Bab 11

Pagi itu Kim Namgil menemui Dokter Shim guna memastikan keadaan putra bungsunya. Keduanya berbicara di ruangan Dokter Shim.

"Bagaimana, Dokter? Apakah ada yang serius dengan kondisi putraku?"

"Aku sudah memeriksa hasil MRI putra Pak Kim kemarin dan tidak ditemukan luka yang serius pada kepala putra Pak Kim."

"Syukurlah." Kim Namgil bisa tersenyum lega.

"Tapi ada hal yang ingin aku tanyakan sekaligus beritahukan pada Pak Kim."

"Apakah itu, Dokter?"

Dokter Shim berbicara dengan hati-hati. "Mungkinkah, putra Pak Kim mengalami demensia?"

Dahi Kim Namgil berkerut, merasa heran dengan pertanyaan sang dokter. Ia pun menggeleng. "Tidak, putraku bukan penderita demensia. Dia memang sering melupakan sesuatu, tapi aku yakin itu bukan demensia, Dokter."

Dokter Shim menjadi lebih berhati-hati ketika ia merasa bahwa Kim Namgil sedikit tersinggung atas pertanyaannya. Dan tentunya ia telah memahami hal itu.

"Aku di sini untuk memastikannya kepada Pak Kim, aku tidak ingin mendiagnosis putra Pak Kim secara sembarangan. Untuk lebih jelasnya Pak Kim bisa melihat ini."

Dokter Shim menggeser layar komputer di atas meja hingga keduanya bisa sama-sama melihat analisis yang telah dilakukan oleh Dokter Shim. Sang dokter kemudian memberikan penjelasan sembari menunjukkan beberapa rincian gambar bagian otak Changkyun pada Kim Namgil.

"Setelah pemeriksaan yang lebih serius, aku menemukan adanya kelainan pada bagian lobus frontal putra Pak Kim. Pak Kim bisa membedakannya. Yang disebelah kanan adalah kondisi pada orang normal, sementara di samping kiri adalah kondisi pada penderita demensia dan di bagian tengah adalah kondisi dari putra Pak Kim saat ini."

(Lobus frontal adalah bagian otak besar yang terbesar dan terletak di bagian depan otak. Bagian ini berperan penting dalam mengendalikan gerakan tubuh, menilai, dan merencanakan sesuatu, memecahkan masalah, serta mengatur emosi dan pengendalian diri. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan gangguan dalam kemampuan bersosialisasi, penurunan konsentrasi, kesulitan berbahasa dan mengatur emosi, serta melemahnya sisi tubuh yang berlawanan.)

Kim Namgil memperhatikan ketiga gambar itu sesuai dengan arahan Dokter Shim. Namun tetap saja hal itu tak memberikan penjelasan apapun baginya karena itu bukanlah bidangnya.

Dokter Shim kembali berbicara, "sebelumnya Pak Kim mengatakan bahwa putra Pak Kim sering melupakan sesuatu. Bisakah Pak Kim menjelaskannya padaku? Meliputi apa sajakah sesuatu yang sering dilupakan oleh putra Pak Kim?"

Kim Namgil masih ragu. Dia sedikit tidak terima jika kekurangan putranya justru dianggap sebagai sebuah penyakit. Tentu saja ia percaya bahwa putra bungsunya dalam keadaan sehat.

"Dia sering melupakan beberapa barang yang sebelumnya dia simpan. Terkadang dia melupakan tanggal dan hari. Tapi, Dokter ... bukankah itu hal yang wajar? Semua orang pernah mengalaminya."

"Aku tidak ingin mendiagnosis seseorang hanya dengan sebuah prasangka. Tapi, Pak Kim. Bukankah kita termasuk orang-orang yang beruntung karena hidup di era ini. Dengan adanya sebuah prasangka, kita bisa melakukan tindakan yang lebih tepat. Di era ini semua penyakit bisa diidentifikasi dengan mudah. Jika Pak Kim merasa ragu, sebagai seorang dokter aku hanya bisa memberikan saran. Bagaimana jika putra Pak Kim menjalani beberapa pemeriksaan untuk memastikan kondisi pasien? Tapi tentu saja biaya yang harus Pak Kim keluarkan akan lebih tinggi. Aku tidak akan memaksa Pak Kim, ini hanyalah saran yang bisa aku berikan sebagai dokter dari Pasien Kim Changkyun. Pak Kim bisa memikirkannya terlebih dahulu."

