19 | Aku Tenang [END]
19 | Aku Tenang [END]
Tanpa terasa, dua bulan berlalu dari hari Dhisti menyelesaikan wisata alamnya.
Dia masih menjalin hubungan baik dengan teman-temannya dari wisata alam. Namun, Dhisti pun menjalin pertemanan baru dengan teman-temannya di sekolah, seperti Sofyan. Sofyan juga yang sering mengajak Dhisti ikut melihat latihan band dan berkenalan dengan anggota ekskul band di sekolah. Dhisti selalu berusaha membiasakan diri untuk memulai obrolan, menanggapi topik yang dibicarakan teman-temannya. Kuncinya sebenarnya sederhana: Dhisti ingin mengobrol untuk mencari tahu tentang orang-orang itu, bukan menimbrung obrolan untuk membicarakan tentang dirinya sendiri.
Untuk menyibukkan dirinya, Dhisti mencoba belajar gitar dan mulai berkenalan dengan band-band yang tergabung di ekskul sekolah. Dia diajari main gitar hingga cukup mahir, kemudian diajak untuk ikut tampil di Pentas Seni sekolah.
Pensi SMA Bangkit Nusantara diadakan pada hari Sabtu. Setelah latihan tiap pulang sekolah selama dua bulan ini, Dhisti akan tampil bermain gitar bersama ekskul band membawakan medley beberapa lagu.
Aksa sudah tak lagi mengirim chat kepada Dhisti, sesuatu hal yang Dhisti syukuri karena dengan begitu, dia tak perlu sering-sering berhubungan dengan Aksa lagi. Di sekolah, mereka masih saling sapa. Namun Dhisti menghindari mereka makan semeja, sehingga Dhisti lebih pilih membawa bekal dari rumah atau bekal kosong untuk diisi makanan kantin, lalu membawa makanannya ke kelas. Dia butuh waktu sebelum bisa berhadapan benar-benar dengan Aksa tanpa canggung atau mengharapkan sesuatu yang konyol, seperti harapan bahwa diam-diam Aksa menyukainya. Dhisti harus mengenyahkan harapan itu.
Sejak pulang dari wisata alam, Dhisti hanya melihat Aksa beberapa kali saja, yakni pada saat kelas Aksa olahraga dan kadangkala ketika Dhisti pulang sekolah. Aksa tetap menyapanya dengan ringan dan bersahabat seperti biasa, tetapi Dhisti membalas dengan sopan dan sekadarnya saja. Dhisti tahu dia tak boleh terlalu banyak interaksi, nanti dia sendiri yang malah terbawa perasaan lebih dalam. Sebab yang sakit bukan cuma masalah Dhisti terbawa perasaan di saat Aksa tak berniat mendekatinya untuk jadi pacar, tetapi sakit juga karena hati Aksa seluruhnya adalah untuk perempuan lain. Bukan untuk dirinya. Dhisti masih merasa agak sakit hati jika ada yang membahas tentang Naya. Meski demikian, dia selalu berusaha biasa saja. Karena Naya tak salah apa-apa. Dan tak seharusnya Dhisti memberi perhatian lebih pada hubungan Aksa dan Naya. Itu kan bukan urusannya.
Kini, sambil memainkan lagu dengan gitarnya, Dhisti duduk di dalam kelas kosong yang menjadi basecamp anak-anak band sambil menunggu giliran tampil. Ketika memetik gitar, dia mendengar suara seorang gadis memanggil namanya.
"Dhistiii!" seru Fadila dari belakang. Dhisti menoleh, menemukan Fadila dan Wisnu memasuki kelas. Mereka mengangguk dan menyapa beberapa anak lain yang mereka kenal sebelum mendekati Dhisti. "Eh, Dhis, lo tampil jam berapa? Nanti tampil kan?"
"Iya, tampil," jawab Dhisti, merasa lega melihat teman-teman yang sudah lama dia kenal menghampiri. Pensi sekolahnya ramai bukan hanya dari murid sekolah mereka. Tapi juga dari sekolah-sekolah lain. Keramaian ini membuat Dhisti makin gugup harus tampil nanti. "Gue tampil agak sorean, Dil. Jam 3, abis Tari Bali," balas Dhisti.
"Ohh oke. Masih ada waktulah ya buat napas. Lo udah makan?" tanya Fadila.
"Udah sih tadi makan siang. Tapi kalau lo mau jajan-jajan nggak apa-apa, gue temenin."
"Hih, harusnya gue kali bawain makanan ke temen yang mau tampil." Fadila terkekeh sendiri. "Sori ya Dhis gue nggak bawain apa-apa. Takutnya lo juga udah makan terus takut kekenyangan."
"Iya, nggak apa-apa." Dhisti menyimpan gitar ke dalam sarung gitar. Gitar itu adalah gitar milik teman Sofyan, jadi lebih baik disimpan dan dijaga di kelas ini. "Kita jajan yuk. Gue izin ke Sofyan dulu."
Beberapa saat kemudian, Dhisti, Fadila, dan Wisnu pergi berkeliling lapangan sekolah yang berisi banyak stan makanan maupun hasil kerajinan murid yang bisa dibeli. Mereka berhenti di tempat penjual bakso-bakso tusuk, lalu ikut mengantre di belakang.
Di tengah itu, Wisnu bertanya, "Nanti lo bawain lagu apa, Dhis?"
Dhisti menoleh dan tersenyum. "Ada deh. Ntar lo lihat aja. Beberapa lagu pokoknya medley gitu."
"Lo nyanyi nih?" tanya Wisnu dengan nada menggoda. "Wah, nggak nyangka gue kalau Dhisti bisa nyanyi. Bakat terpendam emang suka gitu ye."
