06 : Keadaan yang berubah

semua!


[ Repost! ]

-----

Azahra mengambil seragam olahraga yang diberikan oleh walikelas di temani oleh Tania yang selalu membuntutinya kemanapun ia pergi setelah kejadian di rooftop. Di saat ia memasuki kantor banyak siswa yang memperhatikan nya, ditambah seorang Tania yang mengikutinya semakin membuat tatapan bertanya dan tatapan tidak suka dilayangkan padanya.

Menghela napas, Azahra menatap tajam beberapa siswa yang ketahuan menggerling nakal pada Tania. Jemari yang terkepal kuat dilayang kan keatas seperti gerakan meninju di tunjukkan pada beberapa siswa, bukannya mengalihkan pandangan empat orang siswa itu malah memberikan tatapan meledek, dan sebagian nya malah menyunggingkan seringain pada Azahra.

"Azahra?" tanya Tania yang takut melihat tatapan tajam Azahra.

"Yaelah, kayak sama siapa aja sih.., padahal temen nya gak masalah kita liatin, iya gak?"

"Tau tuh, masih jadi anak baru aja gayanya udah tengil."

"Gretak doang bro, jangan takut sih."

Mendengar hal itu membuat Azahra geram, kepalan tangan yang sebelumnya memang hanya gretakan malah mengepal semakin kuat. Seragam olahraga yang sebelumnya ia pegang pun sudah tergeletak di atas lantai, Tania mengerjapkan matanya berkali-kali takut apa yang sedang ia lihat sekarang hanya ilusi yang otaknya buat.

BUGH.

Tania membeku terkejut. Matanya melotot menatap siswa yang menjadi korban tinjuan dari Azahra. Rasa lemas seketika mendera kedua lututnya. Tania kira, Azahra sosok wanita lembut yang di tutupi dengan kesan cuek dan dingin, ternyata tidak. bayangan nya tentang Azahra salah besar. Masih bediri di tempat yang sama, ia menatap siswa yang di bantu oleh teman-teman nya berdiri, berlari menjauh dari mereka berdua.

"Sampe gue lihat lagi lo berempat natap Tania pake pandangan 'hewan lapar' bukan cuma pipi yang gue tonjok, tapi titik lemah lo!"

Azahra membalik kan tubuhnya, mengambil baju olahraga yang tergeletak dilantai dengan tenang. "Tania a,-" Ia menatap Tania yang terlihat panik dan takut. "Tania, lo kenapa?" lalu setelah itu, Azahra berjalan cepat menghampiri Tania.

Tania yang masih terdiam di tempatnya tak bisa beranjak sedikit pun. Terlihat jelas dari pegangan nya pada tralis jendela kantor yang semakin menguat. Tubuhnnya terasa lemas. Dan Azahra semakin mendekat ke arahnya.

Baang.., gimana ini, Tania takut ngeliat live action di depan mata. Kaki Tania lemes banget, Gilaaaaaaaaaaaaannnnnngggggggg!! Tania berharap Gilang datang dan membawa nya keruang UKS atau kemana pun sampai rasa takutnya menghilang sedikit.

"Ta? Haallloooo?" Azahra melambaikan telapak tangan nya tepat di depan wajah Tania yang tidak berkedip sama sekali.

Tania menggelengkan kepalanya brutal, dan menatap Azahra dengan pandangan selidik. Rasanya, baru seminggu Tania memberanikan diri mendekati Azahra dan menilai perempuan yang berada dihadapan nya sekarang adalah perempuan yang sama sepertinya; lembut, dan mengabaikan pandangan oranglain. Ternyata ketakutan awalnya benar.

"Lo kenapa Ta? Are you okay? Mending duduk dulu, gak apa seragam lo kotor, kan besok udah ganti seragam." Suara Azahra melembut, tidak seperti sebelumnya. Dan Tania tau, perempuan itu sedang berusaha menenangkan nya. Mengetahui hal itu, membuat Tania tersenyum lembut, ia sadar jika Azahra melindunginya dan membuat orang yang berani macam-macam padanya di buat jera.

"Ta, lo kenapa? Apa gue buat lo takut? Maaf Ta, mereka ngeliatin lo kayak 'hewan lapar' dan gue gak suka lo diliat seperti itu sama orang-orang bodoh itu." menarik napas dalam-dalam, mengingat kejadian tadi membuat Azahra emosi lagi. "Lainkali gue gak akan gitu lagi, seenggaknya mereka udah kapok gue tinju barusan."