★★★★

Kim Namgil meninggalkan ruang kerja Dokter Shim dengan pikiran yang kosong. Dia datang dengan harapan akan pergi dengan membawa berita baik. Berita baik memang telah ia dapatkan, akan tetapi ada berita yang sedikit ambigu yang menyertai berita baik itu.

Dokter mencurigai putra bungsunya menderita demensia. Di usia Changkyun yang masih sangat muda, tentu saja hal itu tidak masuk akal bagi Kim Namgil. Tanpa sadar Kim Namgil telah sampai di depan ruang rawat Changkyun. Hampir menyentuh gagang pintu, pergerakan Kim Namgil terhenti.

Mengurungkan niatnya, Kim Namgil duduk di kursi panjang yang berada di samping pintu. Seorang ayah yang kembali dipatahkan oleh sebuah kenyataan yang sulit untuk diterima. Momen demi momen di mana Changkyun melupakan hal-hal kecil di sekitarnya kini terus berputar dalam pikiran Kim Namgil. Pria itu kemudian mengeluarkan ponselnya, membuka mesin pencarian untuk mencari sesuatu tentang penyakit demensia.

Setelah beberapa menit membuka beberapa halaman web, Kim Namgil berhenti pada web di mana ia bisa mengirim pertanyaan dan pengunjung lain bisa menjawabnya. Pria itu kemudian mengunggah sebuah pertanyaan.

"Bisakah seorang pemuda berusia 18 tahun mengidap demensia?"

Pertanyaan terkirim, dan beberapa menit setelahnya seseorang menggunggah jawaban untuk menanggapi pertanyaan Kim Namgil.

"Demensia umumnya terjadi pada orang lanjut usia, tapi tidak menutup kemungkinan beberapa anak muda juga mengalaminya. Kau tahu tentang Alzheimer? Itu adalah kondisi terparah dari penderita demensia. Setidaknya satu dari tiga orang berusia muda mengalaminya. Jika kau mulai melihat tanda-tanda demensia, akan lebih baik jika kau segera melakukan pemeriksaan kepada dokter yang tepat."

Jawaban panjang yang didapatkan oleh Kim Namgil nyatanya tak membuatnya tenang. Sebaliknya, tanpa sadar kecemasannya semakin besar.

Dia tersenyum tak percaya. Menggaruk keningnya dan bergumam, "Alzheimer? Tidak mungkin ..."

Saat itu Taehyung keluar dari ruang rawat Changkyun dan menemukan sang ayah tengah tersenyum seperti seseorang yang tengah frustasi. Taehyung mendorong kursi roda dan menutup pintu, membuat perhatian sang ayah tertuju padanya.

Kim Namgil segera menghilangkan garis senyum di wajahnya dan menggelapkan layar ponselnya begitu melihat keberadaan sang putra sulung.

"Kau ada di sini?" tegur Kim Namgil.

Taehyung mengangguk seraya menghampiri sang ayah. "Ada apa?"

Gurat heran terlihat di wajah Kim Namgil. "Kenapa?"

"Tadi aku melihat Ayah tersenyum."

"Ah!" Kim Namgil tersenyum lebar dengan canggung ketika ia telah tertangkap basah. "Tidak, bukan apa-apa. Ayah hanya baru menerima pesan dari rekan kerja ayah."

"Begitu rupanya. Apa yang dikatakan oleh dokter tentang Changkyun?"

"Syukurlah tidak ada luka yang serius. Dia hanya perlu menjalani beberapa terapi guna menghilangkan trauma yang mungkin terjadi pada kepalanya. Dia akan segera pulih."

"Berapa lama Ayah mengambil cuti?"

"Memangnya kenapa?"

"Kami sudah baik-baik saja. Sebaiknya Ayah kembali mengajar secepatnya."

"Eih ... ayah masih menikmati waktu libur ayah, kenapa kau ingin merusak kesenangan pria tua ini?"

Taehyung tersenyum lebar. "Jika Ayah tidak bekerja, tabungan Ayah akan segera habis untuk membayar tagihan rumah sakit kami."

