4 | Perhatian Sekitar

4 | Perhatian Sekitar




Baiklah, Dhisti jujur saja: pengalaman romansanya dengan laki-laki memang sangat minim.

Hingga kelas sebelas SMA ini, Dhisti sama sekali belum pernah berpacaran. Ya, Dhisti tahu dia tak sendirian. Dia tahu masih ada perempuan remaja lain seusianya yang juga belum pernah berpacaran. Namun karena minimnya pengalaman ini, Dhisti jadi makin sadar satu hal: dia tak tahu harus melakukan apa ketika dia mulai tertarik dengan laki-laki.

Maksudnya, ya, Dhisti sering mendengar curahan hati teman-teman perempuannya yang berbicara tentang pacar atau gebetan mereka. Namun, dari cerita itu pun Dhisti tak menemukan kejadian yang sama seperti yang dia alami di perpustakaan bersama Aksa. Tak ada lelaki dari cerita teman-temannya yang dari luar nakal tapi diam-diam suka membaca buku Sejarah atau menyelami ideologi para proklamator bangsa seperti Aksa. Tak ada yang seberani dan semisterius Aksa. Sehingga jelas, Dhisti tak tahu dia harus melakukan apa ketika di luar kontrolnya, jantung dalam dada bergemuruh hebat saat melihat Aksa bermain basket dengan wajah serius setelah pulang sekolah.

Beberapa murid menonton sparring basket antara kelas Aksa melawan tim dari kelas dua belas dari balkon atau koridor yang mengelilingi lapangan basket. Hari ini pelajaran olahraga adalah pelajaran terakhir di kelas Aksa. Ketika sudah selesai latihan basket, dia bermain bersama beberapa anak dari kelas XII IPS 2 yang juga mendapat pelajaran olahraga terakhir hari itu.

Ketika tadi Dhisti keluar, dia sudah mendapati lapangan basket diisi para murid yang bermain. Pak Said, guru olahraganya, bahkan turut menjadi wasit untuk permainan itu. Beberapa murid yang masih melakukan piket kebersihan atau mengobrol depan kelas ikut menonton pertandingan basket, termasuk Dhisti. Dia menonton dalam diam dari ujung balkon lantai tiga depan kelasnya bersama Riri dan Meidy. Fadila sudah pergi duluan untuk mendatangi kelas Wisnu, pacar Fadila.

Logika Dhisti mengatakan bahwa tak sebaiknya dia memerhatikan Aksa ketika lelaki itu bertanding, juga mengatakan bahwa raut serius Aksa bukanlah sesuatu yang menarik. Namun, sial. Bagaimana caranya mengontrol hati yang entah kenapa malah terus-terusan ingin menatap lelaki itu?

Dan yang Dhisti tahu, dua detik kemudian, Dhisti berdiri di depan pagar balkon lantai tiga. Posisi tepat berhadapan dengan lapangan basket sehingga lebih mudah baginya untuk melihat wajah para pemain.

Dia tak tahu bagaimana dengan pendapat orang lain. Mungkin, ini hanya opini dia pribadi. Dhisti sejak awal tahu ada pesona tersendiri ketika laki-laki mengerjakan sesuatu yang mereka tekuni atau unggulkan. Seperti, ketika Dhisti melihat teman lelakinya main gitar ala Sungha Jung, atau memecahkan soal olimpiade Fisika, atau ketika ada yang bermain basket seperti Aksa.

Sepanjang pertandingan, wajah Aksa selalu serius. Mata elangnya mengawasi tiap pergerakan tim serta lawan-lawannya. Agak asing melihat Aksa seperti ini. Sebab Dhisti lebih sering melihat raut santai dari wajah Aksa. Bukan raut serius. Permainan Aksa juga bagus. Trick standar dengan fokus menatap mata lawan tapi tangan bekerja untuk mengoper bola bisa dilakukan Aksa dengan begitu luwes. Dhisti pun jadi terpikirkan. Apakah para pemain dari kelas XII IPS 2 juga merasa dipaku ke tanah ketika ditatap tajam oleh Aksa? Apakah hanya dia yang terintimidasi? Sebab menurut Dhisti, Aksa hanya dari luar saja terlihat easy going dan santai. Ketika Aksa menatap tajam dengan raut serius, habis sudah segala aura santai yang selalu lelaki itu perlihatkan.

Pertandingan berakhir dengan skor seri. Tepuk tangan menyusul dari para penonton yang ikut merasakan keseruan pertandingan dari tadi. Dhisti tersenyum, ikut bertepuk tangan seperti yang lain. Merasa terhibur dengan permainan tadi.

Sampai beberapa detik kemudian mata Aksa bertemu dengan matanya.

Di detik itu, Dhisti merasa oksigen meninggalkan paru-parunya. Sungguh, Dhisti tak berbohong ketika berkata bahwa mata Aksa tajam. Jauh lebih tajam dibanding remaja seusia Aksa yang pernah Dhisti temui. Dan lagi-lagi, Dhisti merasa kakinya dipaku ke lantai kala Aksa mengunci pandangan mereka. Setelah beberapa kali kerjapan mata, senyum tipis merambat di bibir Aksa disusul dengan lambaian tangan.

Dhisti mengernyit. Tak yakin Aksa melambai kepada dirinya. Mungkin Aksa melambai ke orang lain. Dia tak ingin kege-eran.

Kemudian, Dhisti pun berbalik. Dia lihat ada beberapa murid yang masih duduk di koridor depan kelasnya sambil mengobrol dengan murid lain. Mengikuti mereka, Dhisti pun memerosotkan diri hingga duduk bersandar pagar balkon, membuat tubuhnya menghilang dari pandangan orang-orang di lapangan.