Tania terkekeh pelan. "Sini peluk dulu," Tania menarik Azahra kedalam pelukan nya, "Mereka emang pantes di kasih pelajaran, tapi besok-besok kasih tau dulu kalo mau tinju orang ya, biar gue tutup mata hahahaha." Mendengar hal itu membuat Azahra tertawa pelan. "Udah ah, ayo kita ke kelas."

***

Frega berjalan menuju kelas dengan wajah yang sulit diartikan. Semuanya bercampur aduk disana. Ia memikirkan banyak hal tentang ucapan ibunya kemarin, perkataan Chandra pagi tadi, dan yang lain. Tapi entah mengapa hatinya kesal bukan main di saat Azahra mengatakan tiga coretan spidol padanya tadi pagi.

Gue kira lo udah nyerah, ternyata belum. Frega berharap hari ini ia tidak bertemu dengan Iqbal terutama Gilang, hari nya sedang buruk dan ia tidak ingin merusak kebahagiaan sahabatnya itu.

Frega menyusuri koridor yang menghubungkan ruang rapat osis dengan ruang guru, dari kejauhan ia melihat adiknya bersama dengan Azahra. Kedua orang yang tadinya tengah bersenda gurau tiba-tiba terdiam, atau lebih tepatnya Azahra yang terdiam. Frega melihat dengan jelas kalau empat orang siswa tengah menatap Tania dengan pandangan yang menurutnya kelewatan, bagaimana tidak, mereka memperhatikan Tania sampai tidak berkedip.

Di saat Frega ingin menghampiri keempat siswa itu, ia melihat Azahra sudah terlebih dahulu menggretak empat siswa yang berujung dengan aksi pemukulan pada salah satu siswa. Frega yang melihat itu di buat 'tak percaya, bagaimana pun juga Azahra adalah seorang perempuan, namun pukulan yang di timbulkan oleh perempuan itu bukan main-main.

Keempat siswa itu berlari melewati Frega yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok. Salah satu dari keempat siswa itu menyadari kehadiran orang lain selain mereka dan kedua perempuan yang mereka goda. Frega menatap keempat siswa itu dengan sebelah alis terangkat. Tangannya sejak tadi ia lipat di depan dada.

"Ketauan ketos!!” teriak salah satu siswa, “Cabut! Cabut! Cabut!!"

Frega masih diam. Ia masih memberikan tatapan tajam, ia mengingat-ingat wajah keempat orang itu kalau sewaktu-waktu mereka membuat ulah lagi, Frega memiliki satu per satu kartu mereka.

Keempat siswa tadi sudah lari secepat mungkin dengan kepala yang menengok ke arah belakang, takut-takut jika mereka di kejar oleh Muhammad Frega Ardinanto.

Menghela napas pelan, Frega keluar dari persembunyian nya setelah merasa Azahra dan Tania sudah pergi dari ruang guru. Ponsel dalam saku nya bergetar pertanda panggilan masuk, mengambil ponsel lalu melihat nama dilayar ponsel.

"Iya, Waalaikumssalam.. kenapa? Waduh gue gak bisa nih gan, masih di skul, iya udah atur aja gimana enak nya. Etapi jangan pas hari skul juga lah, gue sibuk nih biasa ketua osis ganteng idaman gak pake pencitraan, hahahahaha bisa aja lo kambing, yaudah oke. yoo waalaikumssalam."

Frega terkekeh kecil, setidaknya telepon dari sepupu jauh nya, Ben membuat perasaan nya sedikit membaik. Tujuan nya saat ini adalah kembali ke kelas untuk belajar.

Melewati aula, Frega berbelok ke kiri, menaiki anak-anak tangga dengan berlari. Beberapa siswi yang berpapasan dengan nya selalu melemparkan senyuman dan 'tak jarang juga menyapa dirinya. Namun Frega tetap lah Frega, dengan sikap yang terkesan dingin atau bisa di sebut bersembunyi dengan tampan cuek dan brandalan nya.

Baru ingin masuk kedalam kelas, kerah seragam nya di tarik dari belakang, membuatnya tertarik dan terseret ke belakang. Dengan tenang, Frega menatap orang yang menarik kerah seragamnya.