Kim Namgil memasang wajah masam. Dia kemudian mencibir, "benar, aku akan jatuh miskin jika tidak bekerja. Aku benar-benar diberkahi karena putra sulungku yang pengertian. Kau ingin kembali ke kamarmu?"

"Tidak, aku keluar karena Ayah pergi begitu lama."

"Baiklah, kalau begitu ayo masuk."

Kim Namgil menyimpan ponselnya dan mendorong kursi roda Taehyung kembali memasuki ruang rawat si bungsu.

"Ayah ..."

Dahi Kim Namgil mengernyit, matanya memicing penuh selidik ketika ia mendengar rengekan dari putra bungsunya.

"Kenapa? Kenapa tiba-tiba merengek?"

Lee Yowon dan Taehyung yang melihat hal itu hanya tersenyum simpul, sepertinya mereka baru saja merencanakan persekutuan.

"Aku kehilangan ponselku," ujar Changkyun dengan nada menyesal.

"Lalu?"

"Maukah Ayah membelikan yang baru untukku?"

Kim Namgil tersenyum sinis dan berkata, "tabungan ayah sudah habis untuk biaya perawatanmu, jangan bermimpi untuk memiliki ponsel baru."

"Kenapa ... jika aku tidak memiliki ponsel, bagaimana aku bisa menghubungi kalian?"

"Kau bisa menghubungi kami menggunakan telepon umum."

"Telepon umum sangat tidak efektif. Tidak masuk akal jika aku harus berlari mencari telepon umum untuk menghubungi kalian."

"Kalau begitu memohonlah dengan ekspresi yang lucu dan ayah akan mempertimbangkannya."

Bukannya membuat eskpresi wajah yang terlihat lucu, Changkyun justru menunjukkan raut wajah datar. Tak peduli seberapa sering ia disebut menggemaskan, ia tetap membenci saat ia harus bertingkah lucu untuk meminta sesuatu. Dan alih-alih memohon, Changkyun justru mencibir dengan suara lebah yang tidak bisa terdeksi.

"Apa yang baru saja dia katakan?" tanya Kim Namgil pada Taehyung.

"Dia hanya ingin ponsel baru, kenapa Ayah mempersulitnya? Dia mengatakan jika Ayah sangat jelek."

"Aku tidak mengatakan itu?" Changkyun tiba-tiba melayangkan protes dengan mata yang melotot.

"Lihatlah, mata kucingnya melebar," gumam Taehyung sembari menahan tawa.

"Hyeong ..." protes Changkyun.

Keluarga itu kembali berkumpul dalam suasana yang hangat. Tapi kala itu tatapan Kim Namgil yang tertuju pada putra bungsunya terlihat berbeda. Ada harapan yang besar di sana, dan harapan itu diungkapkan oleh hatinya.

"Benar, tidak apa-apa. Putraku baik-baik saja. Aku sudah merawatnya dengan baik selama ini, dia pasti baik-baik saja. Tidak ada yang perlu ditakutkan."

★★★★

Hari berganti, kondisi kedua putra Kim Namgil berangsur membaik. Dan nyatanya ayah dua anak itu membutuhkan waktu yang cukup panjang hanya untuk mengambil sebuah keputusan untuk satu putranya. Taehyung telah diizinkan pulang satu hari yang lalu dan tetap harus melakukan pemeriksaan setiap satu minggu sekali untuk memastikan bahwa alat di dalam dada Taehyung itu berfungsi dengan baik.

Kim Namgil telah kembali mengajar, tapi Lee Yowon belum kembali membuka firma hukumnya karena ia masih fokus untuk merawat kedua putranya. Sore itu Kim Namgil baru saja tiba di rumah sakit, ia menempuh perjalanan dari Universitas. Dan ketika ia sampai, kala itu Dokter Shim baru saja menyelesaikan kunjungannya terhadap Changkyun.

Keduanya saling menundukkan kepala ketika berpapasan dan Kim Namgil menghampiri istrinya yang sebelumnya mengantarkan kepergian Dokter Shim.

"Kenapa Dokter Shim kemari?"

"Tentu saja untuk memeriksa Changkyun. Dokter Shim mengatakan bahwa hari ini Changkyun sudah boleh pulang."

