p r o l o g.
Hari baru yang biasa yang selalu diawali dengan suasana pagi yang tak banyak berubah membangunkan sesosok pemuda berambut blue-ash panjangnya yang berantakan dari lelapnya tiba-tiba bahkan sebelum secercah cahaya mentari merekah. Nampaknya jelas terjawab sudah dari wajahnya yang terlukis gelisah. Namun, ia malah menyangkal dengan bergumam, "Seburuk apa mimpiku memangnya?"
Meski ia tahu jika ada sesuatu yang salah sesaat dari ucapannya.
Pun seketika ia menyadari waktu yang terus berjalan dan mentari yang kian menyinari bumi dengan penuh kehangatan. Segera setelah itu ia dikejutkan dengan dering sebuah panggilan.
Dengan cepat ia meraih ponselnya dan menjawab, "Ah, ya, moshi-moshi?" Pun berharap tak disadari kantuknya dari suaranya yang nyaris ia menguap.
"Maaf mengganggumu, nee, Nagao-san. Aku ingin kau tahu kalau ... sepertinya tidak ada lowongan untukmu sebagai dokter maupun asisten hari ini. Jadi, kuharap kau tetap mau menunggu dan bersiap untuk panggilan selanjutnya nanti."
"Souka .... Baiklah, aku pasti akan melakukan yang terbaik untuk itu! Terima kasih atas bantuannya!" Dan kalimat dari Nagao Kei ucapkan tersebut menjadi akhir dari panggilan pekerjaannya dengan sedikit helaan napas kecewa setelahnya.
"Yahh, meski begitu aku jadi bisa mengajar ... !" gumam positifnya yang mendorongnya beranjak dari ranjang dan dengan segera menuju kamar mandi untuk bersiap menjalani pekerjaannya yang lain yang sedang menunggunya.
Pun setiap detik yang berjalan nampak mulai menggiring sang surya dari ufuk timur nabastala untuk kian menghapus gulita. Tak lupa dengan khangatannya yang menyinari setiap sudut bumi membangunkan setiap makhluk hidup untuk memulai hari mereka.
"Ah, gawat ... ! Jam berapa sekarang?" Namun, sepertinya malah mengejutkan beberapa dari mereka yang dari semalam tak henti terjaga. Bagaikan sebuah peringatan untuk bersiap sedia kembali bekerja.
"Tujuh lebih lima belas menit, Genzuki-sensei."
Helaan napas panjang dihembuskan oleh Genzuki Tojiro seketika. "Aku rasa aku akan setuju dengan keputusan memiliki asisten itu ... ," gumamnya terdengar kewalahan sudah.
Begitulah kira-kira yang dirasakan sang dokter muda yang baru saja selesai dengan jadwal operasinya pada seorang pasien wanita.
"Oh, soal itu ... sepertinya pihak rumah sakit sudah menemukan orang yang cocok untukmu, Sensei, tapi sepertinya harus menunggu lagi terlebih dahulu," jawab seorang perawat yang sedang ada bersama Genzuki tersebut.
"Benarkah? Ah, syukurlah." Genzuki tersenyum lega. "Kalau begitu, sebaiknya aku cepat mengantarkan Keitsuki-kun ke sekolah. Jadi, tolong jaga dan benar-benar perhatikan Aotsuyuki selagi aku tidak ada, ya? Jaa, otsukaresama," ucap Genzuki lagi dengan senyum sebelum akhirnya berlalu pergi.
Pemuda dengan rambut secantik lavender tersebut berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi sunyi itu dengan hati-hati mengingat kedua manik dualnya yang sudah begitu sayu saking lama menahan kantuk. Syukurlah setidaknya ruang yang dia tuju tak terlalu jauh.