"Ikut gue." Nada memerintah terdengar jelas dari ucapan Harris yang sudah pergi mendahuluinya. Sudut bibirnya terangkat, Harris sudah berjalan jauh dari nya, bukan nya mengikuti, Frega lebih memilih masuk kedalam kelas mengambil headset dan satu buku agenda yang entah kenapa harus ia bawa terus menerus.

***

Gilang berlari dengan terburu-buru menuju ruang osis, mencari satu orang yang pasti akan terkejut atau bahkan marah setelah mengetahui hal ini. Sedangkan Iqbal berlari di belakangnya. Tanpa basa-basi, ia segera masuk ke dalam ruangan osis. Di sana sudah berada Chandra, Dio, dan Sherly. Terlihat Nadhira yang sibuk mencatat sesuatu di meja terpisah.

"Eh sorry, gue kira si Ega ada di sini." Gilang berucap panik. Baru ia ingin menutup pintu ruangan osis, pergerakan nya terhenti karena Chandra menahan pintu yang ingin di tutup.

"Lo kenapa Lang, Bal?"

Gilang melirik Iqbal yang berada di samping nya. Iqbal yang merasa di lirik oleh Gilang menghela napas panjang, menarik tangan Chandra tanpa persetujuan orang nya langsung.

Mereka bertiga berlari terburu-buru menuju satu tempat terakhir yang mereka harap ada Frega di sana. Iqbal berhenti tepat di depan sebuah ruangan yang berwarna hitam, tepat berada di sebelahnya ada sebuah alat fingerprint yang di sediakan untuk Fregilma. Chandra menatap Iqbal dan Gilang bergantian, keningnya berkerut tak mengerti, di tambah lagi tentang ruangan yang baru pertama kali ia lihat.

"Oke, gue tau lo pasti banyak pertanyaan, tapi simpan dulu pertanyaan lo karena ada satu hal yang harus gue, Gilang, dan Frega urus." Mendengar hal itu Chandra berdecak kesal, pandangan yang sebelumnya seolah terheran-heran sekarang berubah dengan pandangan datar.

Pintu terbuka setelah Gilang menempelkan ibu jarinya pada layar monitor kecil. Chandra masuk ke dalam ruangan berwarna putih abu-abu dengan sentuhan sedikit gaya klasik di ruangan yang tidak terlalu besar namun cukup untuk bersantai.

Terlihat Frega sedang membaca buku tebal di pojok ruangan, di balik meja berwarna coklat tua yang terlihat menunjuk kan sisi lain dari seorang Muhammad Frega Ardinanto. Gilang berjalan cepat menghampiri Frega, setelah sampai didepan meja, laki-laki itu menggebrak meja itu kencang membuat Frega menatap Gilang dengan pandangan tajam.

"Kenapa lo gak bilang ke gue kalo lo di usir dari rumah hah?!" Gilang berucap frustasi. Ia menjambak rambutnya kesal.

Chandra yang mendengar itu mengalihkan pandangan dari foto mereka berempat yang terpajang rapih di atas televisi besar yang ada di ruangan itu ke Frega. Matanya membola mendengar ucapan Gilang. Ia menatap Iqbal seolah menanyakan kebenaran dari perkataan Gilang. Iqbal mengangguk dengan tangan yang dilipat di depan dada.

"Emang nya harus gitu?" Menutup buku, Frega beranjak dari tempatnya duduk. Ia melihat Chandra berada di sana. "Siapa yang bawa dia masuk ke dalam sini? Ada yang minta persetujuan gue dulu gitu sebelum bawa orang lain masuk keruangan kita?"

"Gak usah mengalihkan pembicaraan, kenapa lo bisa di keluarin dari rumah?" Tanya Iqbal yang memilih duduk di atas karpet hitam.

"Ini cuma sementara, oke? jadi gue rasa gak perlu kasih tau lo pada." Gilang menatap Frega dengan pandangan sendu. "Apa lo Lang?! Lebay banget sih ini manusia satu!"

"Terus untuk seterusnya lo tinggal dimana ga?" kali ini Chandra ikut bersuara setelah terdiam cukup lama. Mendengar hal itu Frega mengedikkan bahu, "Jadi lo belum punya rencana buat tinggal dimana?"

"Enggak sepenuhnya benar." Frega terdiam, "gue udah berpikir mateng-mateng buat nyewa rumah buat setahun kedepan."

