2. The Lovely Bestfriend


Kupandangi cermin di hadapanku lekat-lekat. Pantulan wajahku tersenyum balik. Kelihatannya aman. Mataku sudah tidak terlihat sesembab tadi. Memang masih sedikit merah, tapi aku bisa beralasan mengantuk jika Runi bertanya.

Untung saja walau jarang berdandan, aku memiliki perlengkapan mekap yang lumayan lengkap. Sengaja kugunakan pada saat-saat seperti ini, untuk menyamarkan kelopak mataku yang bengkak akibat terlalu banyak menangis tadi. Berbekal latihan dengan panduan tutorial di internet, aku sudah mahir mengombinasikan concealer, highlighter, dan sedikit sapuan bedak untuk menyembunyikan mata sembabku.

Kulirik jam weker yang bertengger di atas lemari–sengaja kuletakkan di sana agar perlu lebih banyak effort untuk mematikannya. Runi bilang dia sudah on the way ke sini, harusnya sebentar lagi dia sampai.

Setelah urusan mata beres, sekarang saatnya untuk memastikan suaraku terdengar normal. Pertama-tama, aku mengatur irama napas untuk menenangkan diri. Di saat-saat seperti ini, ilmu dan pengalaman yang kudapatkan dari ekstrakurikuler teater yang kuikuti sewaktu SMA menjadi sangat berguna. Aku jadi tahu bagaimana caranya menyimpan emosi rapat-rapat dan memasang lapisan emosi sesuai dengan kebutuhan.

Aku berdeham beberapa kali, lalu mulai melafalkan huruf vokal dengan nada yang kian lama kian tinggi. Awalnya, suaraku masih terdengar sedikit serak, tetapi lama-kelamaan mulai terdengar jernih seperti biasa.

"Ayo, Mala. Jangan bersedih. Jangan sampai Runi jadi kepikiran dan ikut sedih gara-gara kamu," kataku dengan senyum lebar terkembang di wajah.

Merasa belum puas, aku kembali bermonolog sambil mencoba berbagai ekspresi senyum yang berbeda.

"Kamu akan berangkat ke Australia besok, Mala. Kuliah S2 seperti yang kamu impi-impikan. Jadi, kamu harus terlihat senang."

Kalimat yang baru kuucapkan itu adalah kebohongan yang begitu nyata. Aku mendaftar beasiswa hanya karena ikut-ikutan Tama. Dialah yang bermimpi bisa kuliah di luar negeri.

Tama bilang kami akan terlihat keren dan menginspirasi jika sama-sama berkuliah di salah satu kampus yang masuk The Group of Eight–delapan universitas terbaik di Australia. Couple goal, katanya. Makanya dia terus mengomporiku untuk ikut mendaftar. Aku yang sebenarnya sudah cukup puas dengan karierku sebagai asisten peneliti di sebuah lembaga penelitian indipenden, akhirnya tergoda juga dengan ajakan Tama. Apalagi, dia mulai mengungkit-ungkit rencana pernikahan–topik yang selama ini tabu kami bicarakan karena biasanya hanya akan memantik perdebatan.

Tapi, sepertinya Tuhan sedang ingin bercanda dengan kami. Aku yang tak terlalu serius mempersiapkan diri justru dinyatakan lolos seleksi. Sementara Tama yang sampai ikut kursus sana-sini, justru gagal di tahap wawancara.

Awalnya kupikir, hubungan kami tidak akan terpengaruh. Selayaknya seorang kekasih, Tama ikut merayakan keberhasilanku. Namun, ketika aku harus mengikuti pre-departure training yang diselenggarakan oleh pemberi beasiswa selama satu setengah bulan di Bali, pelan-pelan hubungan kami menjadi makin renggang. Jadwal pelatihan yang kuikuti memang lumayan padat, apalagi ada beda satu jam antara Jakarta dan Bali.

Aku kira, begitu aku kembali ke Jakarta, kami akan kembali seperti semula. Tapi nyatanya, jarak yang membentang antara aku dan Tama justru kian lebar dan permasalahan yang membelit kami pun menjadi terlalu rumit untuk diurai. Tama jadi lebih lama menjawab chat-ku, lebih sering menolak panggilan teleponku, dan selalu punya alasan untuk membatalkan janjinya kepadaku.

Ah, sial. Kenapa aku ingat-ingat Tama lagi, sih? Hampir saja mekap yang sudah kupulas ke wajah dengan sedemikian rapi ini luntur lagi.

Kudongakkan kepala untuk mencegah tumpahnya air mata untuk yang kedua kali. Jangan sampai topeng yang kukenakan retak saat Runi datang.

"Ayolah, Mala. Tiga puluh menit aja, kok. Habis itu, kamu bisa menangis sepuasnya lagi," bisikku lirih.

Aku bernapas dengan irama lambat, berusaha mengubur kembali perasaan sedih yang tiba-tiba meruak kembali. Setelah merasa cukup tenang, aku kembali memperhatikan pantulan diri di cermin. Senyumku kembali terkembang dengan sempurna. Selang beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi. Nama Runi terpampang di layarnya. Ah, sahabatku itu pasti sudah sampai.