Dan dengan segera ia memutar gagang pintu sembari melepas kantuk dengan menguap beberapa saat lalu, sebelum akhirnya pintu terbuka yang malah membuatnya terkejut. "Eh? Keitsuki-kun?" gumamnya bagai memanggil sang pemilik ruangan tersebut. "Aku yakin dia sudah bangun ...." Ia pun terpaksa menutup pintu dan mencari sosok yang diketahui dengan nama Keitsuki itu.
Di ruangan yang berbeda, sunyi sepi kembali terasa, bahkan detik jarum jam pun terdengar jelas rasanya, terlebih semakin bising dengan suara kardiografi sebagai tambahannya.
Padahal sudah ada seseorang di sana. Namun, sepertinya benar-benar sia-sia jika ia yang di sana tak membuka mata.
Maka, dengan berani dan polosnya, pemuda cilik yang juga mengisi ruangan pun mulai berkata, "Nee, Okaa-san, ayo, bangun .... Kau, 'kan, akan mengantarku ke sekolah hari ini. Bagaimana kalau terlambat nanti?" Bahkan ia sedikit mengguncangkan tubuh sesosok wanita yang masih setia terbaring lelap dengan beberapa selang medis yang terpasang ini.
Namun, ya, seperti yang diduga. Sama sekali tak ada reaksi apa-apa. Pemuda cilik tersebut dengan pasrah menidurkan kepala di lengan sang wanita yang diketahui sebagai ibundanya. Pun tak henti untuk kembali berkata, "Okaa-san ... apa yang Genzuki lakukan padamu? Kau jadi lebih sering tidur kau tahu ...."
"Ah, yokatta, Keitsuki-kun! Jaa, apakah kau—" Mendadak ucapan Genzuki Tojiro yang baru saja lega telah menemukan dia yang bernama Keitsuki pun terjeda seketika mendapati pemuda cilik tersebut bersedih mengetahui keadaan sang wanita yang baru saja ia operasi tak kunjung sadar diri.
Dengan iba Genzuki semakin memasuki ruangan dan menghampiri Keitsuki. "Gomen, nee, Aotsuyuki masih ingin beristirahat sebentar. Jadi, kau tetap akan bersekolah, 'kan?" tanyanya dengan lembut seraya mengelus rambut sampai punggung Keitsuki.
Keitsuki nampak menggeleng pelan pun membuat jarak dari Genzuki. "Aku tidak akan dan tidak ingin meninggalkan Okaa-san," jawabnya bagai membantah.
Genzuki tersenyum tipis setengah miris seketika. "Kau sungguh menyayanginya, ya? Tenang saja, aku ... sangat menyayangi Aotsuyuki juga .... Aku sangat mencintainya ... dan akan melakukan apapun untuk membuatnya sembuh dan sehat lagi untukmu juga tentu saja. Apakah kau masih mau percaya ... ?" ucapnya yang terdengar lirih meminta.
" ... Tapi Okaa-san tidak melihatku bersekolah." Keitsuki nampak masih kekeuh untuk menetap di sisi sang ibunda.
Sesungguhnya membuat Genzuki semakin iba. Bahkan tak dapat dipungkiri jika ia juga kecewa disaat tak menyentuh sedikit pun hati mungil Keitsuki yang merupakan anak dari sang pasien wanita yang dicintainya. Rasanya ia tak bisa melakukan apa-apa, selain membujuk calon si kecilnya barusan.
Namun, sesaat menghela napas panjang, Genzuki dengan semangat mulai berkata, "Bagaimana kalau kupastikan Aotsuyuki datang menjemputmu sepulang sekolah? Aku yakin dia akan sadar secepatnya karena juga tak sabar ingin melihatmu bersekolah, nee?" Tetap saja ini adalah bujukan juga.
Meski begitu dengan sangat Genzuki berharap tak tampak memberi harapan palsu. Pun ia khawatir sampai merana dalam rindu yang menggebu-gebu.
