8
Waktu yang panjang bagi Changkyun berakhir. Bel sekolah berbunyi, Changkyun mengeluarkan ponselnya dan dengan perasaan yang ragu ia menghubungi ibunya. Setelah cukup lama menahan diri, pada akhirnya dia mendapatkan keberanian untuk menanyakan tentang keadaan sang kakak.
"Ibu," gumam Changkyun ketika telepon tersambung.
"Kau sudah pulang. Tunggu di sana, ibu akan menjemputmu."
"Kakak ... di mana dia?" Suara Changkyun terdengar semakin ragu ketika pertanyaan itu ia lontarkan.
"Kakakmu sedang tidur sekarang, ibu akan ke tempatmu sekarang."
"Aku ..." Changkyun menyela dengan ragu. "Aku akan pergi ke sana sendiri."
Telepon kemudian berakhir, akan tetapi Changkyun justru berdiam diri selama beberapa waktu. Namun sesaat setelahnya ia bangkit, meraih ransel miliknya dan meninggalkan kelas dengan langkah yang tampak terburu-buru. Hanya satu yang ada dalam pikiran Changkyun saat ini, dia harus segera melihat kakaknya. Akan tetapi saat ia hampir menjangkau gerbang sekolah, sebuah teguran datang dari belakang.
"Kim Changkyun ..."
Changkyun menghentikan langkahnya. Berbalik, mendapati si pemuda problematik berlari menghampirinya.
"Kau ingin pergi ke mana?" tegur pemuda itu begitu sampai di hadapan Changkyun.
"Pulang."
Si pemuda problematik tampak terkejut. "Pulang? Kau benar-benar tidak akan ikut malam ini?"
Dahi Changkyun mengernyit. Sebenarnya sejak siang tadi teman-teman terus membujuk dirinya untuk ikut dalam perkelahian dengan pelajar dari sekolah tetangga nanti malam. Dan tentu saja Changkyun menolaknya karena ia memiliki urusan yang lebih penting.
"Lupakan, aku harus melihat keadaan kakakku di rumah sakit."
"Eih ... jangan begitu. Semua orang akan pergi, bahkan Baek Juho juga akan pergi. Mereka akan menginjak-injak diri harga dirimu jika kau tidak datang."
"Kalau begitu sewakan atap gedung setelah urusan kalian selesai, aku pergi." Changkyun mengakhiri pembicaraan dengan cepat dan mengundang kekecewaan ketika ia pergi begitu saja.
"Ya! Kim Changkyun, kau serius? Kau benar-benar tidak akan pergi? Kim Changkyun ..."
Langit Seoul perlahan menggelap, lampu-lampu jalanan membimbing langkah Changkyun untuk menemukan arah yang harus ia tuju malam itu.
Pintu yang tertutup rapat itu perlahan terbuka dari luar. Changkyun melangkahkan kakinya masuk dengan gerakan yang sedikit ragu. Dari ambamg pintu, pandangannya terangkat, menemukan sosok sang kakak yang kini terbaring di tempat yang sama. Sekilas tampak tak ada yang berbeda dari kemarin, tapi tentu saja semuanya sudah berbeda. Kakaknya tetap berada di sana, namun ia ragu akankah semua baik-baik saja saat ini.
Menutup pintu secara perlahan, Changkyun perlahan melangkahkan kakinya ke tempat Taehyung. Langkah tenang yang tak menimbulkan suara seakan tak ingin membuat kedua kelopak mata yang terpejam itu terbuka karena kedatangannya. Hingga pada akhirnya langkah itu berhasil mengantarkannya kembali ke sisi sang kakak.
Changkyun merasa bimbang, haruskah ia senang atau sedih, haruskah ia tersenyum atau menangis. Kakaknya masih ada di sana, ia masih mendengar deru napas lembut milik sang kakak. Tapi apa yang sudah diambil dan digantikan dari kakaknya, ia merasa belum bisa untuk menerimanya.
Netra Changkyun mengerjap ketika menyaksikan kelopak mata sang kakak yang perlahan terbuka. Tanpa sadar Changkyun menahan napasnya seakan-akan apa yang akan terjadi adalah kali pertama pertemuan mereka di dunia ini. Untuk kali pertama, pemuda itu merasa gugup ketika akan berhadapan dengan sang kakak.
Perlahan namun pasti, pada akhirnya pandangan Taehyung mengarah pada wajah canggung Changkyun. Keduanya bergeming hingga sesaat kemudian sebuah teguran terdengar.
"Kau sudah datang?"