Dhisti terkekeh. "Cuma penyanyi latar doang. Gue megang gitar."
"Eh," perhatian Wisnu seketika terserap ke arah lain. "Eh, woi! Aksa! Sini, Sa!" seru Wisnu sambil melambai-lambaikan tangan.
Dhisti tertegun, tetapi sudah merasa lebih terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Dia tak mengharapkan kehadiran Aksa. Sibuk dengan band dan bergaul dengan orang-orang baru menyita perhatiannya dari Aksa hingga dia yang tadinya selalu memikirkan Aksa, belakangan jadi merasa punya hal penting lain yang harus dia pikirkan. Dan terlebih, 'hal penting' yang baru ini menyenangkan hati Dhisti. Sehingga Dhisti merasa tidak terpaksa ketika harus mengganti fokusnya dari Aksa ke band.
Jadi ketika bertemu Aksa lagi seperti saat ini, Dhisti sekarang cenderung merasa biasa saja. Meskipun dia tengah melihat Aksa datang sambil mengenggam tangan Naya.
"Woi!" seru Aksa, mengepalkan tinju dan dibalas dengan kepalan tangan oleh Wisnu. "Udah ke mana aja kalian? Udah keliling jajan apa aja?"
"Baru mau jajan," jawab Fadila, lalu gadis itu beralih kepada Naya. "Halo Naya. Semoga bisa have fun ya di sini."
"Iya, makasih. Halo semua," ujar Naya riang, kemudian menatap Dhisti. "Dhisti katanya nanti tampil kan, ya?"
"Iya," jawab Dhisti dengan senyum. Dia mengangkat tangannya untuk berjabat dengan Naya. "Gimana kabarnya, Nay?"
"Baik, kok. Kamu sendiri gimana, Dhis?" ujar Naya sambil menjabat tangan Dhisti. "Grogi nggak nanti mau tampil?"
"Grogi, sih. Ini pertama kali aku tampil di pertunjukkan kayak gini," jawab Dhisti. "Kamu mau jalan-jalan, Nay?"
"Hehe, iya nih. Tapi kalau bisa sih bareng-bareng aja sama yang lain."
"Ini si Wisnu sama Fadila masih antre bakso-baksoan," ujar Dhisti. "Kalau mau jalan-jalan, biar aku temenin keliling kalau mau." Sesaat kemudian, Dhisti baru tersadar ketika melihat Aksa di samping Naya. "Eh, sori. Mau sama Aksa, ya?"
"Nggak usah, ah. Sama kamu aja. Bosan sama Aksa mulu. Wek!" Naya menjulurkan lidah ke arah Aksa. Yang hanya dibalas nyinyiran bercanda dari Aksa. "Yuk, Dhis! Pergi dulu ya, semuanya," ujar Naya, melambai kepada yang lain sebelum melingkarkan tangannya di tangan Dhisti, lalu membawanya keluar dari lingkaran teman-temannya tadi.
Sambil jajan-jajan, Dhisti menjelaskan kepada Naya tentang konsep Pensi sekolahnya, budaya di sekolah serta tentang kegiatan bandnya. Naya sendiri bercerita tentang sekolahnya, tentang Pensinya, serta tentang beberapa hal yang Naya suka. Sepanjang mengobrol, Dhisti makin suka dengan Naya. Dia anak yang menyenangkan untuk diajak ngobrol.
"Eh, Dhisti!" seru seorang gadis dari samping Dhisti.
Ketika menoleh, Dhisti terkesiap melihat siapa yang memanggilnya. "Nimas!"
Nimas menyengir, lalu mencolek dua lelaki di sampingnya untuk melihat ke arah Dhisti berdiri. Barulah Dhisti tahu kalau Ario dan Marshal ikut datang. Nimas juga sepertinya membawa teman perempuan lain dari sekolahnya. Namun yang membuat Dhisti kembali kaget adalah wajah familier yang dilihatnya pada rombongan Nimas.
"Lho, Tyas?" tanya Dhisti. "Kamu tadi ketemu temen-temenku?"
"Hehe, tadi nggak sengaja pas-pasan sama Kak Nimas waktu masuk gerbang," ujar Tyas. "Trus tadi kita ngobrol-ngobrol, nggak tahunya Kak Nimas ke sini juga mau ketemu Mbak Dhis. Ya udah, sekalian bareng aja." Tyas tersenyum penuh arti, kemudian melangkah mendekat dan berbisik ke telinga Dhisti, "Sekalian ngecengin kakak-kakak cowok ini, Mbak, hihi."
"Hih," ujar Dhisti dengan tawa. Dia pun beralih untuk bersapa ria dengan teman-temannya yang lain. "Hai Ario, Marshal. Edgar ke mana?"
"Ada acara keluarga dia. Penting banget, makanya nggak bisa di-skip," ujar Nimas. Edgar, Ario, dan Marshal memang satu sekolah, dan sekolah mereka berdekatan dengan sekolah Nimas. Nimas lalu memperkenalkan gadis lain yang juga satu rombongan bersamanya. "Kenalin Dhis, ini sepupuku. Namanya Sheila."
Sheila tersenyum sopan dan berkenalan dengan Dhisti. Sebagai ganti, Dhisti juga memperkenalkan Naya kepada mereka. Mereka terlibat obrolan seru dengan berusaha mengenali satu sama lain.
"Nay?"
Suara familier itu terdengar di telinga Dhisti. Aksa. Dia dan Naya spontan menoleh, baru diikuti semua orang dalam lingkaran obrolan itu.