Seketika Keitsuki mulai mau mengalihkan pandangannya pada pemuda yang ia tahu jika nantinya adalah sang calon ayah tersebut. "Jadi ... , Okaa-san tidur lama agar bisa menjemputku ... ? Berarti aku benar-benar bisa bertemu Okaa-san sepulang sekolahku?" tanyanya dengan tatapan memohon yang agak sendu.
Genzuki kembali mengukir senyum. "Ya! Akan kupastikan itu!"
Keitsuki mengangguk. "Janji mengajak Okaa-san untuk menjemputku?" Ia memberikan jari kelingkingnya yang mungil itu.
Sesaat Genzuki malah membisu. Namun, dengan senyum ia menautkan kelingkingnya pada kelingking mungil calon si kecilnya tersebut. "Janji ...." jawabnya, walau ragu.
Segera setelah itu, keduanya meninggalkan ruangan sesosok pasien wanita yang diduga sebagai Shirotsuki Aoyuki yang tak lain adalah sang calon istri Genzuki Tojiro yang menangani operasi jantungnya subuh ini.
Detak jantung yang terekam di alat kardiograf tersebut tetap menunjukkan tanda-tanda jika ia hidup. Namun, dengan sangat Genzuki ingin tahu bagaimana rekaman perasaan yang berdetak dalam jantung wanita berambut navy yang masih setia beristirahat setenang hembusan napas lembutnya itu.
Pun ingin sekali ia mengatakan ucapannya yang hanya sebatas membatin, " ... Aku mencintaimu. Aku menunggumu. Selalu."
"Wahh, ramai! Apa aku terlambat, yaa?"
"Ya, 'kan, sudah kubilang tinggal lurus saja! Kau malah ke mana-mana sampai terlambat sendiri, 'kan!"
"Hushh, Haru, suaramu ... ! Kau jadi terlalu galak di tempat anak kecil ini tahu."
"Siapa lagi kalau bukan kau yang memancing emosiku ... !"
"Aku, 'kan, minta bantuanmu, bukan emosimu!"
"Akhh! Nagao-kun!" Seketika Kaida Haru berusaha menahan diri untuk tidak mengubur hidup-hidup kawannya si Nagao Kei itu. "Ugh—hahh ... , sudahlah. Semoga saja kau tidak nyasar di tempat kerja barumu. Maksudku, ini hanya Taman Kanak-Kanak kau tahu," sambungnya dengan pasrah.
"Tentu saja aku tahu!" jawab Nagao terdengar protes di balik semangatnya yang menggebu itu.
Sesaat Haru menatap malas Nagao. "Lalu?"
"Eh? He? Nande?" Nagao watados saking gagal paham dengan ucapan Haru.
Haru menepuk jidatnya. "Sudah kuduga." Ia berkata, "Lalu kenapa kau masih di sini? Bukankah kau harus mengajar atau apapun itu? Dasar, guru macam apa kau ini, huh!" Haru jadi gemas pengen tabok.
"A-ah, soukaa! Iya, juga, ya! Hehehe ...." Nagao malah nyengir. "Jaa, kalau begitu, ayo, temani aku mencari ruang guru dulu!"
"Hah? Tidak mau! Kau ini guru atau anak TK baru?"
"Hee, ayolah, Ha—Tojiro?" Pun pandangan Nagao benar-benar menangkap sosok yang ia sebut namanya tiba-tiba itu. Sesaat membuatnya bertanya-tanya, sebelum akhirnya menepis rasa penasaran alih-alih heran tersebut. "Ah, ya, sudah, kalau kau tidak mau! Aku akan meminta Tojiro saja yang menemaniku!" ucapnya yang disusul dengan berseru, "Oii, Tojiro!"
"Are? Genzuki?" Haru yang tak percaya pun segera mencari sosok yang dimaksud Nagao tadi.
Sementara dia yang sedari tadi diketahui sebagai Genzuki nampak fokus pada seorang pemuda cilik yang dengan segera ia gandeng tadi, sebelum terhanyut dalam ramainya Taman Kanak-Kanak yang menjadi tujuan Genzuki untuk calon si kecilnya, Keitsuki, ini.
