2 | Laksmana Candrakumara

2 | Laksmana Candrakumara




Laksmana Candrakumara atau Aksa adalah tipe lelaki yang pastinya dihindari Dhisti.

Bukan tanpa alasan Dhisti menghindari orang seperti Aksa. Aksa dikenal sebagai siswa badung yang suka bolos dan melawan guru. Dan tentu, setelah menginjak tahun kedua sekolah, teman-teman Aksa makin banyak sehingga makin mudahlah bagi Aksa untuk dikenal dan disegani adik-adik kelas.

Aksa dan gengnya sering membuat Dhisti tak nyaman. Gayanya petakilan, berisik, dan mereka tukang bolos. Dhisti tak paham kenapa mereka suka sekali melanggar peraturan. Memang apa sulitnya duduk diam di kelas dan mendengarkan pelajaran dari guru? Kalau bosan mendengarkan, kenapa tidak belajar sendiri saja dari latihan-latihan soal di buku?

Dan karena itulah, di otak Dhisti yang berusia lima belas tahun, pilihan Aksa hidup sama sekali tak bisa dia pahami.

Sampai akhirnya dia kenal dengan lelaki itu.

"Dhis, temenin gue ke kamar mandi, dong," ujar Fadila yang duduk di sebelahnya. Kelas 11 IPA 1 kini tak ada guru masuk, tetapi ada tugas untuk dikerjakan. Dhisti yang baru selesai mengerjakan soal nomor lima pun meletakkan pulpen dengan tinta yang mau habis. "Yuk."

Kedua perempuan itu pun berjalan menuju kamar mandi. Dhisti hanya ke wastafel untuk mencuci tangan sambil menunggu Fadila. Begitu Fadila selesai dari kamar mandi, Dhisti pun teringat dengan tugas Seni Rupa yang harus membawa karton nanti siang serta tinta pulpennya yang sudah habis. "Eh, Dil. Gue ke koperasi dulu, ya. Lo duluan aja balik ke kelas."

"He? Koperasi?" tanya Fadhila. "Turun dua lantai, dong. Kenapa nggak nanti aja pas istirahat ke sana?"

"Gue nanti pas istirahat nggak mau ke bawah. Bawa bekal, soalnya," ujar Dhisti, mulai melangkah menjauhi Fadhila. "Dah, lo balik aja. Gue bisa sendiri kok."

"Oke. Hati-hati," balas Fadhila sebelum pergi kembali ke kelas mereka.

Dhisti pun pergi turun menuju koperasi sekolah. Tak ada siapa-siapa kecuali penjaga koperasi di sana. Setelah mengambil barang yang ingin dia beli dan memberi uang, penjaga koperasi pun pergi dulu sebentar mencari uang kembalian.

Sambil menunggu penjaga koperasi kembali, Dhisti menatap makanan-makanan kecil yang terletak di salah satu meja. Ada brownies kecil, kripik balado dan kentang pedas. Usai menentukan pilihan, Dhisti mengambil sebungkus kripik balado dan bersamaan dengan itu, ada tangan yang bersilangan dengannya untuk mengambil brownies di sebelah kripik.

Dhisti segera menarik tangannya, kaget. Kepalanya menoleh bersamaan dengan sang pemilik tangan yang mengambil brownies tadi.

Lelaki yang mengambil brownies itu menatap Dhisti. Dan sejenak, Dhisti merasa ditarik ke dalam tajamnya mata lelaki itu.

Dhisti mengerjap. Berusaha merasa biasa saja sebab mata yang ditatapnya adalah mata Aksa.

Aksa menatap ke sekeliling ruang koperasi, lalu kembali menatap Dhisti "Koperasi nggak ada yang jaga?" tanya Aksa.

"Ibu koperasinya lagi pergi dulu, ngambil kembalian uang gue," ujar Dhisti, menatap ke arah lain. Dia mengambil sebungkus kripik balado dan menunggu penjaga koperasi datang.

Sementara itu, Aksa memiringkan kepala. Menyipitkan mata menatap Dhisti. "Ah," ujar Aksa, seketika mencuri perhatian Dhisti, "lo si ranking satu paralel, ya?"

