13 | Lebih Baik Begini

13 | Lebih Baik Begini



Tyas langsung menatap Dhisti heran ketika melihat Dhisti pulang ke rumah.

Perhatian Tyas itu tak ayal muncul karena jaket yang dikenakan Dhisti. Tyas sudah hafal pakaian apa yang biasa Dhisti kenakan. Dan jaket parasut yang tengah Dhisti pakai jelas bukan salah satu pakaian Dhisti. "Mbak Dhis, itu jaket baru beli kapan?" tanya Tyas.

Menyadari jaket yang dimaksud adalah jaket Aksa, Dhisti membeliak menatap Tyas. Dia baru menyadari bahwa jaket Aksa masih dia kenakan. "E-ehm, ini... jaket temenku. T-tadi... aku pulang bareng dia dan disuruh pake jaket. Lupa kubalikin."

Mata Tyas terlihat menyelidik. "Hmm... temen apa nih? Jangan-jangan Zayn Malik KW itu?"

"Hah? Zayn Malik KW?"

"Itu, temen Mbak Dhis yang waktu itu kita lihat foto Instagram-nya bareng. Si Laksmana Raja di Laut."

Sontak, pipi Dhisti memerah. Dia sadar bahwa memang wajah Aksa sekilas mirip si penyanyi terkenal itu—versi rambut hitam. "Ya... i-iya, ini punya Aksa."

"CIEEE!" seru Tyas, kemudian segera menutup mulut ketika Dhisti memelototinya, takut menganggu anggota keluarga mereka yang lain. Namun kemudian, Tyas mendekat Dhisti dan berbisik pelan, "Cie...."

Dhisti terkekeh melihat kelakuan adiknya. "Apaan, sih. Orang cuma dianterina aja."

"Ya kapan lagi aku lihat Mbak Dhis diantar pulang sama cowok? Ganteng pula." Tyas menyengir. "Pasti seneng nih, ye. Dari tadi senyam-senyum mulu."

"Enggak. Apaan, sih."

"Yeh. Ngomongnya 'apaan sih-apaan sih' tapi mulutnya nggak bisa berhenti senyum gitu. Yang konsisten atuh, Mbak. Seneng ya seneng. Nggak seneng ya nggak seneng."

"Udah, deh. Tyas kamu tuh masih kecil. Jangan malah mikirin Mbak. Pikirin aja gimana caranya biar sukses."

"Yeh, aku kan cuma seneng aja Mbak Dhis bentar lagi dapat pacar Zayn Malik KW."

"Apa, sih." Dhisti segera meninggalkan Tyas. Baru beberapa langkah, dia kembali menoleh ke arah Tyas. "Jangan bilang-bilang Ibu sama Bapak."

"Siap!" seru Tyas sambil terkekeh.

Dia memasuki kamar dan buru-buru menyimpan jaket Aksa ke sebuah kantung plastik, lalu memasukkannya ke dalam tas. Dia tak perlu membuat orangtuanya bertanya-tanya tentang jaket Aksa itu.

Ponsel Dhisti menyala-nyala ketika dia baru saja mengambilnya dari dalam tas. Ada chat dari grup kelas. Dhisti membaca-bacanya sejenak dan ada yang membagi informasi tentang beasiswa, perjalanan wisata alam, atau pensi-pensi sekolah lain yang sebentar lagi akan diadakan. Dia membaca bagian wisata alam dan menemukan nama salah satu alumnus sekolah yang dulu anak PMR, satu ekskul dengan Dhisti. Dia ingin melihat poster wisata alam itu ketika sebuah chat dari Aksa masuk.


Laksmana Candrakumara

Eh Dhis.
Ntar jaket gue lo
balikin di perpus aja
yak.
Pas hari Jumat
paling gue udh
masuk

Adhistia Parameswari

Oke.


Dhisti terdiam sejenak. Dia bingung harus mengatakan apa lagi.