Aksa sama sekali tak terlihat canggung di depan wajah-wajah baru yang menatapnya. Dia hanya tersenyum percaya diri dan berkata, "Ini temen-temennya Dhisti, ya? Kenalin, gue Aksa."
Tiba-tiba, Dhisti merasa tanganya digenggam erat oleh tangan lain.
Dhisti menoleh. Ternyata Tyas. Adiknya itu tengah menatap ke arah Aksa dengan serius disertai tubuh yang kini sedikit berada di depan Dhisti, seolah ingin melindungi kakaknya.
Dhisti tersenyum. Dari semua orang di dunia, Dhisti memilih mempercayakan kisah tentang Aksa kepada Tyas. Selain karena Tyas dari awal memang sudah tahu tentang perasaan Dhisti ke Aksa, Dhisti juga yakin Tyas bisa cukup dewasa dalam menyikapi hal ini. Dan itu dibuktikan dengan Tyas yang mendukung Dhisti untuk move on, bukan untuk mengorek-ngorek informasi tentang Aksa karena harapan bahwa barangkali Aksa diam-diam menyukainya.
Semua orang pun mulai berkenalan dengan Aksa. Mereka mengobrol sambil berjalan-jalan dari satu stan ke stan lain dan perlahan, satu per satu orang mulai menyebar untuk jajan. Menyisakan hanya Dhisti dan Aksa yang tak berniat membeli makanan. Karena malas berduaan dengan Aksa, Dhisti pun merasa lebih baik cari jajanan ringan saja. "Gue mau ke sana, beli jajanan. Duluan ya, Sa."
Aksa mengangguk. Dhisti pun berlalu dan baru saja beberapa langkah dia berjalan, seseorang menabraknya dan Dhisti sedikit tersungkur, membuat lengannya luka.
"Ehh, maaf ya Dek!" seru seorang gadis sambil membantu Dhisti berdiri. "Duh, elu sih, dorong-dorong! Gue jadi ngelukain orang, kan!" seru gadis itu kepada temannya.
"Eh, ya ampun, sori, sori," ujar seorang perempuan lainnya. Dia mengecek luka baret kecil di tangan Dhisti yang membuat Dhisti meringis. "Di sini ada UKS, kan? Ayo ke sana, biar aku anterin."
"Ng... saya bisa jalan sendiri kok, Kak." Dhisti tersenyum. "Tadi saya juga yang salah karena jalannya meleng, nggak lihat kiri-kanan."
"Ih, nggak apa-apa. UKS-nya di mana, Dek? Biar aku temenin."
"Saya aja yang temenin, Kak," ujar suara lelaki yang familier. Aksa. "Dia teman saya. Mau tampil juga nanti. Biar sama saya aja."
Kedua perempuan tertegun, sempat terpesona dengan wajah tampan Aksa. Lalu, mereka menatap satu sama lain, baru mengangguk. "Ehm... ya udah, tolongin, ya. Maaf banget tadi nggak sengaja kedorong."
"Iya, Kak, nggak apa-apa. Ini juga cuma luka kecil, kok," ujar Dhisti berusaha meyakinkan. "Saya ke UKS dulu ya, Kak."
Dhisti pun segera pergi meninggalkan kedua perempuan tadi, tak menghiraukan Aksa yang tadi berkata ingin menemaninya ke UKS. Tak perlu juga. Dhisti sudah biasa memakaikan obat sendiri.
"Dhis," panggil Aksa. Dhisti tak menoleh. "Adhistia, tungguin dulu."
Dhisti terdiam dan menarik napas. Matanya melirik ke arah Aksa. "Kenapa?"
"Kok, tanya kenapa." Aksa mengernyit. "Itu tangan lo luka! Ayo sini ke UKS sama gue, biar gue obatin."
"Gue bisa ngobatin sendiri."
"Halah, sok kuat."
"Sok kuat dari mana? Ini kan cuma luka kecil kebaret aja. Cuma berdarah dikit. Ngobatin sendiri sih bukan masalah."
Aksa memutar bola mata. "Neng, lo kan nanti tampil. Kalau ada apa-apa, kasihan elonya juga. Udah, sini gue bantu obatin."
Dhisti terdiam dengan kernyitan. Dia akhirnya tak ambil peduli Aksa mau melakukan apa. Mau bantu mengobati ya sudah, kalau tidak juga tak mengapa. Dhisti pun memasuki UKS bersama Aksa dan dia segera mencari kotak obat. Begitu ketemu, Dhisti duduk di salah satu kursi dan mulai mengobati lukanya sendiri.
"Idih, si Eneng. Abang bilang sini biar diobatin, malah ngobatin sendiri," ujar Aksa, menarik kursi ke dekat Dhisti. Lalu mengambil alih kegiatan Dhisti yang mengobati luka. "Udah lo anteng aja. Biar gue yang ngobatin."
Dhisti pun menurut saja. Tak ada salahnya juga menerima bantuan.
Ketika Aksa sudah selesai dengan luka Dhisti, Aksa pun menatap Dhisti dengan tatapan tenangnya. Tenang yang harusnya membius. Harusnya.
Tapi, entah. Dhisti tak terlalu terpengaruh lagi. Mungkin karena dia sudah agak malas dengan Aksa. Aksa kan sukanya sama cewek lemah lembut yang cantik, rapuh dan kelihatan butuh dilindungi dan disayang kayak Naya. Bikin males aja jadinya. Kayak kesannya dia bisa mencintai seorang perempuan karena perempuan itu cantik dan lemah, pikir Dhisti. Selera Aksa, sih. Jadi suka-suka dia aja.
"Lo tadi didandanin, ya?" Aksa tersenyum. Menatap hangat. "Cantik, Dhis."