Batin Changkyun terkesiap. Suara kakaknya terdengar sangat lemah seakan menegaskan bahwa sang kakak benar-benar sakit saat ini. Seulas senyum yang terukir lemah di wajah sang kakak kembali memberikan penyesalan pada sudut hati Changkyun. Benarkah kakaknya tengah kesakitan saat ini.
Masih dengan suara lemah itu Taehyung kembali berbicara. "Syukurlah ... kau masih tetap di sini."
"H-hyeong." Suara Changkyun terdengar gemetar ketika ia memanggil sang kakak. "Bolehkah aku melihatnya?"
Taehyung mengangguk lemah dan dengan ragu Changkyun mengulurkan kedua tangannya. Pemuda itu pun dengan hati-hati menanggalkan kancing kemeja yang dikenakan oleh sang kakak. Tidak semua, hanya beberapa sampai ia mampu melihat apa yang ingin ia lihat. Tapi pada saat itu Changkyun menghentikan pergerakannya. Keraguan itu datang dengan lebih besar. Dan dalam sekali tarikan napas, ia menyingkap kemeja Taehyung hingga memperlihatkan jahitan baru yang berada di dada sang kakak.
Seketika Changkyun merasa bumi berhenti berputar. Akan tetapi tidak dengan waktu di sekitarnya. Tiba-tiba saja suara jarum jam yang berputar semakin cepat dari waktu ke waktu mengisi pendengarannya. Perlahan tangan kanannya bergerak dengan ragu mendekati jahitan pada dada Taehyung. Akan tetapi pergerakan tangannya terhenti. Ia tak mampu untuk menyentuh jahitan itu.
"Ini ..." Changkyun kembali memandang sang kakak. "Apakah ini terasa sakit?"
Taehyung mengangguk. Untuk kali pertama mengakui rasa sakit yang ia derita, dan pengakuan pertamanya ia lakukan di hadapan adiknya, bukan orang tuanya. Dan seketika itu juga air mata jatuh dari kedua mata Changkyun. Pemuda itu tiba-tiba menangis.
"H-hyeong ... bagaimana ..."
Changkyun meraih tangan Taehyung. Pemuda itu kemudian menjatuhkan kedua lututnya pada lantai, membawa tangan yang ia genggam untuk bertemu dengan keningnya. Dia terisak dengan mulut yang sesekali meracau.
"Bagaimana ini? Aku harus bagaimana? Aku ... bagaimana ini ..."
Kali ini Taehyung tak bisa menahannya. Tak peduli sekeras apapun ia bertahan, kali ini ia justru menangis tanpa suara bersama dengan sang adik. Fakta bahwa dia masih hidup adalah hal yang sangat ia syukuri, tapi di sisi lain ada hal yang membuatnya begitu terluka dan tak bisa ia jelaskan pada siapapun dengan kalimat apapun.
Kim Namgil yang menyaksikan keduanya dari ambang pintu mengusap air matanya yang sempat terjatuh. Kedua putranya tengah menangis bersama, bagaimana mungkin ia merasa baik-baik saja. Tapi bahkan di saat ia tidak baik-baik saja sekalipun, ia harus tetap menjadi orang pertama yang berdiri tegap dalam situasi apapun karena dia adalah seorang kepala keluarga. Putra sulungnya bertahan dengan sangat baik selama ini, jadi tidak mungkin ia menghancurkan kebanggaan semua orang terhadapnya.
Tak ingin menginterupsi dan semakin menambah kesedihan, Kim Namgil menutup pintu dan memutuskan untuk pergi. Akan tetapi saat berbalik, ia sedikit terkejut ketika Lee Yowon sudah ada di sana.
"Ada apa?" tegur wanita itu ketika menyadari perubahan pada raut wajah suaminya.
Kim Namgil menggeleng. "Tidak apa-apa. Mereka baik-baik saja, jadi mari kita pergi dari sini."
Lee Yowon memandang pintu ruang rawat. Samar-samar ia mendengar suara tangisan, tapi ia mengenali bahwa suara itu adalah suara tangisan Changkyun. Dia kemudian kembali memandang suaminya, memahami apa yang dimaksud oleh suaminya barusan.
"Kau ingin makan ramyeon bersamaku?" celetuk Lee Yowon, datang sebagai sebuah hiburan bagi sesama orang dewasa.
★★★★
Changkyun keluar dari ruang rawat Taehyung setelah merasa lebih tenang untuk mencari kedua orang tuanya. Sebelumnya ia juga telah berbicara dengan sang kakak. Saat hendak pergi, sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya berhasil sejenak mengambil alih perhatiannya. Setelah melihat nama sang pemanggil, ia pun menerima panggilan itu.
