5 | Rumor Tersebar


5 | Rumor Tersebar




"Hah? Enggak!"

Jawaban itu spontan keluar dari mulut Dhisti ketika dia ditanya pertanyaan yang sudah dilontarkan kepadanya sepuluh kali oleh orang yang berbeda selama seminggu ini, yakni, "Lo pacaran sama Aksa?"

"Eh, masa sih?" tanya seorang gadis yang Dhisti tahu merupakan teman Aksa dari jurusan IPS. Kebetulan, Dhisti bersama Riri, teman sekelasnya, ingin mengunjungi temannya yang merupakan anak IPS untuk meminjam novel, lalu bertemu gadis itu. "Dia nyamperin lo kan kelar sparring basket minggu lalu? Yang ditontonin anak-anak?"

Astaga. Sebegitu kelihatannya, kah? "Ya itu... dia cuma samperin gue aja. Kayak kita kalau samper teman kita gitu."

"Hmm." Gadis itu manggut-manggut. "Tapi, kalau pacaran beneran juga nggak apa-apa, sih. Lumayan tuh kali-kali lo bisa ngerem kebadungan si Aksa."

Dhisti hanya tersenyum, lalu meninggalkan gadis tadi setelah temannya memberi novel yang ingin Dhisti pinjam. Dhisti dan Riri pun pergi ke kantin bersama. Sudah seminggu terlewati sejak insiden Aksa-habis-sparring-basket-lalu-mendatanginya, Dhisti jadi selalu bawa bekal karena tak ingin bertemu Aksa di kantin. Namun dari tiga hari belakangan, Dhisti pernah mencoba ke kantin dan tak bertemu sama sekali dengan Aksa atau anak gengnya. Kata Fadila, biasanya Aksa nongkrong di belakang sekolah bersama teman-temannya sambil merokok.

Namun baru lepas dari 'cengkeraman' gadis tadi, di tengah jalan menuju kantin, Riri juga ikutan bertanya, "Lo beneran nggak pacaran sama Aksa?"

"Astaga, enggak," jawab Dhisti dengan lelah. "Kenapa sih mikir gue pacaran sama Aksa?"

"Orang-orang pada ngomongin," jawab Riri. "Soalnya, tiba-tiba banget Aksa baru kelar tanding langsung samperin elo. Maksudnya, pas sparring pulang sekolah itu kan Aksa pasti jadi tontonan anak-anak. Pas masih jadi tontonan, tiba-tiba dia naik ke lantai tiga cuma buat samperin lo. Aneh aja kalau lo bukan siapa-siapanya, tapi Aksa sampai capek-capek naik ke lantai tiga buat nemuin lo."

Dhisti terdiam. Ya, dia juga memikirkan kemungkinan itu. Itulah kenapa dia bertanya untuk apa Aksa mendatanginya. Namun, Aksa hanya menjawab karena lelaki itu heran Dhisti tak sadar ketika Aksa melambai kepadanya di lapangan. Yah, Dhisti paham kalau Aksa heran. Tapi, apa iya harus sampai naik ke lantai tiga untuk menemuinya?

Menghela napas, Dhisti memilih untuk mengabaikan pikiran itu dan makan saja. Perutnya lapar. Dia memesan semangkuk soto dan nasi beserta kerupuk, sementara Riri tengah menunggu mi instan di penjual sebelahnya. Dhisti duluan menempati sebuah meja kosong di pojok kantin sambil menunggu Riri. Dia menggigit kerupuknya dulu sambil menunggu sotonya tak terlalu panas. Dan Kala Dhisti baru mengunyah kerupuknya, matanya bertemu dengan mata Aksa yang baru memasuki kantin.

Melotot, dalam hati Dhisti ingin mengumpat. Duh, kenapa harus ketemu, sih? batin Dhisti, panik. Dia harap Aksa tak berusaha berinteraksi dengannya. Namun, harapan itu pupus kala dia menoleh ke arah lelaki itu, lalu melihat Aksa tersenyum kepadanya sambil menaik-naikkan alis, membuat beberapa orang di sekitar Aksa sadar lalu menoleh ke arah Dhisti.

