Heart Beat
Angin berhembus perlahan, menyebarkan hawa dingin kepada apa saja yang dilaluinya. Kau berdiri dengan posisi bersandar di pintu gerbang SMA Karasuno, menunduk memandangi titik kristal es yang jatuh perlahan sebelum akhirnya menetes di jalanan. Napasmu terasa hangat dan mengepul di antara udara yang dingin menusuk tulang. Kau merapatkan syal merah yang melingkari lehermu, mengharapkan sedikit kehangatan.
Kedua matamu kini beralih memandangi murid-murid yang keluar dari gedung sekolah. Mereka terlihat bercanda dan tertawa dengan teman dekatnya, atau saling mengejek yang berakhir dengan perdebatan panjang, namun menyenangkan.
Tanpa sadar, bibirmu tersenyum tipis melihat semua itu. Kau kembali menunduk, memandangi ujung sepatumu yang agak basah karena salju. Diam-diam, kau menggerutu dalam hati, merutuki seseorang yang membuatmu menunggu selama ini.
"Ayo pulang."
Kau mendongak, mengangkat wajah ke sumber suara. Seorang pemuda berambut hitam lurus dengan tubuh yang lebih tinggi darimu berdiri di hadapanmu dengan pandangan yang tak ada bedanya dengan udara hari ini. Dingin.
Kau menegakkan posisi tubuhmu, lalu mengikuti langkah Kageyama Tobio menuju arah rumahmu. Kau dan dia memang bertetangga, sehingga kalian sering berangkat dan pulang bersama.
"Kau lama sekali," katamu, menyuarakan protes. "Aku bisa saja pingsan karena kedinginan, tahu."
Kageyama tak menjawab, memilih diam untuk beberapa saat. Kau yang memang sudah hafal dengan sifatnya itu pun memutuskan untuk menunggu jawaban.
"Siapa yang menyuruhmu menunggu di luar? Kau bisa saja menungguku di dalam gedung sekolah, kan? Bodoh."
Jawaban yang—sangat—menyebalkan itu sukses meluncur dari bibir Kageyama dan mendarat di telingamu, sebelum akhirnya dicerna oleh otakmu dan menimbulkan rasa jengkel di dalam hatimu.
"Bukankah kau sendiri yang bilang kalau aku harus menunggu di tempat yang mudah kau datangi? Kau tidak mau repot-repot mencariku di dalam gedung sekolah, kan?" balasmu dengan nada yang sedikit meninggi karena kesal.
Pemuda yang memegang posisi setter dalam tim voli itu melirik ke arahmu. "Lalu, kenapa kau tidak meninggalkanku saja dan pulang duluan?"
Pertanyaannya membuat alismu mengerut samar. Kau pun terdiam beberapa saat, memutar otak untuk mencari jawaban terbaik.
"Yah, kupikir kau akan marah padaku kalau aku pulang duluan," jawabmu sambil mengangkat bahu.
"Memang."
Singkat, padat, dan menyebalkan. Tiga kata yang cocok untuk mendeskripsikan respons seorang Kageyama Tobio. Oh, ingin sekali rasanya kau melayangkan tasmu ke wajah pemuda yang jago olahraga itu.
"Kageyama-kun menyebalkan," ucapmu pelan, menggigit bibir bawahmu untuk menahan kesal.
Kageyama hanya mengedikkan bahunya sedikit, cuek. Kau menghela napas pelan, menggelengkan kepala dengan lelah. Kau heran pada dirimu sendiri, kenapa kau betah berada di sisi Kageyama Tobio yang dingin dan nyaris tak memiliki kepedulian terhadap orang lain?
Langkahmu perlahan melambat, dan tanganmu kau rapatkan ke tubuhmu untuk mendapat kehangatan. Udara yang dingin tetap menyapu kulitmu tanpa ampun, membuatmu menggigil menahan dingin.
"Kau ini lambat sekali, sih." Terdengar suara Kageyama mengomentari langkahmu yang semakin pelan.
Kau mengangkat wajah, mengernyit memandangnya. "Aku kedinginan, tahu. Kalau kau tidak sabar, pulang duluan saja sana," rutukmu dengan suara tidak jelas—pelan dan gemetar.