Sesaat canda tawa yang menghiasi setiap anak dan orang tua di sini membuat Genzuki memperhatikan Keitsuki. "Kau mau aku menemanimu sampai ke kelas, Keitsuki-kun?" tanyanya kemudian yang tak lupa dengan senyum.
Keitsuki diam cukup lama, sebelum akhirnya hanya memalingkan muka saking tak tega menjawab tidak pun enggan dengan iya. Bahkan masih setia menggandeng Genzuki saking segan melepasnya.
Seketika Genzuki menghela napas. "Memang tidak mau, ya?" batinnya, "Ah ... , padahal aku ayahnya, tapi malah buruk kalau membujuknya ...." Ia mendadak dilemma.
" ... Apa lagi yang harus aku lakukan untuk bisa lebih mendekatinya?"
Kali ini helaan napas Genzuki semakin panjang alih-alih melepas sedih.
"Nee, Kei—"
"Woah, memang Tojiro, ya!"
Seketika sebuah seruan yang cukup nyaring bin berisik di antara keramaian ini menarik atensi Genzuki yang mendapati sesosok pemuda berambut blue-ash panjang tengah berlari sambil melambai-lambai. "Eh? N-Nagao-kun?" Ia sendiri sampai terkejut sekaligus bingung.
"Ohh, Genzuki-kun? Hisashiburi! Apa yang kau lakukan di sini?"
"Ah, ada Kaida-kun juga? H-hisashiburi .... Kebetulan sekali aku baru saja sampai untuk me—"
"Mengantarkan anakmu? Uwoh! Dia?" Nagao yang sedari tadi heboh malah jadi makin heboh sampai-sampai berjongkok untuk mengamati langsung sosok anak kawannya tersebut.
"U-um ... , ya, begitulah ... ," jawab Genzuki yang terlukis jelas keraguannya.
"Uwoh! Siapa namamu? Apakah kau anak baru? Kebetulan sekali aku juga guru baru, loh!" tanya Nagao bertubi-tubi sembari mendekati anak laki-laki yang tak lepas dari gandengan Genzuki ini.
"Oh, jadi, kau sudah bersamanya?" Giliran Haru yang bertanya.
"Ya ... , kurang lebih—"
"Eh, apa? Apanya yang bersama siapa?" timpal Nagao segera seraya mendongak untuk lebih menyimak pembicaraan kedua temannya.
Namun, sesaat atensi Nagao kembali tertarik pada si kecil di samping Genzuki yang baru saja melirik. Seketika waktu seolah tak berdetik di saat sebuah perasaan seperti bermimpi mulai memporak-porandakan hati Nagao Kei yang mendapati wajah si kecil ini bagaikan cerminan dirinya sendiri, terlebih sama-sama terlukis sosok yang dia ketahui.
Rasanya ia bukan sekadar bermimpi pagi tadi.
"N-nee, Tojiro—"
"Benarkah ... ? Souka ... , kuharap Aotsu—"
"Siapa?"
KRIING!
Ketiganya segera terdiam sembari beralih pada sumber suara dering bel tanda masuk sekolah, sementara pemuda cilik yang setia di tengah-tengah mereka malah pun tetap tak memberi reaksi apa-apa.
Dan sialnya Nagao tak mendapatkan jawaban apa-apa pun tak sempat mendengar pembicaraan kedua temannya.
"Ah, sayang sekali, ya. Kita harus berpisah. " Genzuki membuka suara. "Jaa, ayo, kita masuk ke kelasmu bersama," ucapnya lagi pada calon si kecilnya.
Kali ini si kecil tersebut melepas gandengannya.
" ... Jemput aku bersama Okaa-san saja nanti," katanya yang kemudian berjalan mendahului tiga orang dewasa tersebut, terlebih agak menjauh dari Genzuki.