Mata Dhisti terpejam. Udah, Tuhan, jangan sampai Aksa duduk dekat aku.

Dan ternyata, doa itu tak terkabul karena tak lama, Dhisti merasakan bangku di depannya diisi oleh Aksa. Mata Dhisti kembali terpejam sambil mengunyah kerupuknya. Kepalanya tertunduk. Berpikir barangkali Aksa hanya ingin duduk-duduk saja.

Melihat Dhisti mengaduk sotonya, Aksa menyenderkan punggungnya ke punggung bangku sambil dengan tenang, bertanya, "Apa kabar, Dhis?"

HAH? Apa kabar? Dia nanya kabar? Emangnya udah lama banget nggak ketemu gitu? "Baik," jawab Dhisti datar. Lalu menyibukkan diri dengan makanannya sambil mencari-cari sosok Riri. Jika Riri ada di sini, Dhisti bisa mengabaikan Aksa sepenuhnya dengan fokus makan sambil mengobrol dengan Riri.

Tak lama, sosok yang Dhisti cari pun keluar dari antrean penjual mi instan dengan membawa semangkuk mi instan dan kerupuk udang kecil. Dhisti tersenyum dan melambai-lambai agar Riri melihatnya. Aksa ikut menoleh. Lalu Dhisti berkata, "Ri, sini!"

Riri yang melihat sosok Aksa menyengir di depan Dhisti pun berhenti melangkah. Tak yakin untuk duduk semeja dengan anak paling badung satu sekolahan. Akhirnya, Riri menoleh ke sekitar, lalu berkata, "SORI, DHIS! Gue gabung sama Puspita aja, ya!"

Dhisti melotot. Tidak, dia tak masalah jika Riri ingin duduk bersama Puspita. Namun, dia tahu Riri melakukan hal itu karena ingin kabur.

Aksa kembali menoleh ke arah Dhisti. Wajahnya masih tenang dengan senyum terpasang di bibir melihat tingkah gadis di depannya.

Ketika Aksa sudah kembali menoleh ke arah Dhisti, Dhisti masih melotot ke arah Riri yang mengangkat kedua tangan yang tertangkup untuk gestur minta maaf. Bibir Riri mengucapkan sesuatu yang dari gerakan bibirnya bisa Dhisti terka dengan kalimat, 'Sori, abis ada Aksa.'

YA EMANG KENAPA KALAU ADA AKSA? Sumpah, ingin sekali Dhisti berteriak begitu. Namun, dia cukup sadar untuk tidak membuat keributan di kantin. Jadi akhirnya, Dhisti berusaha berdamai dengan keadaan lewat lanjut makan dan mengabaikan Aksa.

Aksa hanya tersenyum tipis memandangi Dhisti yang sedang makan. Dia menyilangkan tangan di atas meja, mendekat ke arah sang gadis, lantas bertanya, "Udah lama kita nggak ketemu."

"Kita cuma nggak ketemu semingguan. Bukan sepuluh tahun."

Balasan itu justru membuat senyuman di bibir Aksa melebar. "Ah, lo ngitungin ternyata, kalau kita udah seminggu nggak ketemu."

Sendok soto yang tadinya Dhisti gerakkan ke arah mulut pun berhenti. Dia menurunkan sendok, lalu menatap Aksa. "Mau lo apa, sih?"

"Gue nungguin lo di perpus tiap hari."

Kejengkelan Dhisti seketika sirna. Sungguh, dia tak paham. Untuk apa Aksa melakukan itu? "Kenapa?"

"Kali aja kita bisa ngobrol lagi," ujar Aksa, bernada tenang seperti sungai jernih mengalir. Dan seperti nada yang Aksa pakai, Dhisti pun juga ikut tenang. Tak lagi tegang atau panik seperti tadi. Aksa pun melanjutkan, "Tapi, lo kayaknya nggak ke perpus, ya. Buku-buku yang lo pinjem emang nggak lo balikin?"

Dhisti menggeleng. "Gue minjem sampai dua minggu."

"Hm," Aksa bergumam. "Kapan ke perpus lagi?"

"Emang kenapa?"

"Nanya aja."

