15 | Nggak Apa-Apa
15 | Nggak Apa-Apa
Laksmana Candrakumara
Dhis
Dhis
Adhistia
Serius gue gatau gue salah apa.
Gue minta maaf deh kalo
ada salah.
Maaf kalo gue ngerepotin
lo pas minggu lalu.
Dhis.
Maaf ya.
:(
Dhisti tertegun ketika keesokan harinya, dia mendapat berondongan chat dari Aksa.
Barangkali, Aksa memberondong chat karena Dhisti tak membalas—bahkan tak membaca—chat-nya sampai tiga hari, tak seperti biasanya di mana tiap Aksa mengirim chat, Dhisti pasti cepat membuka dan membalasnya.
Adhistia Parameswari
Lo gak salah apa2.
Chat lo ketumpuk.
Laksmana Candrakumara
Bener nih?
Trus knp belakangan
lo gak ke kantin?
Adhistia Parameswari
Bawa bekal.
Laksmana Candrakumara
Ga ke perpus?
Adhistia Parameswari
Gak.
Laksmana Candrakumara
Yawla galak amat
mbaknyaaa.
Adhistia Parameswari
Lg sibuk.
Laksmana Candrakumara
Yawda deh.
Maaf udh ganggu dhis.
Oksigen di sekitarnya Dhisti hirup, lalu dia hembuskan napas perlahan. Dia agak merasa bersalah karena memperlakukan Aksa seperti ini. Bagaimana pun juga, ini bukan salah Aksa. Salahnya sendiri yang tidak tahu diri sampai terbawa perasaan oleh perhatian-perhatian Aksa. Padahal sebenarnya, Aksa mungkin memang hanya memerhatikannya sebagai teman. Dan Aksa yang berkata Dhisti adalah orang pertama yang bisa memahaminya mungkin tak berarti apa-apa bagi Aksa.
Bel istirahat pun berdering. Setelah guru di kelasnya pergi, Fadila sudah berdiri untuk mengajak Dhisti untuk ke kantin bersama. "Eh, Dhis, hari ini lo bawa bekal lagi? Nggak ke kantin, ya?"
Butuh waktu beberapa detik bagi Dhisti untuk menggeleng. Memberanikan diri. "Gue bawa bekal, tapi mau beli makanan juga di kantin."
"Oh, oke. Kalau gitu gue bareng lo lagi." Fadila mengambil dompetnya.
Dhisti menarik napas panjang dan bersiap ke arah kantin sambil membawa bekalnya. Mungkin nanti dia akan bertemu Aksa. Tapi, dia berusaha bersikap santai. Karena tidak mungkin juga dia selamanya menghindari Aksa. Pasti suatu saat dia harus bisa menghadapi Aksa tanpa terlihat sedih atau ingin menangis. Konyol juga kalau sampai itu terjadi. Dhisti tak ingin Aksa atau siapa pun tahu. Sebab perasaannya ini akan menganggu Aksa yang sudah berpacaran dengan perempuan lain.
Sesampainya di kantin, Dhisti tak melihat Aksa. Mungkin Aksa tengah merokok bersama teman-temannya di belakang sekolah. Dhisti pun segera membeli kerupuk udang favoritnya, lalu duduk di meja kosong bersama Fadila. Mereka tengah membicarakan guru baru pengganti guru Kimia mereka ketika Wisnu ikut menimbrung.
"Oi, Bakpau," sapa Wisnu ke arah Fadila. "Aduh... makan manis mulu kamu. Tambah gendut lho ntar. Udah, sini es krimnya buat aku aja!" seru Wisnu, perlahan menarik es krim cokelat yang tengah Fadila makan.
"Enak aja!" seru Fadila. " Gila, gila, bengkak banget itu pipi. Hati-hati loh, ntar kena kanker pipi."
"Hah? Emang ada?"
"Ada lah! Makanya sini es krimnya buatku aja."
"Ah enggak, ah. Kamu pasti bohong."