Dhisti membuka ponsel sejenak untuk memesan ojek online. Rumahnya agak jauh dari sekolah, jadi biasanya dia berangkat dengan ojek. Tentu, Dhisti bisa menggunakan angkutan umum seperti bus dan angkot. Namun, Dhisti sadar menaiki angkot dari rumah ke sekolah dan sebaliknya itu sangat, sangat memperlambat waktu perjalanannya. Ditambah lagi, Dhisti stres jika mendengar klakson berlebihan serta makian bervolume keras yang biasa dia temui di kehidupan per-angkot-an. Sehingga Dhisti lebih memilih ojek online saja untuk transportasi. Jika saja dia sudah usia legal, pasti Dhisti lebih memilih naik motor sendiri.

Dengan kepala tertunduk, jemari Dhisti baru saja selesai mengetik lokasi penjemputan di aplikasi ketika dia melihat sepasang sepatu kets warna putih-merah berhenti tepat di hadapannya. Dia mengabaikan kaki itu dan lanjut menyelesaikan pesanan ojek online-nya. Kala dia sudah selesai memesan dan menunggu respons, dia mengernyit melihat pemilik sepatu tadi berjongkok, menunjukkan baju olahraga SMA Bangkit Nusantara.

"Adhistia."

Melotot mendengar suara tenang yang familier itu, Dhisti pun segera mendengak dan melihat Laksmana Candrakumara berjongkok di depannya.

Dhisti membuka mulut. Syok bukan main. Ya Tuhan, ngapain dia ada di sini?

Aksa menatapnya dengan dua alis terangkat dan wajah tak terbaca. Namun kalimat yang dia katakan adalah, "Mulutnya ditutup itu, Sayang. Nanti laler pada masuk."

Dhisti makin melotot. Ingin dia menjerit, 'HARUS BANGET PAKAI 'SAYANG'? Namun, dia tak bisa melakukannya di tempat ramai seperti ini. Bola mata Dhisti bergerak dan dia bisa melihat tatapan banyak murid kini terpaku kepada dia dan Aksa. Duh, jadi tontonan lagi....

"Lo kenapa tadi nggak ngeuh gue dadahin elo?" tanya Aksa dengan santai. Tak mengindahkan tatapan banyak orang yang menatap mereka. "Jelas banget loh padahal."

Wajah Dhisti menegang. Dia tak habis pikir kenapa Aksa mendatanginya di saat seperti ini. "Lo ngapain?" tanya Dhisti, berbisik.

Alis Aksa mengernyit, terlihat bingung. "Lagi ngomong."

"Maksudnya, ngapain ke sini?"

"Mau ketemu lo."

"Iya, buat apa?"

"Habis lo nggak ngeuh sama gue. Ya udah, gue samperin aja," ujar Aksa sambil mengangkat bahu. Dia lalu duduk di depan Dhisti. Dan orang-orang yang memerhatikan mereka perlahan kembali pada kesibukan masing-masing. Santai, Aksa bertanya, "Gimana buku Jejak yang Melampaui Zaman-nya?"

"Eh?" Dhisti mengerjap. Masih berusaha mencerna kejadian yang dialaminya. "Uhm, belum kelar dibaca. Tapi, so far so good."

Aksa tersenyum. "Pendapat lo tentang Hatta dari pandangan orang-orang terhadap beliau di buku itu, apa?"

"Uhm." Dhisti menelan ludah. Mengalihkan pandangan. Berusaha santai meski rasanya tegang ditatap Aksa. "Menurut gue... dia manusia dengan pemikiran yang luar biasa. Lebih luar biasa dari yang selama ini dia pikir."

"He is." Senyum Aksa pun melebar menjadi cengiran, memperlihatkan taringnya yang agak panjang. Dia hendak mengatakan sesuatu lagi ketika ponsel Dhisti bergetar. Panggilan dari ojek online pesanan gadis itu.

Setelah mengangkat panggilan dan mengetahui bahwa ojek pesanannya telah berada di depan sekolah, Dhisti pun berkata, "Eh, Sa, gue duluan, ya."

"Lo pulang naik ojol?"

Gadis itu segera berdiri, diikuti Aksa. Dia merapikan baju dan seragamnya. "Iya."

"Rumah lo di mana?"

Dhisti menjelaskan letak rumahnya, lalu dibalas anggukan oleh lelaki itu. "Ya udah, turun bareng aja kita," ujar Aksa mengikuti Dhisti turun dari lantai tiga ke lapangan.

Ini bukanlah penawaran yang bisa Dhisti tolak. Bagaimana pun, tujuan mereka memang sama-sama ke lantai dasar. Namun kalau bisa, Dhisti lebih memilih untuk turun sendiri daripada harus berdua dengan Aksa. Sebab karena demikian, perhatian banyak orang jadi tersedot kepada mereka berdua. Dhisti bisa merasakan tatapan sebagian murid yang melihat Aksa berjalan bersamanya. Bahkan ketika dia sampai di lantai dasar, dia hanya menunduk begitu mendapati anak-anak basket tadi menatapinya dan Aksa dengan penasaran.

Segera, Dhisti berkata, "Gue duluan, Sa."

"Oke," balas Aksa, tersenyum. "Hati-hati, Adhistia."

Mengangguk, Dhisti pun pergi ke arah ojek online yang sudah parkir di depan sekolah. Dia pulang dengan perasaan tak keruan. Dia tak merencanakan hal ini. Maksudnya, ya, dia tak masalah berteman dengan Aksa. Namun, mendapat perhatian satu sekolah seperti tadi? Jelas Dhisti tak merasa nyaman.

Dan lagi pula, dekat-dekat dengan Aksa tak baik untuk hatinya.

[ ].



A/N

Gausa takut jatuh cinta sama Aksa kalian tuh. Hahaha.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top