Mengerjap, Dhisti menunduk dan tersipu. Aksa adalah lelaki pertama yang memujinya demikian hari ini. Dia benci ini. Harusnya dia menghindari Aksa saja. Tapi, kalo menghindar ya sama aja aku nggak akan bisa menghadapi Aksa dengan berlaku biasa-biasa aja.
Ponsel Dhisti lalu bergetar dari saku celananya. Dia meraih ponsel itu dan melihat nama Tyas terpampang menghubunginya.
Panggilan itu pun Dhisti angkat. "Halo, Tyas?"
"Mbak Dhis di mana?" tanya Tyas. "Aku cariin keliling kok nggak ada?"
"Aku lagi di UKS. Kamu di mana? Biar aku samperin."
Tyas pun menjelaskan lokasi tempatnya berada sekarang. Sambil mendengarkan, Dhisti melihat Aksa menyimpan kotak obat di lemari. Tak lama, panggilan pun terputus. Dhisti berkata, "Sa, gue samperin adik gue, ya. Makasih udah bantuin."
"Bareng aja," ujar Aksa. Dia membuka pintu dan menunduk, mempersilakan Dhisti. "Ladies first."
Dhisti tersenyum canggung. Dia lalu teringat dengan sepotong diskusinya dari forum Pencari Lentera. Dan dari diskusi itu, dia kini tahu mengapa dia sangat menganggap Aksa spesial.
Karena Aksa dapat membuatnya merasa berharga.
Rasanya menyedihkan jika dipikir-pikir lagi. Dhisti baru sadar dia selama ini tak menghargai dirinya sendiri, tetapi lantas malah mengharapkan ada sosok lelaki yang bisa melihat betapa berharga dirinya. Karena itulah dia merasa 'agak berutang' dengan Aksa, sampai-sampai rela membolos demi menolong lelaki itu. Itulah kenapa dia menganggap Aksa begitu penting di hidupnya.
Semua karena Aksa sudah berhasil membuatnya merasa berharga.
Segala perhatian-perhatian Aksa, bantuan Aksa, serta pembicaraan bersama Aksa, semua membuat Dhisti baru pertama kali merasakan bahwa dia bisa diinginkan oleh lelaki. Mungkin ini juga karena Aksa adalah lelaki pertama yang mendekatinya. Sebelumnya Dhisti belum pernah didekati oleh lelaki mana pun. Dhisti sadar dirinya memang tidak cantik. Dan katanya, lelaki akan terintimidasi dengan perempuan yang pintar. Dhisti pikir, peringkat satu paralel yang dipegangnya serta sikap juteknya membuat banyak lelaki malas mendekatinya. Setelah Dhisti berdiskusi di forum, ternyata masalahnya bukan itu.
Masalahnya adalah, dia selama ini terlalu menutup diri dari lelaki.
"Mbak Dhiiss!" seru Tyas, melambai-lambaikan tangan. Dhisti dan Aksa berjalan ke tempat Tyas duduk, yakni di bangku dekat parkiran motor. "Kenapa ke UKS? Sakit di mana?"
"Cuma kebaret aja, kok," ujar Dhisti, menunjukkan lengannya. "Udah diobatin."
"Terus nanti tampilnya gimana? Kan megang gitar," ujar Tyas khawatir.
"Kan aku duduk megang gitarnya. Lagian ini cuma kebaret dikit, kok."
Wajah Tyas masih terlihat khawatir. Alisnya pun mengernyit ketika melihat Aksa di samping Dhisti. Mendekati Dhisti, Tyas pun berbisik, "Dia ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain kok. Bantuin ngobatin aku aja," jawab Dhisti.
Pandangan Tyas terlihat curiga. "Mbak Dhis baper?"
Terdiam, Dhisti pun mengangguk. "Sedikit."
Tyas mendengus. Baru saja dia hendak menarik Dhisti untuk menjauhi Aksa, tiba-tiba muncullah Fadila dan Wisnu mendekati mereka.
"Oi! Dicariin juga," ujar Wisnu, menepuk lengan Aksa. "Ke mana aja lu?"
"Ini, ngobatin Dhisti ke UKS. Kebaret dia," ujar Aksa, mengedikkan dagu ke arah lengan Dhisti.
"Ya ampuunn, kok bisa?" ujar Fadila, mengangkat lengan Dhisti. Fadila pun mencerocos tentang betapa dia menyayangkan kedua perempuan yang tadi menabrak Dhisti. Padahal Dhisti tak ada. Ketika Aksa bertanya di mana Naya, Fadila menjawab Naya sedang ke kamar mandi. Sementara itu mereka menonton tampilan Tari Jaipong sambil berdiri agak jauh dari panggung. Begitu Tari Jaipong selesai dan turun, para penari itu sempat melewati sisi mereka.
Melihat para penari itu pun, Wisnu mengernyit. "Itu yang tari make-up-nya emang harus setebel itu, ya? Kayak berasa berat gitu ngelihatnya."
Fadila menanggapi, "Emang gitu, Wis. Kayak udah SOP gitu. Mungkin sepaket juga sama sewa kostum."
"Padahal enakan natural gitu," ujar Aksa. "Nggak usah pakai make-up malah lebih bagus kalau natural."
Fadila memakan es campurnya. "Kayak Naya, Sa?"
Aksa menyengir. "Iya. Tapi kalau Naya mah, tanpa make-up juga udah cantik alaminya terpancar. Baru bangun tidur, rambut berantakan dan nggak cuci muka aja tetap cantik. Natural banget, nggak usah ribet-ribet make-up kayak cewek lain."