Adhistia Parameswari

Luka bahu lo kira-kira
sembuh kapan?

Laksmana Candrakumara

Masih agak lama
kali ye.
Dua-tiga harilah.
Knp?
Udah keburu kangen
ya ama gue?
Wekawekaweka.

Adhistia Parameswari

Ge-er amat masnya.

Laksmana Candrakumara

Gausa malu2 gitu.
Ngaku aja kalo kangen.
Kangen ama abang tuh
gausah gengsi, neng.

Adhistia Parameswari

Paan sih.
Udah luka malah
banyak tingkah.

Laksmana Candrakumara

Wekaweka.
Gausa khawatir, dhis.
I'll be fine.
Gue udah ngalamin
yg lebih buruk.
Dan gue ttp baik2 aja.

Adhistia Parameswari

Kayak?

Laksmana Candrakumara

Kecelakaan motor.
Luka kayak gini bukan
apa2.
Pd akhirnya gue sembuh
sehat wal afiat.

Adhistia Parameswari

Tp kalo lo tawuran kan
gaada yg tau nanti bakal
separah apa lukanya.

Laksmana Candrakumara

Ya emg gaada yg tau.
Hidup emg gitu dhis.
Yang pasti adalah yang
ketidakpastian.

Adhistia Parameswari

Ih gue serius.
Ortu lo gapapa apa
liat anaknya luka2
babak belur gitu?

Laksmana Candrakumara

Gapapa. Ntar juga
sembuh.

Adhistia Parameswari

Ya walau sembuh kan
belum tentu bakal
sama kayak dulu.
Bisa jadi luka permanen
atau sampai patah tulang
gmn?

Laksmana Candrakumara

Hahahaha.
Santai sih dhis.
Itu mah biar gue
sendiri yg handle.

Adhistia Parameswari

Beneran bisa sendirian?

Laksmana Candrakumara

Bisa kok. Selama ini
bisa. Santai.


Dhisti menarik napas. Kadang dia berpikir, apakah Aksa merasa kesepian kendati punya banyak teman? Sebab sepertinya dia lebih suka menyelesaikan masalah sendirian.

Akhirnya Dhisti pun mengirim pesan.


Adhistia Parameswari

Lo tuh kalo merasa
kesepian cerita sana sama
tmn2 lo.
Temen lo kan bnyk.
Jangan suka pendem
sesuatu sendirian.
Ntar jd beban.

Laksmana Candrakumara

Lo mikir gue kesepian?

Adhistia Parameswari

Ya iyalah.
Sering ngelawak tapi
matanya kayak kosong gitu.
Kayak gaada kehidupan.
Kalo kesepian mah bilang2
aja daripada depresi.

Laksmana Candrakumara  

Ga semua orang paham
tentang kesepian di tengah
keramaian.

Adhistia Parameswari

Yaudah cerita sana
sama yang ngerti.

Laksmana Candrakumara

Berarti gue cerita ke
elo, ya?
Kan lo juga gue anggap teman.
Cuma lo yang ngerti, Dhis.


Dhisti terdiam.

Dan, butuh waktu agak lama hingga akhirnya dia membalas 'iya, cerita aja'.



***



Hari Jumat itu, Dhisti jelas tak menyangka apa yang akan dia alami.

Ketika pagi datang, dia sudah mengirim chat ke Aksa untuk mengembalikan jaket lelaki itu. Aksa bilang dia ingin mengambil jaketnya dengan mereka ketemuan di perpustakaan sekolah saja.

Di tengah pelajaran, Dhisti izin ke kamar mandi, ingin cuci muka karena mengantuk. Kamar mandi siswa terletak di sayap barat gedung sekolah. Letak kamar mandi perempuan bersebelahan dengan kamar mandi lelaki. Saat berjalan keluar kelas, mata Dhisti yang tadinya mengantuk terasa lebih segar lagi saat melihat peohonan di sekitar lapangan, serta melihat anak-anak murid yang tengah berolahraga. Kala langkahnya hampir sampai di kamar mandi perempuan, dia mendengar suara tawa renyah dari arah kamar mandi lelaki.