Kusambar ponsel dari atas nakas dan menolak telepon Runi. Dengan wajah berhias senyum, aku bergegas menuju bagian depan kosan. Benar saja dugaanku, Runi sudah menunggu di balik pagar. Begitu melihatku, dia langsung melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat.

"Assalamualaikum, Mal."

Aku menjawab salam Runi dengan nada ceria. "Loh, suamimu mana?" tanyaku heran sembari membuka engsel yang mengunci gerbang. Pasalnya, tidak kulihat lelaki itu di mana pun.

"Lagi cari parkir, Mal. Aku suruh tunggu mobil aja. Kan, nggak bisa masuk juga ke kosmu," jawab Runi. Begitu tercipta celah yang cukup lebar pada gerbang, Runi menyelinap masuk.

Rumah indekos yang kuhuni sebenarnya tidak terlalu ketat aturannya. Para penghuninya boleh-boleh saja menerima tamu laki-laki, asal tidak sampai menginap. Tama pun beberapa kali sempat main ke sini. Tapi, sejak dulu, Runi memang sangat serius masalah batasan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Runi dan suaminya pun langsung menikah tanpamelewati tahap pacaran lebih dulu. Yah, mereka memang sudah kenal sejak lama, sih. Tapi, tetap saja menurutku hal itu adalah langkah yang sangat berani.

Aku sendiri sebenarnya juga tahu bahwa tidak ada istilah pacaran dalam Islam. Sewaktu kuliah dulu, kadang-kadang aku ikut menemani Runi mendatangi acara-acara kajian. Hanya saja, aku masih saja membandel. Sepertinya hatiku sudah telanjur mengeras karena terlalu lama menimbun perasaan iri dan dengki terhadap Hamam yang selalu menjadi anak emas Abah. Kupikir kehadiran Tama dapat mengisi hatiku yang kosong, tapi ternyata akhir-akhir ini dia justru membuat hidupku menjadi makin kompleks. Apakah aku akhiri saja hubungan kami ini, ya?

"Kamu lagi nggak enak badan, Mal?"

Pertanyaan Runi membuatku terkesiap dari lamunan. Tanpa kusadari, ternyata kami sudah berada di dalam kamarku.

"Nggak, kok, Run. Cuma capek aja." Aku berusaha mengelak.

Mataku tertuju pada kantong kain yang sejak tadi Runi bawa-bawa. Saat Runi meletakkan kantong itu ke atas meja belajarku, terdengar bunyi debam pelan. Baru kusadari bahwa barang bawaan Runi cukup berat. Harusnya tadi aku tidak membiarkan Runi menentengnya sendiri.

"Padahal kamu mudik nggak sampai seminggu aku aja, dah, kangen. Gimana kalau kamu pergi dua tahun, ya," ujar Runi. Kini, dia sudah duduk di atas kasur. Perut buncit yang tadi tersamarkan oleh gamis longgar yang dia kenakan kini menyembul dengan sangat jelas.

"Ntar, kalau anakmu sudah lahir, kamu nggak bakal sempat kangen sama aku." Aku berseloroh.

"Ya, nggak gitu juga, Mal." Runi mengerucutkan bibir. "Pasti tetap kangen, lah. Apalagi nanti pas anakku lahir, kamunya nggak ada di sini. Anakku ntar nggak kenal sama Tante Malanya."

Aku ikut duduk di samping Runi. "Kan, ada yang namanya teknologi, Run. Kita bisa video call-an. Kamu bisa kirimin foto anak kamu sebanyak-banyaknya ke aku."

"You know what I mean, Mal."

Kupeluk Runi dari samping. "Aku juga sedih, Run. Tapi, kan, kamu sendiri yang bilang kalau ini rezeki dari Allah, jadi jangan aku sia-siakan."

Selama beberapa saat, keheningan menyelimuti kami. Bahu Runi naik-turun. Tanpa melihat wajahnya pun, aku tahu bahwa sahabatku ini sedang menangis. Ah, Runi. Harusnya aku yang bersedih hari ini. Kenapa jadi kamu yang menangis?

"Aku tahu, Mal. Kayaknya ini pengaruh hormon, deh. Akhir-akhir ini aku jadi cengeng," kata Runi dengan suaranya yang berubah sengau.

Kutepuk-tepuk bahu Runi. "Aku juga bakal kangen berat sama kamu, Run."

Sepertinya, ini momen yang pas untuk menangis. Jadi, kubiarkan air mata yang tadi kubendung untuk tumpah kembali.


=========

Ceritamela:

Lagi-lagi nulisnya mepet deadline. Sebenarnya sudah mau tidur aja, tapi kok sayang kalau poin minggu ini 0. 

Karena ini ditulis buru-buru dan lagi-lagi tidak sempat diproofread, please let me know kalau ada yang saltik atau kalimatnya aneh, yak.

Kayaknya minggu depan ini saya juga masih bakal slow update sih, soalnya ada tugas kuliah yg harus dikerjain. tp semoga habis itu bisa lebih rajin updatenya ya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top