"Ih, nggak percaya," seloroh Wisnu, lalu melirik Dhisti. "Tuh, tanya Dhisti. Dhisti kan pinter. Kanker pipi mah ada ya, Dhis?" ujar Wisnu sambil mengedip-ngedipkan matanya.
Dhisti tertawa. Rasanya menyenangkan jika melihat Wisnu dan Fadila berseteru. Dia tak merasa hanya seperti nyamuk penganggu jika bertiga dengan mereka. Wisnu dan Fadila selalu menemukan celah untuk mengajak dirinya mengobrol. "Ada kok, Dil. Beneran."
"Hah, beneran?" Fadila melotot, tak percaya.
"Beneran tuh!" Seru Wisnu. "Makanya sini es krim buatku aja."
"Nggak mau, ah. Beli sendiri."
"Ih... itu pipi udah bengkak parah... nanti lama-lama beneran kanker pipi itu!"
"Kanker pipi apaan. Ngawur aja lo, Nu."
Yang terakhir itu suara Aksa.
Suara yang bisa Dhisti temukan di mana pun dia berada.
Dengan santai, lelaki itu duduk di sebelah Dhisti. Dan kendati Dhisti sudah berkali-kali menyadarkan diri bahwa Aksa hanya menganggapnya teman, bahwa Aksa sudah punya pacar, dia tak bisa menampik jantungnya yang berdebar kencang karena Aksa.
Namun, kali ini jantungnya berdebar menyesakkan.
Dhisti rasanya ingin cepat pergi saja.
"Masih marah sama gue, Dhis?" tanya Aksa. Dan adalah sebuah kesalahan ketika Dhisti menatap mata tajam lelaki itu.
Sebab Dhisti langsung terpaku. Seperti biasa, menjadi sulit untuk beralih dari mata Aksa. Meski mata Aksa tajam, tatapannya saat ini terlihat lembut, terlihat peduli.
Dhisti berusaha mengabaikan debaran jantungnya yang mengencang. "Gue nggak marah sama lo."
"Kalian marahan? Gue ketinggalan apa?" tanya Wisnu, menginterupsi.
"Kepo lu," komentar Aksa sebelum menggandeng tangan Dhisti. "Yuk, Dhis. Kita ngomong bentar."
Napas Dhisti tertarik. Dia kaget ketika Aksa langsung menggamit tangannya. Cepat, dia tarik tangannya dari tangan Aksa. "Nggak usah main pegang-pegang juga kali. Nggak sopan."
Aksa tertegun. Kemudian dia sedikit menunduk. "Maaf, itu tadi kayak spontan aja."
Dhisti terdiam. Dia lalu menutup bekalnya, mau mengobrol sejenak dengan Aksa. Dhisti yakin Aksa hanya ingin berbicara tentang dia yang mendadak jutek berlebih. Dhisti ingin membuat semua lebih jelas agar tak perlu ada kesalahpahaman. "Dil, gue nitip bekal gue dulu, ya. Nggak lama kok," ujar Dhisti.
"Iya. Kalian beneran nggak apa-apa?" tanya Fadila, terlihat khawatir.
"Nggak apa-apa," Aksa menjawab. "Santai aja. Ntar juga Dhisti balik."
Fadila mengangguk, mengamati dua temannya itu pergi ke arah belakang sekolah. Dhisti mengamati murid-murid sekitarnya yang jelas-jelas menatap Aksa beberapa detik lebih lama begitu tahu yang lewat barusan adalah Aksa. Sosok Aksa memang seterkenal itu di kalangan para murid dan guru.
Setibanya di halaman kecil belakang sekolah, Aksa menarik napas, lalu menyerahkan satu kantung plastik hitam kepada Dhisti. "Buat lo," ujarnya pendek.
Dhisti mengambil kantung plastik itu dengan heran. Ketika dia membuka isinya, matanya membeliak. Darahnya berdesir karena Aksa masih mengingat makanan yang dia suka. "Buat apa lo beliin gue ini? Banyak amat, Sa. Gue mana abis sendirian."