Itu tawa Aksa.

Dua sudut di bibir Dhisti spontan tertarik melawan gravitasi. Ada lompatan bahagia di dada Dhisti sekaligus pikiran bahwa dirinya sangat konyol. Sebab sepertinya di mana pun dia berada, rasa-rasanya Dhisti selalu bisa menebak yang mana suara Aksa.

Suara tawa Aksa mereda, lalu disusul ujaran dari lelaki lain. Jika Dhisti mengingat suaranya, itu adalah suara Cahyo, "Weh! Malah ketawa nih kuda. Gue mah nanya serius! Lo jadi balikan sama Naya?"

Sontak, napas Dhisti tercekat di tenggorokannya.

Dia awalnya tak ingin menguping. Namun, ucapan teman Aksa itu sungguh membuatnya resah dengan dada tertekan. Dia mengigit bibir. Tahu bahwa sebaiknya dia mendengar hal ini agar teringat dengan realita.

Bahwa Aksa memberinya segala macam perhatian hanya karena dianggap teman. Tidak lebih.

Dan ucapan Aksa selanjutnya terasa mengguncang pikiran Dhisti.

"Ya iyalah gue balikan! Pakai nanya lagi!" seru Aksa dengan tawa renyah khasnya. Dan meskipun Dhisti ingin berpikir barangkali ini bukan suara Aksa, bahwa bisa jadi dia salah orang, rasa-rasanya penampikan itu terlalu naif untuk menghadapi realita.

Dhisti mengigit bibir. Hatinya tercubit mengetahui Aksa sudah dimiliki perempuan lain.

Kalaupun Aksa nggak sama perempuan lain, memangnya Aksa mau kamu, Dhis?

"Beneran balikan?" tanya Cahyo. "Trus, Dhisti gimana? Lo kan belakangan deket banget sama dia. Udah kayak pacaran."

"Nggaklah," tampik Aksa. "Kan, gue dari dulu sayangnya sama Naya. Dhisti mah cuma temen."

Jantung Dhisti rasanya dihunjam ribuan jarum.

Dia menelan ludah, segera pergi ke kamar mandi. Dia duduk di tutup toilet dan mengerjapkan matanya yang berlinang. Punggung tangannya segera menghapus air matanya yang sedikit keluar. Matanya segera terpejam sambil dia menarik napas.

Kuat, Dhisti, kuat, dia membatin. Ini cuma fase remaja. Yang kuat, Dhisti. Yang kuat. Ibu sama Bapak berharap besar ke kamu. Jangan lemah cuma karena hal kayak gini.

Namun, Dhisti tak bisa tidak lemah.

Pada akhirnya dia terisak kencang hingga bel istirahat berbunyi. Bel yang menjadi pertanda bahwa dia harus berhadapan dengan Aksa lagi.



***



Dhisti sudah terlihat baik-baik saja ketika dia kembali ke kelas.

Saat tadi berjalan, Dhisti sempat berpikir untuk menitipkan jaket Aksa ke murid lain yang sekelas Aksa. Namun, itu hanya bisa dilakukan jika Dhisti memang tak menemukan Aksa di kelas. Bagaimana jika Aksa ada? Otomatis Dhisti akan bertemu si pemilik jaket secara langsung.

Menarik napas, Dhisti berusaha memberanikan diri dengan mengantar jaket Aksa ke pemiliknya setelah bel istirahat berbunyi. Dia paksakan kakinya yang terasa lemas untuk melangkah ke perpustakaan. Beberapa teman yang dia kenal menyapanya, dan hanya bisa Dhisti balas dengan senyum paksa. Mood-nya berantakan hanya karena Aksa. Inilah yang membuatnya tidak mau jatuh cinta pada masa sekolah; jatuh cinta selalu mengacaukan konsentrasinya.