"Yeh," seloroh Fadila. "Itu mah karena Naya beruntung dari sananya udah punya hidung mancung, kulit putih mulus sama bibir merah alami. Yang lain kan nggak gitu, Sa."
"Justru itu spesialnya Naya, kan," ujar Aksa. "Cantik natural. Nggak usah ribet-ribet pakai make-up atau skin care mahal kayak cewek-cewek lain."
Dhisti yang mendengar itu pun seketika mengernyit, merasa heran sendiri. Dia tahu bahwa laki-laki memang mahkluk visual yang melihat perempuan dari fisik. Tapi dari cara Aksa menanggapi kespesialan Naya, dia merasa Aksa tak bisa menghargai perempuan lain yang memilih mengeluarkan uangnya untuk make-up dan skin care—padahal itu hak mereka. Jadi, perempuan-perempuan yang dinilai spesial di mata Aksa haruslah memiliki fisik cantik sempurna natural seperti Naya? Berat sekaligus dangkal amat kriterianya, pikir Dhisti, seketika merasa ilfeel.
Namun, Dhisti memilih diam saja. Setidaknya, dia jadi tahu sifat buruknya Aksa ada di mana.
"Mbak Dhis, ini udah tampilan anak band lain itu," ujar Tyas. "Abis band dari luar sekolah itu, ada Tari Bali, abis itu band Mbak Dhis, kan?"
"Oh, iya." Dhisti manggut-manggut. "Aku balik ke basecamp anak-anak band aja, ya."
Semua mengiyakan. Memberi semangat dan dukungan untuk Dhisti. Namun, Tyas ikut bersama Dhisti ke basecamp. Ketika sudah masuk ke koridor depan kelas, tiba-tiba nama Dhisti dipanggil oleh suara Aksa.
Aksa memelanlan langkah begitu Dhisti berbalik.
"Dhis, sampai lupa." Aksa mengeluarkan sesuatu dari tas selempang kecilnya. "Nih. Buat cemil-cemil sambil nunggu giliran band lo tampil."
Napas Dhisti pun tertahan.
Dia mengerjap-ngerjap. Merasa agak luluh karena perlakuan ini. Kenapa Aksa masih juga membelikannya kerupuk udang kesukaan Dhisti? Untuk apa? Dia kan bisa melakukan itu kepada teman-temannya yang lain.
Namun, Dhisti mengingatkan diri untuk tak lompat pada konklusi itu. Barangkali Aksa juga melakukan kebaikan yang sama kepada teman-temannya yang lain, hanya saja Dhisti tak melihatnya langsung.
"Oh, iya." Dhisti menerima kerupuk udang itu. Tersenyum. "Makasih ya, Sa."
"Yo. Semangat buat tampil nanti," ujar Aksa, kemudian berlalu untuk kembali berkumpul bersama teman-temannya.
Tyas yang melihat itu pun menghela napas. "Sekarang aku paham kenapa Mbak Dhis bilang susah buat move on dari si Zayn Malik KW," ujar Tyas. "Susahnya adalah karena dia masih kasih perhatian-perhatian sentimentil begini. Ini beda kasus sama orang yang jadi pengagum rahasia, dan orang yang dia kagumi nggak kasih hal-hal sentimentil ke si pengagum rahasia."
Dhisti tersenyum. "Yah, gitulah." Dia menatap sekeliling. "Cuma, aku udah sadar juga kalau dia kayak gitu nggak ada maksud apa-apa. Di mata Aksa mungkin kastaku udah beda sama Naya. Kalau aku nganggep perhatian-perhatian kecil ini spesial, maka apa yang Aksa lakuin ke Naya itu jauh, jauh lebih spesial lagi. Soalnya Naya kan pacarnya Aksa."
Tyas menyipitkan mata. "Itu si pacarnya tahu nggak sih, kalau si Zayn Malik KW ganjen-ganjen gini sama cewek lain? Aku risi loh kalau tahu cowokku sok-sok perhatian ke cewek lain kayak dia. Kayak nggak ada batasan dirinya gitu. Kalau tahu-tahu dia selingkuh, aku nggak kaget, sih."
"Hush," ujar Dhisti. "Jangan gitu. Ntar kalau bener kejadian, kamu yang nyesel udah pernah ngomong begitu."
"Iya, sih."
Dalam hati, Dhisti pun jadi ikut memikirkan ucapan Tyas. Ini Naya nggak apa-apa cowoknya berlaku begini ke cewek lain? pikir Dhisti. Ya iya, kalau pas tadi bantu ngobatin sih nggak apa-apa. Tapi, ini Aksa ngobatin cewek sambil kasih perhatian kayak tadi kan geli juga. Ngobatin mah ngobatin aja. Nggak usah obral kata-kata manis gitu, orang udah punya pacar juga. Kalau aku jadi Naya sih aku ogah cowokku keganjenan kayak gini ke cewek-cewek lain.
"Mbak Dhis, nanti kalau keingetan mulu sama si Zayn Malik KW, kalem aja," ujar Tyas. "Mungkin emang susah menghindari si Zayn KW. Dan mungkin bisa jadi kalau suatu saat dia putus dari pacarnya, dia bakal cari Mbak Dhis dan kasih perhatian-perhatian lagi ke Mbak Dhisti, tapi tetap akan lebih memilih cewek cantik dan rapuh yang minta dilindungi kayak Naya dibanding Mbak Dhis. Makanya, Mbak Dhis harus tetep kuat sama pendirian."
Dhisti tersenyum, memeluk Tyas.