Dhisti terdiam sejenak. "Senin."

Lagi, Aksa bergumam. Dia terdiam menatap ke arah lain, sementara Dhisti melanjutkan makan.

Karena merasa aneh melihat Aksa diam saja, Dhisti pun bertanya, "Lo nggak makan?"

"Itu lagi dipesenin sama temen," jawab Aksa. Bola matanya kembali menatap Dhisti, dan Dhisti spontan menunduk karena tak ingin terus-terusan bersitatap dengan mata tajam Aksa. "Udah selesai baca buku yang lalu?" tanya lelaki itu lagi.

Dhisti mengangguk. Lalu melanjutkan makan. Berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup lebih cepat.

"Apa ada sesuatu yang menarik dari buku itu buat lo?" tanya Aksa.

Sambil mengunyah nasinya, Dhisti mengingat-ingat. Lalu menarik napas sebelum menjawab, "Hatta punya gagasan kalau bentuk negara Indonesia harus jadi negara Federasi, bukan Kesatuan. Tapi yang dipakai kan akhirnya Kesatuan. Dan setelah gue baca-baca, menurut gue negara Federasi masuk akal juga."

"Kenapa?"

"Karena tiap daerah bisa mengembangkan sumber dayanya sendiri. Tapi, bukannya udah ada otonomi daerah, jadi menurut gue nggak perlu Federasi lagi."

Senyum Aksa melebar. "Sekarang gue nggak heran lo jadi ranking satu paralel."

Mata Dhisti menyipit. "Kenapa?"

"Karena lo emang beneran cerdas. Bukan sekadar pintar ngehafal."

Dhisti menunduk. Kembali mengalihkan perhatian dari suara jantungnya yang berdebar ke nasi dan sotonya.

Aksa pun berkata, "Indonesia tetap negara kesatuan, kok. Buktinya, nama negara kita Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan United States of Indonesia." Lelaki itu menyengir, memperlihatkan gigi taringnya yang panjang. "Tapi ya Dhis, pemikirannya Hatta ini akhirnya dibawa lagi sama Y.B. Mangunwijaya di buku dia, Menuju Republik Indonesia Serikat, diterbitkan setelah Harto lengser. Y.B. Mangunwijaya kasih penjelasan ilmiah kenapa Indonesia harus berganti bentuk jadi Federasi. Tapi nggak diganti-ganti juga sampai sekarang, kan."

"Lho? Kenapa nggak diubah?"

"Masyarakatnya nggak ngerti." Aksa tertawa. "Tapi, akhirnya pas Gusdur jadi Presiden itu dipakai idenya."

Dhisti mengerjap. Benar-benar penasaran. "Indonesia pernah jadi negara Federal di bawah pimpinan Gusdur?"

"Yah," Aksa melihat ke arah lain sambil menimang-nimang ucapannya. "Lebih tepatnya gini. Karena ada perdebatan mengenai bentuk negara Indonesia harus Federal atau Kesatuan setelah Orba, akhirnya Gusdur ambil jalan tengah: namanya tetap Negara Kesatuan, tapi 'isi' buat otonomi daerah kayak Federal. Jadi tiap daerah bebas mengelola sumber daya daerahnya, tapi nggak boleh ganggu gugat kebijakan pemerintah pusat terkait beberapa hal yang gue lupa apa aja hal-halnya itu. Yang jelas itu diatur di UU No. 22 tahun 1999."

Mulut Dhisti terbuka. Benar-benar takjub. "Gila. Canggih banget."

Aksa manggut-manggut. "Iya. Canggih banget emang si Gusdur. Kepikiran gitu jalan tengahnya nama tetap Kesatuan, tapi isinya Federal."

Dhisti mengerjap. Sebenarnya ketika dia memuji demikian, dia merujuk pada Aksa yang hafal Undang-Undang dan paham tentang sejarah Indonesia begitu dalam. Bukannya berniat mengecilkan Presiden Keempat negaranya. Dhisti tahu Gusdur hebat. Namun, bagi Dhisti, seorang remaja SMA yang terlihat badung dari luar tapi ternyata memiliki pengetahuan seluas seperti Aksa jelas bukan orang biasa. Gila, dia udah baca berapa banyak buku ya sampai bisa mikir begitu? batin Dhisti. "Ini semua lo tahu dari mana, Sa?" tanya Dhisti, penasaran.