"Changkyun, habislah kita. Apa yang harus kami lakukan sekarang?" Suara si pemuda problematik yang terdengar panik segera mengisi pendengaran Changkyun.
"Ada masalah apa?" Changkyun menjawab tanpa minat karena ia baru saja menangis.
"Yeongkyu ... mereka menangkap Yeongkyu."
Dahi Changkyun mengernyit. "Polisi?"
"Bukan ... mereka tidak akan melepaskan Yeongkyu jika kau tidak datang. Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
Batin Changkyun sedikit tersentak. Garis wajahnya seketika terlihat serius, terlihat ia yang tengah mempertimbangkan sesuatu sebelum ia mengambil sebuah keputusan.
"Kumpulkan semua orang!" Ucapan tegas Changkyun menutup pembicaraan.
Changkyun kemudian bergegas pergi dengan langkah yang terburu-buru dan bersisipan jalan dengan sang ayah. Dan malam itu, sekali lagi si bungsu mengambil jalan yang sulit. Jalan yang berbeda dengan jalan yang diambil oleh semua orang di keluarganya.
Malam itu Changkyun bersama puluhan siswa dari sekolahnya berada di area sungai Han. Dan di tempat yang cukup gelap itu para pelajar kembali terlibat perkelahian dengan Changkyun yang memimpin di garis depan.
"Bawa Yeongkyu pergi sekarang!" teriak Changkyun yang entah ditujukan pada siapa.
Keadaan benar-benar kacau ketika para anak muda itu tak menginginkan jalan damai dan menuruti ego mereka. Tapi Changkyun masih memiliki sedikit kesadaran. Kakaknya baru saja melalui masa yang sulit, bagaimanapun caranya ia harus segera mengakhiri kekacauan itu dan pergi dengan aman.
Setelah melihat beberapa orang membawa pemuda bernama Yeongkyu pergi, Changkyun berniat menarik mundur teman-temannya. Namun sebelum ada himbauan darinya, semua orang berhenti bergerak setelah sesuatu yang keras menghantam kepalanya dari belakang.
Tubuh Changkyun sedikit tersentak. Sebuah kesalahan fatal terjadi ketika seseorang tak sadar telah memukul kepala Changkyun dengan sangat keras menggunakan potongan besi yang kemudian terjatuh dari tangannya. Semua orang berhenti bergerak, begitupun dengan Changkyun.
Sempat terdiam, Changkyun memandang sekitar. Mendapati tatapan terkejut dari semua orang ketika ia sendiri merasa sesuatu yang dingin menyentuh bagian belakang kepalanya. Ia mengangkat tangan kirinya, menyentuh bagian belakang kepalanya dan menemukan darah menempel pada jemarinya begitu ia menariknya kembali. Dan dengan cepat darah itu terlihat di bagian samping leher pemuda itu. Netra pemuda itu tampak bergetar.
"Aku tidak boleh ada di sini, aku harus kembali," batin Changkyun dalam kepanikan di saat kesadarannya mulai goyah.
Changkyun kembali memandang sekitar dan kekhawatiran orang-orang di sekitarnya bertumpuk menjadi satu, membuatnya merasa kebingungan. Hingga sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Tubuh Changkyun hampir limbung. Ia berhasil mengambil ponselnya dan menemukan nama sang kakak tertera di sana. Entah itu hanya halusinasi atau kenyataan.
Dunia Changkyun mulai tak stabil, semua yang ia lihat tampak berputar. Sebuah panggilan yang ia pikir ia sudah menerimanya justru terabaikan ketika ponsel itu terjatuh dari tangannya begitu ia mengambil langkah.
"Aku harus pulang ... Hyeong ..." Suara hati itu semakin terdengar kacau.
Changkyun melangkahkan kakinya meski kesadarannya semakin berkurang hingga pada akhirnya pada langkah ketiga tubuh pemuda itu tersungkur dan mengundang kepanikan.
"Kim Changkyun!"
"Ya! Kau sudah gila! Kau ingin membunuh temanku!"
"Changkyun ... Kim Changkyun, sadarlah!!!"
Wajah Changkyun mengernyit, tampak sangat kesakitan. Pandangannya yang mengabur tak lagi bisa mengenali apapun yang berada di sekitarnya. Namun hingga akhir keinginannya tetap sama.
"Aku harus segera pulang. Tunggulah aku, Hyeong ..."
Suara sirine mobil ambulan membelah jalanan padat Seoul malam itu ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top