Selalu ada kenangan di sudut ruang otak Dhisti tentang Aksa. Tentang cerita-cerita Aksa mengenai latar belakang keluarganya, tentang kesukaannya terhadap musik klasik, tentang filosofinya, tentang gigi taringnya yang muncul ketika dia menyengir, tentang perhatian kecilnya yang menyadari makanan apa yang Dhisti suka, tentang buku-buku yang Aksa baca, tentang suara Aksa yang terasa menenangkan. Semua kenangan itu selalu ada, tak mungkin dilupakan. Dan menyembuhkan diri dari patah hati memang bukan tentang berusaha melupakan.
"Eh, Dhis," panggil seorang lelaki dari dalam kelas. Sofyan. "Ayo, siap-siap dulu. Bentar lagi kita tampil."
Dhisti melepas pelukannya dari Tyas. Adiknya itu pun mengangkat kedua tangannya yang terkepal. "Semangat, Mbak Dhis!"
Dhisti mengangguk. Dia ke kelas untuk bersiap-siap dan tak lama kemudian, ekskul band sekolahnya pun siap untuk tampil.
Dhisti merasakan kegugupan ketika berada di panggung. Namun, wajah-wajah familier yang terlihat mendukungnya membuatnya lebih semangat. Terutama wajah Tyas. Adiknya itu sudah mau datang sendirian ke sekolah Dhisti untuk menyemangati kakaknya, sekaligus menjadi tempat curhat Dhisti selama dua bulan terakhir. Dhisti ingin membelikan hadiah kecil untuk Tyas karena sudah suportif.
Kemudian, mata Dhisti menangkap Aksa tengah menontonnya dengan Naya di sampingnya. Aksa. Lelaki pertama yang mendekatinya. Lelaki yang memberinya pelajaran sangat penting. Meskipun dia dan Aksa tak berakhir bersama, tetapi Dhisti tahu dia tak bisa melupakan lelaki itu.
Dhisti pun menarik napas. Mulai memetik gitarnya begitu sudah ada aba-aba untuk mulai.
Sorak sorai pun mulai terdengar. Lagu yang mereka bawakan memang lagu pop yang sudah cukup dikenal. Lagu Galih dan Ratna, dilanjut lagu Tiba-Tiba Cinta Datang, dan ditambah beberapa lagu lainnya.
Berada di atas panggung ini membuat Dhisti sadar betapa waktu sudah berlalu. Dua bulan sebelumnya, Dhisti selalu bertanya-tanya, bagaimana cara menyembuhkan patah hati?
Banyak yang menjawab: waktu. Ada pula yang menjawab: kemauan. Dhisti jelas mau untuk sembuh dari patah hatinya, dan dia juga tak masalah jika memakan waktu. Semuanya butuh proses. Termasuk sembuh dari patah hati.
Namun, Dhisti sadar bahwa dia keliru menanggapi patah hati. Cara menyembuhkannya bukan dengan melupakan, melainkan dengan berusaha melakukan sesuatu yang membahagiakan. Karena sebelum bertemu orang yang mereka cintai itu pun, manusia harusnya bisa bahagia. Kalau sebelum bertemu seseorang yang dia cinta maka dia merasa kosong, hampa, dan tidak bahagia, berarti dia selalu menggantungkan kebahagiannya pada lelaki yang dia sukai, sementara mahkluk sefana dan setiak sempurna manusia harusnya tak jadi tempat tertinggi untuk menggantungkan kebahagiaan.
Dhisti belajar. Cara menyembuhkan patah hati bukan cuma fokus pada membahagiakan diri saja.
Tapi juga menerima bahwa selama proses itu, akan ada bagian dari dirinya yang sulit untuk melepaskan Aksa.
Dan itu tidak apa-apa. Sebab semua akan baik-baik saja selama dia fokus pada dirinya sendiri. Bukan fokus melupakan Aksa.
TAMAT
A/N
Alhamdulillah tamat.
Gue harap sih lo bisa nangkep ya kenapa gue memilih ending kayak gini (sedari awal nulis HoG). Ini bukan cuma masalah orang yang udah jatuh cinta nggak harus bersatu. Tapi juga masalah I wanna break the cliché about bad boy and good girl story.
Gue mau memperbaiki miskonsepsi dan menjawab pertanyaan yang gue temukan di sini.
1. "Dhisti menurutku menutup diri bukan karena Dhisti itu gamau ngobrol, tapi kan ada yang namanya introvert, kuyakin Dhisti introvert jadi dia bingung atau takut kalau mau buka obrolan atau nanggepin orang."
Baiklah.
Banyak orang mikir introvert itu identik dengan: gak jago ngomong, pendiem, penyendiri, gatau gimana memulai atau menanggapi obrolan karena banyak pikiran takut salah ngomong.
Banyak orang mikir ekstrovert itu identik dengan: bawel, jago ngomong, jago public speaking, selalu sama temen-temen, mudah bergaul, cepat adaptasi.
Gak salah sih. Tapi kan itu stereotipe banget.
Berdasarkan apa yang gue pahami, intinya sih, extraversion-introversion itu adalah tentang "energi". Misal, lo merasa bersosialisasi itu melelahkan banget (meskipun sosialisasinya berasa asyik seru), dan lo butuh waktu buat sendirian buat "re-charge energi" yang sudah terkuras setelah bersosialisasi itu, itu namanya introvert. Sementara kalau ketemu orang dan bersosialisasi itu bikin semangat, bikin ngerasa "re-charge energi"nya justru pas ketemu orang-orang gitu, itu namanya ekstrovert.