"Begitukah?"

Lee Yowon mengangguk dengan seulas senyum yang mengembang di wajahnya. "Kau sudah melihat keadaan Taehyung di rumah?"

Kim Namgil menggeleng. "Tidak, aku langsung kemari begitu perkerjaanku selesai."

"Kalau begitu kita harus segera mengurus pembayaran dan segera pulang. Aku juga belum mengabari Taehyung jika adiknya pulang hari ini."

"Kalau begitu pulanglah lebih dulu, urusan di sini biar aku yang menyelesaikannya."

Lee Yowon terlihat ragu. "Apakah tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, memangnya kenapa? Changkyun bersama ayahnya, dia pasti akan baik-baik saja."

Keduanya saling melempar senyuman lebar.

"Kau ini. Ya sudah, aku akan berpamitan pada Changkyun."

Hari itu Lee Yowon pulang lebih dulu. Dan setelah mengantar kepergian sang istri di depan ruang rawat, Kim Namgil kembali menemui putranya. Dia menarik sebuah kursi di samping ranjang dan duduk di sana.

"Bagaimana keadaan bandit kecil ayah? Kau sudah siap untuk kembali berkelahi?"

"Apa itu?" Changkyun menatap kesal karena sang ayah justru menggodanya.

"Ah ... benar, bukankah kita sudah membuat janji? Kau tidak akan mengingkarinya, kan setelah kita pulang?"

"Tidak ... aku akan berhenti berkelahi," sahut Changkyun setengah hati.

"Sungguh? Ayah seperti baru saja mendengar bahwa seseorang tengah berusaha membodohi ayah."

"Apa yang Ayah maksud? Aku benar-benar akan berhenti. Aku tidak ingin menyusahkan kalian seperti ini lagi," ucap Changkyun dengan suara yang menggerutu.

Kim Namgil tersenyum lebar. "Ayah percaya jika putra ayah tidak akan mengingkari janjinya."

Pembicaraan keduanya sejenak terhenti hingga hal itu mengundang tanda tanya di wajah Changkyun.

"Kenapa Ayah masih ada di sini?"

"Memangnya kenapa?"

"Tadi dokter mengatakan bahwa aku sudah boleh pulang. Ayah tidak akan mengurus kepulanganku?"

Kim Namgil tak bereaksi, membuat si bungsu menunggu dan semakin bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada ayahnya.

"Kenapa Ayah diam saja?"

Kim Namgil tersenyum tipis dan tampak menyimpan beban yang besar dalam senyuman itu. Dan cara berbicara pria itu menjadi lebih lembut ketika ia berbicara pada putranya.

"Begini ... bagaimana jika kau tinggal di sini satu hari lagi?"

Changkyun menatap heran. "Kenapa? Dokter mengatakan jika aku sudah boleh pulang?"

"Ini permintaan khusus dari ayah. Ada sesuatu yang harus kau lakukan bersama Dokter Shim sebelum pergi."

"Apakah itu?"

"Tunggulah di sini dulu. Ayah akan membelikanmu ponsel baru untukmu ketika kita pulang nanti." Kim Namgil beranjak berdiri.

"Apakah ini rahasia?" celetuk Changkyun.

"Rahasia? Untuk siapa?"

"Apakah kakak dan ibu tidak boleh tahu?"

Kim Namgil tersenyum. "Ayah yang akan mengatakan ini pada kakak dan ibumu. Ayah akan segera kembali."

Kim Namgil kemudian meninggalkan putranya. Pada akhirnya setelah pertimbangan panjang, seorang ayah mengambil sebuah keputusan penting bagi putranya. Hampir sampai di ruang kerja Dokter Shim, kala itu sang dokter keluar dari ruangannya dan berniat untuk pulang setelah jam kerjanya hari itu habis.

"Dokter Shim."

Pergerakan Dokter Shim terhenti di depan pintu. "Pak Kim?"

"Dokter ingin pergi?"

"Benar. Ada perlu apa Pak Kim menemuiku?"

Kim Namgil berbicara dengan sedikit ragu, "begini ... tentang saran yang Dokter berikan waktu itu. Bisakah Dokter melakukan pemeriksaan kepada putraku?"

