol sebentar di beberapa bab akhir, sih, sebagai sahabat Arunika. Tapi, karena timeline cerita ini setelah Arunika, tentu bakal ada major spoiler tentang Arunika di sini. Kalau kalian belum baca Arunika dan nggak suka kena spoiler, saya sarankan buat mampir dulu ke sana. Semua partnya sudah saya publish ulang sampai tamat, kok. Jadi, bisa baca itu dulu sebelum balik lagi ke sini. Hehehe.
Demikian dan terima vote.
- Juli 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top