Gue punya temen yang bawel, bacot, like literally apa pun dikomentarin, sosialisasi sama semua orang oke, tipe orang periang mudah bergaul karena anaknya ramah, dan dia introvert. Bukan ekstrovert. Karena setelah sosialisasi segala macam itu, dia butuh waktu buat dirinya sendiri entah dengan nonton drakor, baca buku, nonton di netflix, dsb semua sendirian, nggak mau diganggu-ganggu orang.
Gue punya temen pendiem, kalem, nggak suka ngomong kecuali kalau penting, anaknya agak canggung, tipe yang kalau awal kenal ya diem-diem aja tapi kalau udah kenal baru lebih berani buka mulut pas diajak ngobrol, dan dia ini ekstrovert. Bukan introvert. Karena dia merasa kehadiran orang-orang lain di sekitar dia itu bikin dia lebih semangat gitu buat ngerjain tugas, bikin dia ngerasa nggak kesepian. Atau kalau abis kerjain sesuatu sendiri, nanti dia "re-charge" energi dengan ketemuan dulu sama temen-temannya, meskipun dia nggak banyak omong begitu udah kumpul ya gapapa, soalnya cukup berkumpul sama temen-temennya aja dia udah seneng dan lebih semangat.
Jadi yha, menjadi introvert bukan alasan untuk menutup diri dari pergaulan, atau jadi alasan nggak mampu buka atau menanggapi obrolan. Maksudnya, pemalu ya pemalu aja, penakut ya penakut aja, jangan apa-apa salahin introvertnya ya monmaap gak masuk akal aja di otak gue kalo hal-hal receh gitu malah nyalahin keadaan kita yang "dilahirkan sebagai introvert". Soalnya kalau udah mentok di "ini karena gue introvert", malah stuck nanti di situ-situ aja gabisa diubah (ini dari pemahaman gue tentang introvert-ekstrovert yang memang sulit diubah, hanya bisa beradaptasi kayak contoh temen introvert gue tadi).
Maksudnya, kalau misal kita merasa mau buka atau tanggepin obrolan tapi alasan kita sulit menanggapi adalah karena takut salah ngomong, takut ini, takut itu, malu ini-itu, itu masih bisa diatasi dengan coba-coba dulu latihan, dibiasakan memberanikan diri. Sementara kalau alasan gabisa tanggepin obrolan/pemalu/takut adalah dengan kasih pernyataan "ini karena aku introvert" sementara lo bahkan belom bener-bener ngerti introvert itu apa, itu sama aja menggiring diri sendiri ke jalan buntu, karena introversion-extraversion sangat kecil kemungkinan berubahnya. Bisanya cuma adaptasi.
Kalau pemahaman awal lo tentang ekstrov-introv aja udah keliru, terus ntar mentok-mentoknya mikir "gue mau ngubah diri jadi ekstrovert aja deh, abis kalo introvert gue pasti pemalu dan gak jago ngomong", ini buat gue namanya pelecehan logika. Lagi pula, buat apa juga sih diubah? Ini kan cuma masalah energi aja. Nggak ada cerita karena seseorang introvert maka sudah pasti skill berbicara dia nol atau minus. Kalau dia introvert ya... abis dia berada di keramaian atau bersosialisasi, dia butuh me time tanpa gangguan siapa pun untuk re-charge energi. Udah itu aja.
Oiya. Gue gak percaya sama adanya ambivert. Ya kalaupun percaya, gue percayanya semua manusia itu ambivert, tetapi juga punya kecenderungan entah cenderung introvert atau cenderung ekstrovert. Hanya karena seorang manusia ekstrovert, bukan berarti dia gak bisa menikmati suatu kegiatan (jalan-jalan, nonton, baca buku, dsb) sendirian. Dan hanya karena seorang manusia introvert, bukan berarti dia gabisa ikut social event atau nongkrong bercanda-canda sama banyak orang.
2. "Aksa jelas-jelas bilang Dhisti orang pertama yang ngertiin dia, tapi kok malah sama Naya? Pasti ini karena Aksa aslinya suka sama Dhisti tapi karena tahu Dhisti mau fokus belajar, jadinya Aksa malah balikan sama Naya. Cuma aslinya Aksa masih nyimpen rasa buat Dhisti, kan?"
Kalau lo mau ngarep kayak gitu gapapa sih.
Cuma bagi yang gamau ngarep, sebab lo lebih mau tau penjelasan dari gue, maka gue akan mengulang narasi yang ada di chapter 14:
"Tidak semua orang mencari sosok pasangan yang bisa mengerti dirinya. Barangkali Aksa adalah salah satunya. Sebab meskipun Aksa merasa Dhisti adalah orang pertama yang sangat memahami dirinya, meskipun Dhisti peduli dan mau mengerti Aksa, pada akhirnya Aksa lebih memilih Naya, bukan Dhisti.
Sebab Aksa lebih butuh perempuan cantik yang terlihat rapuh, terlihat butuh disayang dan dilindungi agar Aksa merasa bisa diandalkan. Aksa butuh perempuan seperti Naya. Bukan perempuan yang terlihat kuat dan mandiri seperti Dhisti."
Gue paham sih, kalian mungkin selama ini tahunya semua orang cari pasangan yang bisa mengerti dirinya. Awalnya pun gue mikir gitu, sampai akhirnya gue menyadari memang ada sebagian orang yang mencari sosok yang dia damba-damba dalam otaknya, bukan cari yang pengertian.
Awalnya gue pun kaget, ada temen-temen gue yang cowok yang lebih memilih cewek Z daripada cewek Y, padahal si Y sama dia udah saling ngerti banget satu sama lain, tapi si cowo ini lebih pilih si cewek Z karena si Z tuh lebih sesuai sosok "perempuan ideal" dalam otaknya... meskipun si Z selama ini cuma manfaatin dia. Pokoknya cowok-cowok ini gak masalah dan gak sadar cuma dimanfaatin atau dimainin. Yang penting pacarnya harus sesuai "sosok ideal" dalam otak mereka.