Langkah Dhisti akhirnya sampai pada perpustakaan. Dia menatap pintu dan menarik napas panjang, berdoa semoga ini cepat selesai. Sebab Dhisti mau ini jadi kali terakhir dia berhubungan intens dengan Aksa.

Dhisti pun memasuki perpustakaan. Melakukan prosedur standar dengan melepas sepatu, mengisi daftar pengunjung, kemudian berjalan ke arah rak tempat Aksa biasa duduk di lantai.

Ketika Dhisti menoleh ke balik rak, dia menemukan Aksa tengah sibuk dengan ponselnya.

Pelan, Dhisti mendekat. Dia berdeham sekaligus menunduk agar mendapat perhatian Aksa tanpa perlu menatap mata tajamnya nanti.

"Eh, Dhis." Dhisti bisa mendengar suara decit kecil sepatu Aksa ketika beranjak dari duduknya. Sepasang kaki Aksa pun terlihat dalam pandangannya. Dan, kendati Dhisti tahu Aksa sudah punya pacar, kendati dia tahu Aksa hanya menganggapnya teman, jantungnya tetap berdebar kencang ketika Aksa mendekat dan menatapnya.

Dia merasa begitu menyedihkan.

"Ini jaketnya," ujar Dhisti, menyerahkan plastik hitam berisi jaket Aksa. Menarik napas, Dhisti memberanikan diri menatap mata Aksa. "Makasih kemarin udah minjemin."

Aksa menggeleng. "Bukan, Dhis. Harusnya gue yang bilang makasih." Aksa tersenyum. "Makasih udah bantuin gue."

Dhisti mengabaikan hatinya yang berdesir. "Sama-sama. Gue duluan, ya."

"Mau ke kantin? Bareng aja."

"Enggak. Gue mau balik ke kelas."

"Oh."

Dhisti mengernyit. Jika dia tak salah dengar, nada yang dipakai Aksa terdengar kecewa.

Paling dia kecewa karena mau ngobrolin masalah sejarah-sejarah gitu, Dhis. Dia jadi nggak ada temen ngobrol kalo kamu nggak ke kantin, batin Dhisti.

"Ya udah, gue temenin ke kelas aja ya," ujar Aksa, berjalan mengekori Dhisti yang hendak keluar perpustakaan.

Dhisti menggeleng. "Nggak usah."

"Nggak apa-apa."

"Nggak usah," ujar Dhisti, kali ini lebih tegas. "Duluan ya."

"Dhis?" Tanpa Dhisti duga, Aksa menyusulnya yang segera berjalan menuju kelasnya. "Dhis, lo kenapa?"

Dhisti menatap ke arah lain. Kebanyakan murid sedang keluar untuk jajan. Koridor kelas tak ramai. Dhisti pun memberanikan diri untuk menatap Aksa lagi. "Gue nggak kenapa-kenapa," ujar Dhisti.

"Nggak kenapa-kenapa gimana? Orang lo tiba-tiba jutek ke gue gitu, ngomongnya cuma beberapa kata doang. Kenapa lo? Sariawan?"

Mendengus, Dhisti pun tersenyum tipis. Berat rasanya hanya untuk membentuk senyum.

Kadang, lucu bagaimana seseorang yang sering membuatnya tersenyum, kini menjadi segala alasan baginya untuk tersenyum palsu.

"Enggak," jawab Dhisti. "Duluan, Sa." Dhisti segera pergi. Tak mengindahi Aksa yang masih ingin bicara.

Sebab Dhisti tahu, lebih baik begini. Lebih baik menghindar. Dia tahu dia sudah terbawa perasaan dan dia tak ingin terbawa perasaan terlalu dalam.

Lagipula, sudah jelas kepada siapa Aksa melabuhkan hatinya. Dia jelas tak punya kesempatan.

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top