"Baca buku. Tadi kan gue udah nyebut itu buku Y. B. Mangunwijaya." Aksa menatap langit-langit. "Sama dulu pernah dikasih tahu orang tentang kebijakan itu, sih."

"Gitu, ya." Dhisti manggut-manggut. Masih takjub.

Aksa pun menarik pandangan dari langit-langit ke arah Dhisti. "Mau pinjam bukunya?"

"Eh?" Alis Dhisti terangkat. "Ada di perpus?"

"Nggak ada. Pinjam punya gue, maksudnya."

"Oh. Boleh?"

"Bolehlah." Aksa pun tersenyum. "Besok, ya. Ingatin aja."

"Hah? Ingetin dengan gue samper ke kelas lo?"

"Ya kagak. Lo tinggal chat gue," Aksa berkata, santai. "Sini, bagi ID LINE atau nomor hape lo."

Dhisti sedikit membuka mulut. Jujur, dia tak menyangka kedekatannya dengan Aksa akan sampai seperti ini. Namun dia pikir, bertukar nomor atau ID LINE tak ada salahnya sebagai teman. Dia pun bertukar kontak dengan Aksa.

"AKSA! BALIK, WEH!" seru seorang lelaki dari balik punggung Aksa. Aksa menoleh dan mendapati Bimo, teman satu gengnya, berjalan bersama teman-teman mereka yang lain ke arah belakang sekolah dengan makanan-makanan yang sudah mereka beli.

Aksa segera berdiri. Sebelum pergi, dia menoleh ke arah Dhisti dan tersenyum. "Jangan lupa ingetin gue."

"Hm." Dhisti mengangguk, membalas senyum dengan kikuk. Dia memandangi punggung Aksa yang meninggalkan kantin dan perlahan menghilang bersama teman-temannya.

Sambil melanjutkan makan, Dhisti membuka ponsel dan melihat profil Aksa di LINE. Senyumnya terbit melihat foto profil Aksa yang berpose mendorong ujung hidungnya ke atas sehingga terlihat seperti hidung babi. Ketika masih melihat foto konyol Aksa, tiba-tiba muncul chat masuk dari sang pemilik profil.


Laksmana Candrakumara

Gue tau gue ganteng.
Tp gausa liatin PP gue
lama2 gitu.
Malu nih.


Spontan, Dhisti melotot. Dia langsung celingukan untuk mencari sosok Aksa. Setelah beberapa detik mencari dan tak kunjung ketemu, dia pun mengirim chat.


Adhistia P

Lo dmn? Msh di kantin?

Laksmana Candrakumara

Ga. Di blkng sekolah.

Adhistia P

Bukan masih di kantin??

Laksmana Candrakumara

Gue kan udh
pergi dari tadi.

Adhistia P

Jangan boong lo.

Laksmana Candrakumara

Ngapain boong sih.
Eh bentar.
Lo beneran lagi
ngeliatin PP gue?
Takut ya gue msh
di kantin liatin lo
lagi stalking gue?
Wekawekaweka.
Cie kegep ;)


Membuka mulut, Dhisti segera menutup chat itu dengan wajah memanas. Ponselnya juga dia matikan dari paket internet. Dia memutuskan untuk melanjutkan makannya yang dari tadi sudah tertunda sejak kedatangan Aksa. Begitu selesai dan ingin kembali ke kelas bersama Riri, Dhisti berusaha fokus terus ke penjelasan guru alih-alih memikirkan Aksa. Ngapain dipikirin sih, Dhis? Aksa tuh cuma iseng paling! batin Dhisti menyeru. Namun, dia tak suka perasaan ini. Rasa ini membuat Dhisti susah konsentrasi dan Dhisti tak menyukainya. Dia harus bisa fokus.

Pertanyaannya, bagaimana? Bagaimana cara mengenyahkan perasaan aneh kepada Aksa itu?

[ ].



A/N

Yakin amat kalo Aksa modusin Dhisti ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top