Kageyama terlihat menarik napas panjang, lalu membalikkan badannya hingga menghadap ke arahmu. Ia berjalan mendekatimu, lalu mengulurkan tangannya.
"Eh?" Kedua matamu mengerjap dua kali sebagai tanda kebingungan. "Apa?"
Hening selama beberapa detik. Kageyama terlihat ragu-ragu—matanya memandang ke mana saja, asal tidak ke arahmu. Kau yang melihat tingkah anehnya hanya bisa mengerutkan kening dengan heran. Apa-apaan pemuda di depanmu ini?
"Pegang tanganku, Bodoh." Akhirnya, ia membuka mulut, namun tetap tanpa memandang ke arahmu. Kepalanya menoleh ke arah lain, tetapi kau tahu pasti bahwa ia sedang bicara denganmu.
Manik matamu melebar begitu mendengar kalimatnya. Apalagi, wajah Kageyama perlahan dihiasi rona tipis yang nyaris tak terlihat. Tiba-tiba saja, dentuman keras memenuhi jantungmu, dan kau bisa merasakan aliran darahmu yang merambat naik ke wajah, menimbulkan rona merah di sana.
"T-tidak usah!" Kau refleks menolak dengan gugup, menggelengkan kepalamu. "A-aku baik-baik saja, kok!"
"Ck, kau ini berisik sekali, sih." Tiba-tiba, Kageyama meraih tanganmu dan menggenggamnya erat, lalu membalikkan badannya hingga membelakangimu. "Ayo, cepat. Aku sudah kelaparan."
Kau menelan ludah, menatap tangan hangat Kageyama yang menggenggam tangan kirimu. Bisa kau rasakan debaran di jantungmu yang semakin keras, terutama ketika Kageyama mempererat genggamannya padamu.
Sebenarnya aku ini kenapa? batinmu dalam hati, penuh rasa heran.
Kalau dipikir-pikir lagi, kau hanya merasa seperti ini kalau bersama Kageyama. Setiap kali kau di sampingnya, detak jantungmu seolah dipicu semakin cepat, dan menjadi tak terkontrol saat Kageyama menyentuhmu.
A-apa yang sebenarnya kupikirkan? rutukmu dalam hati, meringis saat menyadari bahwa wajahmu makin memanas saat ini.
"Hei."
Kageyama menghentikan langkahnya, dan kau mengikutinya. Kedua matamu menatap punggung Kageyama yang masih membelakangimu. Sungguh, sikap pemuda di depanmu itu kadang benar-benar sulit ditebak.
"Ya?"
Kageyama membalikkan badannya sedikit, sehingga kau bisa melihat wajahnya yang dihiasi rona merah. Ia mengangkat tangannya yang sedang menggenggam tangan kirimu—membuat tanganmu juga ikut terangkat dalam genggamannya—lalu berkata, "Jangan salah sangka, ya. Aku melakukan ini karena aku tidak mau kau sakit, tahu. Bisa-bisa, aku kerepotan kalau harus merawatmu yang sedang sakit."
Kau mengerjapkan kedua matamu saat mendengar ucapannya, terkejut. Perlahan, seulas senyum terukir di bibirmu—antara geli bercampur senang. Geli karena sikapnya yang malu-malu, sekaligus senang karena kau diberi kesempatan untuk melihat sisi manis seorang Kageyama Tobio.
"Iya. Aku tahu, kok," jawabmu sambil tertawa—berusaha menutupi debaran jantungmu yang makin cepat, sekaligus berharap agar Kageyama tidak mendengar suara degup jantungmu.
Tanpa kau sadari, wajah Kageyama memerah saat melihat senyummu, dan ia juga merasakan jantungnya yang meronta hebat seolah hendak keluar dari dalam dadanya.
Sebenarnya, ada apa denganku?
***
Cinta bisa dimulai bahkan hanya dari hal yang sederhana—seperti tautan di antara kedua tangan sepasang manusia.
*[Finish]*
Love,
Arisa
[26 Desember 2016]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top