"Ya bagi-bagi aja ke temen atau keluarga lo," ujar Aksa, santai. "Itu sebagai permintaan maaf karena gue ngerepotin lo minggu lalu. Gue tahunya lo suka Kerupuk Udang Bu Oka, jadinya gue beli itu aja."
Susah. Susah sekali.
Susah sekali untuk melupakan Aksa. Jika Aksa masih seperti ini, bagaimana caranya melupakan? Bagaimana caranya agar dia bisa biasa saja? Bagaimana caranya agar tidak terus-terusan terbawa perasaan? Jika menghindari Aksa tidak berhasil dan menghadapi pun juga tak menuai hasil, lantas dengan cara apa dia harus melupakan Aksa?
Dhisti pun menunduk. Menahan pahit. "Makasih, Aksa."
"Sama-sama." Aksa mendekat selangkah. "Lo... beneran nggak marah, kan?"
"Nggak, kok." Dhisti memaksakan senyum. "Sori, gue lagi PMS dan lo malah kena getahnya.
"Oalah." Wajah Aksa terlihat lega. "Tapi, lo beneran nggak apa-apa, kan?"
Dhisti membuka mulut. Matanya terasa panas. "Nggak apa-apa, kok." Dia tersenyum. "Makasih ya kerupuknya."
"Iya. By the way, lo mau kan, datang ke ultah gue Sabtu ini?" tanya Aksa, terlihat berharap. "Yah, emang perayaan kecil sih, kagak mewah kayak ultahnya Al Ghazali. Tapi ya... lumayanlah kalau mau dapet makanan gratis."
Tak urung, tawa kecil keluar dari mulut Dhisti. "Gue usahain."
"Oke. Nanti kabar-kabarin aja, ya."
Dhisti mengangguk. Dan meski dia ingin bertanya apakah pacar Aksa akan ada di sana, dia langsung telan pertanyaan itu dalam otaknya. Pastilah pacar Aksa datang. Tidak mungkin tidak hadir. "Ya udah. Sampai ketemu nanti pas ultah lo."
"Yoi." Aksa melambai, lalu berjalan ke gerbang kecil ke area kosong belakang sekolah, kembali menemui teman-temannya.
Dan Dhisti kembali ke kantin. Menghabiskan makanannya dan membagi kerupuk pembelian Aksa kepada Wisnu dan Fadila. Namun walau ini adalah kerupuk favoritnya, Dhisti makan dengan rasa hambar.
Mungkin patah hati rasanya memang sehambar ini.
[ ].
A/N
Gue yakin sebagian dari kalian punya pertanyaan atau pikiran kayak:
"Parah ih Aksa udah bikin baper malah jadi PHP gini parah Aksa jahat."
Nggak, Aksa nggak PHP dan Dhisti bukan korban PHP Aksa. Berhentilah playing victim menjyjckan seperti itu, menganggap kita adalah korban di saat sebenernya bukan si doi yang kasih harapan, tapi kitalah yang sengaja mengorbankan diri ke harapan yang kita ciptain sendiri. Aksa gak kasih harapan. Dhisti aja yang ngarep. Untung Dhisti cukup cerdas jadi gak playing victim menganggap dirinya adalah korban PHP.
"Fadila kok malah ga peka sih sama perasaan Dhisti? Temen macam apaan tuh?"
Yawlaaaa gue sebagai mahkluk yang juga nggak peka merasa lelah banget sama cewek-cewek yang begini. Maksud gue, apa salahnya sih ngomong? Kenapa harus nunggu-nunggu dipekain? Emang L pikir semua orang itu Edward Cullen yang bisa baca pikiran? Komunikasi itu KOENTJI dalam hubungan pertemanan dan hubungan-hubungan lainnya. Cuma ya monmaap neh, aing sih mampunya komunikasi dengan bahasa manusia, bukan komunikasi batin. Jadi ya kalo ada temen gue punya masalah dan dia gak bilang ya gue bakal nganggep semua baik-baik aja. Kalo butuh didengerin atau dingertiin ama temen tuh tinggal ngomong aja apa susahnya sih? Kenapa harus pake komunikode?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top