Dhisti terdiam. Tak tahu harus merespons bagaimana jika orang mengenalinya dengan predikat itu. Pengumuman tentang ranking satu paralel tahun pertama sekolah memang baru saja diumumkan Senin kemarin, sehingga Dhisti mewajari jika ada yang masih ingat. "Iya," akhirnya gadis itu menjawab.

"Gue Aksa," ujar lelaki itu, tenang dan santai, tetapi rasanya membius. "Lo Dhisti, kan? Temannya Fadila?"

Dhisti mengernyit. Dia tak kaget jika Aksa tahu dirinya dari Fadhila. Dhisti memang cukup sering bertemu Fadhila ketika gadis itu sedang ekskul di lapangan dengan anak-anak tim basket. Namun, pesona persona sopan yang dimunculkan Aksa membuatnya skeptis. Dia pun hanya menyipitkan mata sambil menjawab, "Iya."

Satu sudut bibir Aksa tertarik, membentuk senyum miring. "Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu? Takut sama gue?" tanyanya, lagi-lagi masih dengan nada yang tenang. "Santai aja sih. Gue nggak gigit."

Dhisti menyipit lagi. Masih skeptis, tetapi memilih untuk tak banyak berhubungan dengan Aksa. Dia tahu Aksa siswa bandel. Dan Dhisti tak berniat cari masalah dengan Aksa dan gengnya. Situasi itu pun diinterupsi oleh penjaga koperasi yang sudah kembali.

Menghela napas, Dhisti pun mendapat kembaliannya dan berjalan menuju kelasnya di lantai tiga. Sambil berjalan, dia merasa ada yang mengikuti dirinya dari belakang. Dhisti pun mengintip sejenak, dan menemukan Aksa berjalan di belakangnya.

Seolah tahu isi kepala Dhisti, Aksa berkata, "Gue bukan ngikutin lo. Kelas gue emang di lantai tiga juga."

Dhisti membeliak. Ini orang bisa pikiran? Nggak, kan?

Aksa memutar bola mata. "Gue nggak bisa baca pikiran. Cuma apa yang lo pikirin kebaca jelas dari muka lo."

Spontan, Dhisti melotot dan berbalik menghadap Aksa. Wajahnya terlihat syok.

Lagi, Aksa memutar bola mata. "Gue beneran nggak bisa baca pikiran. Nggak percayaan amat, sih."

"Terus kenapa lo bisa tahu isi pikiran gue?" tanya Dhisti, heran.

"Ya habis muka lo kelihatan muak gitu ngelihat gue." Sejenak kemudian, Aksa pun berpikir. "Mungkin karena kita belum kenal kali, ya." Aksa mendekat, lalu mengangkat tangannya. "Tadi emang udah nyebut nama, sih. Tapi, mari kenalan lebih resmi. Gue Aksa."

Dhisti mengerjap. Menatap tangan Aksa yang terulur untuk dijabat. Dan demi kesopanan, Dhisti pun menjabat tangan kasar lelaki itu. "Dhisti."

"Lo kayaknya takut ya sama gue," ujar Aksa seperti mengungkap fakta, lalu berjalan di tangga diikuti Dhisti. Namun, matanya menatap Dhisti ketika bertanya, "Kenapa lo? Ada masalah sama gue?"

Napas Dhisti tertahan. Tidak, ini bukan karena Aksa membuat Dhisti berpikir 'oh-ketampanannya-begitu-menyilaukan'. Ini karena ketika mengatakan kalimat tadi, mata Aksa menajam dan membuat kaki Dhisti seolah terpaku di tempat. Dhisti juga tak paham mengapa. Seolah-olah deskripsi tentang ditatap mata tajam yang pernah dia baca baru dia rasakan detik ini.

"Hm?" tanya Aksa, tatapannya lebih santai sekarang. "Eh, tapi kalau dipikir-pikir, gue emang banyak masalah sama orang, sih." Aksa mengibas tangan, lalu sebelum berjalan dengan langkah-langkah panjang, dia berkata, "Ya udah, gue duluan."

Dhisti menunggu lelaki itu berlalu dengan wajah heran. Kemudian setelah dia kembali ke kelas, dia menceritakan perkenalan resminya dengan Aksa kepada Fadhila.

Cerita Dhisti pun hanya dibalas dengan tawa Fadhila, "Aksa mah emang gitu, suka nggak jelas. Dia bandel tapi bukan orang jahat. Dia cuma rada gila."

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top