Lagi Genzuki menghela napas beratnya. "Maaf, ya, Nagao-kun. Dia memang agak pemalu," ucapnya alih-alih menyembunyikan rasa kecewanya itu.
"A-ah, daijoubu! Aku pasti bisa mengatasi itu! 'K-kan itu tugasku sebagai guru!" jawab Nagao sembari kembali berdiri untuk lebih meyakinkan temannya tersebut.
"Syukurlah kau sadar tugasmu. Saa, cepatlah sana, karena mereka semua sudah hampir masuk," timpal Haru agak ketus.
"Huu, dukungan macam apa itu!" Nagao mendengus. "Yosh, hari pertamaku menjadi guru! Jaa nee! Jangan kangen aku!" sambungnya yang dengan cepat kembali semangat.
"Itterashai~ Tolong jaga dia sampai aku menjemputnya, ya?" pinta Genzuki seraya melambai kecil.
Nagao dengan mantap mengangguk dengan senyum. "Pasti!" Segera setelah menjawab, ia menyusul si kecil yang masih ia duga sebagai anak dari seorang Genzuki Tojiro, walau masih terngiang bayangan cerminan dirinya tersebut.
Tak butuh waktu lama dalam menyamakan langkah kakinya pun Nagao tak henti mengamati si kecilnya Genzuki. Sesaat ia bingung antara menggandeng atau membiarkannya berjalan sendiri sambil beriringan seperti ini.
"Tapi daripada dia merasa terpaksa seperti dengan Tojiro tadi ... memang lebih baik begini ... ," batin Nagao yang segera teringat kembali cerminan dirinya yang ada pada si kecilnya Genzuki dalam sekali lirik.
" ... Tapi apa benar dia terpaksa atau memang hanya malu-malu saja tadi?" Nagao jadi menggigit bibirnya sendiri. "Memangnya siapa aku ini di sini ... ?"
" ... Aku tak perlu (layak) untuk mencarinya kembali." Sesaat Nagao nampak pasrah sekali.
" ... Kau baik-baik saja? Maksudku, kau tahu jika tantangannya tak mudah," tanya Haru sesaat memandangi kepergian Nagao yang berjalan berdampingan dengan si kecilnya Genzuki.
Genzuki terus tersenyum sampai nampak lagi miris. "Aku akan tetap berusaha yang terbaik untuk Keitsuki, Aotsuyuki, dan ... membangun keluarga atas nama Genzuki ini ... ," jawabnya agak tertunduk pun menahan perih mengingat ia tak merasakan keterikatan kasih sepanjang perjalanannya dalam membangun keluarganya sendiri.
Meski teruntuk Shirotsuki Aoyuki yang merupakan pasien wanita yang terbaring di rumah sakit sesaat menjalani operasi jantung tadi pun sesungguhnya wanita itu masih belum yakin dengan keputusannya terhadap hati.
Dan sementara Keitsuki menyadari sesuatu yang ingin ia ketahui sepanjang ia berjalan beriringan dengan guru yang katanya baru ini.
"Kenapa dia mengerti?"
Sesungguhnya perbuatan gurunya yang agak menjaga jarak darinya yang sibuk menata emosi ini cukup menyentuh hati yang belum tertata rapi.
Namun, tak dapat dipungkiri jika sepertinya ada banyak yang belum mereka ketahui, karena mereka yang belum selesai, selain Nagao Kei resmi bercerai, Genzuki Tojiro menjadi calon suami, dan Shirotsuki Aoyuki masih bisa memilih, sementara Keitsuki tetap berbahagia, walau tergantung dengan siapa ia nanti.
Bagaimanapun, ini tentang kembali dimulai atau kembali berakhir jika Nagao Kei teringat sang mantan istri, Genzuki Tojiro memaksakan diri, dan Shirotsuki Aoyuki tak memantapkan hati, terlebih sampai Keitsuki yang jadi menanggung pedih dan sakitnya hati.
Sialnya, inilah masalah hati.
To Be Continued
Story By -freude
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top