Dokter Shim sempat tertegun sebelum pada akhirnya tersenyum tipis. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk menunjukkan hasil yang terbaik pada Pak Kim. Mari kita berdoa agar semua baik-baik saja. Aku akan membuatkan jadwalnya besok, jadi putra Pak Kim tidak harus pulang sekarang."

"Terima kasih, Dokter."

"Kalau begitu, aku harus pergi sekarang."

Keduanya saling membungkukkan badan sebelum berpisah. Dan malam itu, tanpa mengetahui rencana dari suaminya, Lee Yowon memenuhi meja makan dengan beberapa menu kesukaan kedua putranya serta suaminya.

Dari ruang keluarga Taehyung menghampiri ibunya yang sibuk di dapur. Taehyung yang melihat meja makan terisi penuh merasa bahwa ibunya sedikit berlebihan.

"Ibu."

"Oh? Kau membutuhkan sesuatu?" Lee Yowon mendatangi putranya.

"Apakah kita akan kedatangan tamu? Kenapa Ibu memasak banyak sekali?"

Lee Yowon menjawab sembari tersenyum, "ini untuk merayakan kepulangan adikmu."

"Apa ini? Ibu bahkan tidak melakukan apapun saat aku pulang." Taehyung berbicara seolah ia tengah merasa iri.

"Apa maksudmu? Kau merasa iri dengan adikmu?"

Taehyung langsung mengangguk. "Aku merasa sangat iri."

Lee Yowon tersenyum lebar. "Tapi kenapa mereka belum juga datang?"

"Haruskah aku menghubungi ayah."

"Baiklah, cobalah kau hubungi ayahmu."

Taehyung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sang ayah yang langsung menerima panggilannya.

"Ayah, apakah kalian sudah meninggalkan rumah sakit?"

"Oh? Taehyung, katakan pada ibumu bahwa Changkyun tidak jadi pulang hari ini."

Taehyung langsung memandang ibunya. "Kenapa? Apakah terjadi sesuatu?"

"Tidak, tidak seperti itu. Ayah baru saja menemui Dokter Shim dan dia mengatakan jika Changkyun masih harus melakukan beberapa pemeriksaan sebelum pulang."

"Begitukah? Kalau begitu aku akan menyampaikannya pada ibu. Jika terjadi sesuatu, Ayah harus segera mengabari kami." Taehyung kemudian memutuskan sambungan telepon.

"Ada apa? Apa yang dikatakan oleh ayahmu."

"Changkyun batal pulang hari ini."

Lee Yowon tentu saja terkejut. "Kenapa? Ada apa dengan adikmu?"

"Dia baik-baik saja. Ayah mengatakan bahwa Changkyun masih harus melakukan beberapa pemeriksaan sebelum pulang."

Pernyataan Taehyung membuat Lee Yowon merasa heran. "Tapi Dokter Shim tidak mengatakan apapun sebelumnya."

"Mungkin Dokter Shim melupakannya ketika bertemu dengan ibu. Jadi bagaimana? Ibu sudah terlanjur memasak sebanyak ini."

Lee Yowon memandang hidangan di atas meja dengan sedikit kecewa. "Mau bagaimana lagi. Mari kita makan malam dan menyimpan sisanya di lemari pendingin." Wanita itu tiba-tiba menggerutu. "Tidak ... kenapa tidak mengatakan sejak sore jika tidak jadi pulang? Setidaknya aku bisa membersihkan rumah. Dia memang sedikit keterlaluan."

Taehyung yang mendengar gerutuan kekesalan ibunya hanya bisa mengulas senyumnya. Beberapa hari terakhir orang-orang menjadi lebih sensitif sehingga bersikap lebih lembut, tapi hal itu justru membuat Taehyung merasa tidak nyaman karena ia bisa melihat dengan jelas kecemasan yang dirasakan oleh kedua orang tuanya. Dia berharap bahwa keadaan akan kembali normal dan semua berjalan dengan baik seperti sebelumnya.

★★★★★

Jika kalian mengikuti cerita ini di Fizzo, maka kalian sudah sampai pada bab 38. Dan untuk bab 39. Jika kalian ingin membaca lebih cepat. Silakan kunjungi saya di Karyakarsa dengan judul - CHILD : SEORANG ANAK YANG KEHILANGAN.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top