14 | Hati Telah Berlabuh

A/N

Sori dikit bgt. Kemaren2 aing sibuk dan skrg lagi ga pegang laptop.

-:-:-





14 | Hati Telah Berlabuh




Tak butuh waktu lama hingga kabar Aksa yang kembali jadian dengan mantannya tersebar ke lingkaran pertemanan teman-teman Aksa.

Sehingga ketika Dhisti mendengar sendiri dari Fadila tentang Aksa dan Naya, Dhisti tak tahu harus mencari tahu lebih banyak tentang betapa cocoknya Aksa dan Naya agar dia makin tahu diri, atau tak perlu tahu karena itu bukan urusannya.

"Mereka tuh emang udah kenal dari lama. Makanya pas mereka putus, gue sama yang lain ya nggak kaget seandainya mereka balikan," ujar Fadila ketika mereka tengah mengobrol tentang Aksa di kelas. Guru di kelas mereka tengah menjawab pertanyaan hampir seperempat murid di kelas yang maju ke meja guru. "Eh, bener balikan, kan. Aksa merasa sayang juga kali ya kalau menyia-nyiakan cewek secantik Naya."

Dhisti mengangguk-angguk. Dia sudah melihat foto Naya yang ditunjukkan oleh Fadila. Naya jelas cantik. Tipe cantik imut dengan kulit putih pualam, rambut yang terlihat halus dan bibir mungil berwarna merah jambu. Jelas itu merupakan tipe perempuan yang bisa cepat ditaksir banyak lelaki. "Iya, mereka udah cocok. Sayang kalau putus," komentar Dhisti, mengikuti Fadila.

"Iya kaan? Semua orang juga pasti bisa lihat mereka tuh cocok. Bukan cuma karena yang satu ganteng dan yng satu cantik, tapi emang sifatnya tuh saling melengkapi gitu loh, Dhis. Lo tahu kan Aksa tuh tengil, usil, doyan bercanda dan berisik. Sementara Naya tuh anaknya agak pemalu dan pendiam gitu, tapi aslinya anaknya manis dan baik. Jadi kayak cocok banget gitu."

"Iya, cocok banget."

"Ya untunglah balikan. Gue kasihan Aksa juga sih kalau Naya nggak mau balikan. Aksa kan cinta banget sama Naya."

"Dila, maaf, gue ke kamar mandi dulu, ya."

"Eh? Sori. Lo dari tadi kebelet pipis? Sori ya gue nyerocos mulu. Sini gue temenin," ujar Fadila, segera berdiri siap untuk menemani Dhisti.

Dhisti menggeleng. "Nggak usah. Gue bisa sendiri kok."

"Yang bener nih?"

"Iya." Dhisti merapikan tempat pensilnya. "Gue ke kamar mandi dulu ya."

Dhisti pun keluar kelas. Ketika matanya sedikit mengarah ke lapangan di bawah, Dhisti merutuk karena pikirannya spontan mencari-cari sosok Aksa. Nyebelin. Kapan sih lo bisa keluar dari otak gue? pikir Dhisti. Sudah tiga hari berlalu dari saat dia mendengar Aksa balikan dengan mantannya. Namun, Dhisti masih juga belum tahu bagaimana cara mengenyahkan sosok Aksa dari otaknya. Dia sudah terus-terusan mengingatkan bahwa Aksa sudah milik perempuan lain, bahwa Aksa jelas-jelas tak mungkin membalas perasaannya. Tapi, kenapa sosok Aksa masih membayangi dirinya? Kurang cukup sadar dirikah dia? Dengan cara apa dia harus menampar dirinya sendiri agar dia bisa berhenti membayangkan atau mengharapkan sesuatu yang jelas takkan jadi miliknya?




***




"Dhis, lo Sabtu ini dateng kan?"

Ketika kembali ke kelas, Dhisti melihat Fadila  tengah membuka ponsel saat bertanya hal tadi. Sebagai jawaban, Dhisti mengernyitkan keningnya. "Dateng ke mana?"

"Ke ultah Aksa. Dia kan undang temen-temennya. Udah ngabarin dari kemaren kok."

"Oh... Gue nggak tahu, sih."

"Chat Aksa ketumpuk kali. Lo pasti diundanglah."

"Gitu ya." Dhisti mencari ponselnya di dalam tas. Dhisti tak tahu tentang ulang tahun Aksa. Kontak Aksa di ponselnya sudah dia mute. Selama tiga hari ini Dhisti tak lagi membuka ruang chat mereka. Mungkin sebaiknya semua chat Aksa dia hapus saja.

"Jadi gimana, Dhis?" tanya Fadila dengan mata penuh harap. "Lo dateng kan?"

Mata Dhisti membaca chat terakhir dari Aksa. Acara ulang tahunnya berlokasi di suatu kafe jam 7 malam. "Hmm. Ntar gue lihat-lihat dulu, deh. Takutnya ntar ada acara keluarga."

"Oh, oke. Kalau emang lagi luang, dateng aja ya. Tenang, ada gue ini. Toh lo juga udah akrab kan sama Aksa dan Wisnu."

Dhisti tersenyum tipis. "Iya. Lihat nanti, ya."

Bel istirahat berbunyi. Dan seperti biasa selama tiga hari belakangan, Dhisti selalu makan di dalam kelas karena membawa bekal sendiri. Sengaja, agar dia tak perlu ke kantin dan bertemu Aksa secara tidak sengaja.

Dia memang menghindari Aksa sejak tahu Aksa balikan dengan mantannya. Niatnya agar dia tak perlu terus-terusan teringat dengan Aksa. Namun, Dhisti tak tahu apakah usahanya ini akan berhasil atau tidak.

Memang baru tiga hari dia menghindari Aksa. Namun, Dhisti tak merasakan dampak yang dia harapkan. Dia tetap saja teringat Aksa. Teringat keisengannya. Teringat taringnya ketika dia menyengir. Teringt suara tawanya yang renyah. Teringat mata berbinarnya ketika menjelaskan pengetahuan yang dia suka. Teringat ucapan Aksa yang berkata bahwa dirinya adalah orang pertama yang bisa memahaminya.

Barangkali Aksa hanya berbohong. Barangkali orang pertama yang bisa memahami Aksa adalah Naya, bukan Dhisti. Barangkali meski Dhisti bisa memahami dan peduli dengan Aksa, nilai Dhisti di mata Aksa tak lebih dari sekadar teman.

Barangkali memang seperti itulah sebagian orang.

Tidak semua orang mencari sosok pasangan yang bisa mengerti dirinya. Barangkali Aksa adalah salah satunya. Sebab meskipun Aksa merasa Dhisti adalah orang pertama yang sangat memahami dirinya, meskipun Dhisti peduli dan mau mengerti Aksa, pada akhirnya Aksa lebih memilih Naya, bukan Dhisti.

Sebab Aksa lebih butuh perempuan cantik yang terlihat rapuh, terlihat butuh disayang dan dilindungi agar Aksa merasa bisa diandalkan. Aksa butuh perempuan seperti Naya. Bukan perempuan yang terlihat kuat dan mandiri seperti Dhisti.

Harusnya, realisasi ini membuat Dhisti lebih sadar diri.

Harusnya.

Namun nyatanya, sosok Aksa di hati Dhisti masih saja tergenggam erat. Sulit dilupakan meskipun Dhisti tahu dia tak bisa lebih dari sekadar teman.
Dan takkan pernah bisa melampaui batas itu.
[ ].




A/N

Ada pertanyaan terkait Heart of Gold?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top