Di mata Aksa, Dhisti nggak cantik kayak Naya, jadi Dhisti udah beda kasta sama Naya. Di mata Aksa, Dhisti tuh keliatan strong, apa-apa bisa sendiri, bukan cantik rapuh minta disayang dan dilindungi kayak Naya. Jadi ya Aksa jelas lebih pilih Naya kemana-mana.
Naya gak salah kok. Aksa juga gak salah punya selera cewek kayak gitu. Mereka cocok banget malah. Mereka akan terus cocok... sampai nanti Naya menyadari bahwa selama ini, Aksa menghargai Naya sebatas sosok Naya yang kelihatan lemah tapi cantik aja. Yang dihargai banget cuma itu doang, sementara kelebihan-kelebihan Naya yang lain kayak kalau Naya cerdas, Naya jago main musik, Naya bisa jadi Ketua OSIS, Naya jago manajemen waktu, semua itu cuma dihargai sebagai "bonus kecil" aja, bukan penghargaan yang wah, sebab yang paling dihargai Aksa dari sosok Naya adalah sosok Naya yang "cantik alami dan rapuh lemah minta disayang dilindungi".
Jadi bersyukurlah Dhisti dijauhkan oleh manusia macem Aksa.
3. "Kenapa Ka Troi menganggap Dhisti belum cukup layak untuk punya pacar?"
Soalnya Dhisti belum mencintai diri sendiri, masih suka banding-bandingin diri sama orang lain yang akhirnya malah membuat dia tertekan dan gak pede. Mau dia dapet Aksa atau cowok mana pun, selama dia rendah diri, dia akan sulit menghargai dirinya sendiri. Menghargai kecantikan dan kelebihannya sendiri aja dia gak mau, tapi malah berharap kecantikan dan kelebihannya dihargai dan dipuji orang lain? Hellowww...
4. "Hai Kak aku pembaca baru. Abis baca ini, aku mau baca cerita Ka Troi yang lain. Mending mulai dari mana, ya?"
Buat dede gemes pembaca baru yang udah baca Heart of Gold dan mau lanjut baca cerita gue yang lain, silakan lanjut baca Remediasi, lalu lanjut ke Afirmasi, baru Deklasifikasi dan Rotasi dan Revolusi. Soalnya menurut gue urutan yang lebih cocok buat dede gemes ya cerita-cerita itu. Setelah baca cerita-cerita itu, silakan deh baca cerita gue yang lain.
5. "Cara biar mencintai sendiri itu gimana ya? Sebagai cewek, apa harus pakai make-up? Tapi aku takut kalau terbiasa pakai make-up ntar jadi nggak pede kalau misal suatu saat harus keluar tanpa make-up. Gimana dong?"
Kalo kalian punya instagram, silakan buka instagram @crowdstroia dan buka highlights ig story tentang "self-love". Cara-cara mencintai diri sendiri kayaknya udah pernah diterangin tokoh Riv di cerita Rotasi dan Revolusi. Kalau highlight ig story gue itu lebih ke awareness tentang konstruksi sosial masyarakat dalam menentukan apa yang cantik dan apa yang bukan.
6. "Aku tuh mau coba buka obrolan tapi takut mulu bawannya. Takut gak diterima. Padahal aku mau banyak temen tapi susah banget gitu. Mau coba buka obrolan juga susah banget aku harus gimana? Susah banget buat buka diri."
Kalau gak diterima, cari temen lain aja. Tapi kalau mau berpikir ini-itu 'susah banget' mulu ya gapapa lanjutkan. Gue ngomong gini karena dari statement itu, lo udah punya mindset apa-apa 'susah banget'. Gak akan ada yang bisa membantu lo keluar dari ketakutan dan kesusahan yang lo ciptakan sendiri. Kalau mindset lo udah mikir yang buruk-buruk ya selamanya bakal gitu mulu.
Kalau kata Paduka Arraf, untuk disiplin, kita memang harus keras sama diri kita sendiri sampai terbiasa. Dimulai dari mindset. Ini mah di seminar atau sekadar di amanat pembina upacara sekolahan juga udah sering diulang: jangan mikir takutnya. Kalau takut atau mikirnya ini-itu susah mulu, gak akan kelar masalah lo. Cobain aja dulu. Coba sekali, coba dua kali, coba seratus kali, ntar lama-lama juga terbiasa berinteraksi sama orang baru.
Sori ya, kalau lo ngarepin kata-kata manis yang suportif, gue bukanlah orang yang cocok untuk kasih gituan.
7. "Gak niat buat bikin sekuel tentang kisah Aksa? Dia kayaknya menarik."
Gak, soale gue udah dropshay parah sama Aksa wkwkwk. Ya iya gue tahu sih dia cerdas berwawasan luas, tahu banyak tentang sejarah Indonesia, tahu musik klasik, dan punya latar belakang yang menarik. Cuma kan kalau dipikir-pikir... yang tahu ilmu-ilmu itu kan gue, bukan Aksa HAHAHA. Jadi ya gue b aja sama Aksa. Lagian gue punya stok tokoh-tokoh cowok yang jauh lebih cerdas tapi gak dangkal kayak Aksa, kok. Nantikan saja.
Dah ah, gue rihat dulu dari menulis cerita yang terlalu ringan kayak gini. Bukan gue banget karena gue sukanya cerita dengan tokoh kompleks kayak Riv dan Arraf atau Disiden.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top