"LO GILA YA!" teriak ketiga sahabatnya itu.

"Ya kok gila sih, gue serius lah! Terus gue harus tinggal dimana lur?"

"Dirumah gue aja si lur, gratis."

"Di rumah gue ada kamar kosong, tenang aja lur."

Chandra mengernyit bingung. "Lur, lur, lur, apaansih!"

"Sedulurrrrr!!” Teriak mereka bertiga membuat Chandra menutup telinganya rapat-rapat.

***

Azahra terduduk di atas kasur sambil menatap ponsel yang menampilkan beberapa pesan yang di kirimkan oleh Tania. Deretan kata yang di ketikan oleh Tania membuatnya tertawa.

From : Raraaa
Lo gak bakalan percaya, dulu jaman SD kak Chandra masih ngedot sampe kelas 3.

Azahra mendengarkan lagu di dalam kamar dengan volume yang cukup besar. Tangan kanan gadis itu mengambil gitar yang tergantung di kamar, tersimpan dengan rapih. Gitar pemberian dari kakaknya Riad, membicarakan Riad, ia jadi rindu pada kakak dan ibu nya yang berada di kampung.

Membuka laptop, ia menekan satu aplikasi yang masih trend sampai saat ini, Skype. Salah satu cara melepas rindu dengan menghubungi Riad yang jauh disana. Rencananya, jika ada dua minggu libur dari sekolah, ia akan tetap pergi walaupun papa nya tidak memberikan izin.

Sekali, duakali, tigakali, empatkali, ia mencoba menyambungkan Skype nya pada Riad, tetap saja tidak tersambung. Ia berdecak pelan, tangan kanan nya menuntup laptop nya dengan kencang. memainkan gitar, Azahra menyanyikan salah satu lagu yang sedang terkenal, baru ia ingin memulai lagu, suara ketukan terdengar beberapa kali.

"Ya, sebentar." Meletakan gitar di atas tempat tidur. Azahra mendekat kearah pintu lalu membuka pintu, menampilkan Bima tengah menatap nya dengan pandangan yang sulit di artikan, seolah semua perasaan sedang mengerubungi hati dari papanya.

"Ayo dek, kebawah ada yang mau ketemu kamu!" Bima menarik tangan nya erat, keluar dari kamar yang masih melantunkan lagu-lagu dengan volume yang sangat keras. Azahra mengikuti langkah kaki papa nya, berlari menuruni tangga dan melihat dua orang yang sejak tadi ia coba hubungi berada di hadapan nya dengan senyum lembut dan senyum jahil.

"MAMA!!!!! BANG RIIAAADD!!"

***

"Gimana ga? ini rumah kesekian yang kita datengin dan gue harap lo enggak bilang 'gue gak suka ah, cari yang lain.' Sekali lagi gue denger kata-kata itu, gue bakalan seret lo kerumah gue." sewot Iqbal yang sibuk menepuk-nepuk tangan nya yang di gigiti nyamuk.

"Gue ambil ini, ada dua kamar tidur satu ruang tamu, dua kamar mandi, sama dapur. Udah cocok ini sih buat gue, parkiran nya juga udah ada." Frega tersenyum senang saat melihat bentuk rumah yang akan ia tempati untuk satu tahun kedepan.

Iqbal tersenyum lebar. "Jadi lo mau pindah kapan?" tanya Iqbal tanpa mengalihkan pandangan.

"Besok, gue bakal libur sehari buat mindahin barang dari rumah ke sini." Terdengar suara helaan napas dari Iqbal, Frega melirik kearah laki-laki yang berada disebelahnya.

"Now what?"

"Nothing..,"

"Yaudah habis dari sini lo tinggal dimana? Lo pulang atau kemana?"

"Yaelah, gue itu laki-laki! Ngapa lo ngeliat gue seolah lemah banget sih."

"Bercanda elah, yaudah gue mau pulang. Rumah gue depan lo tuh, gak lupa ingatan kan lo." Ejek Iqbal membuat Frega berdecak kesal. "Udah dah, gue balik."

Iqbal meninggalkan Frega sendiri di depan rumah yang akan di tempati besok. "WOI! YAELAH, SERIUSAN INI GUE DI TINGGAL GITU AJA!" teriak Frega tidak terima.

"Ayo buruan, dasar anak kecil!"

"Ehehehe, tungguin adek, baaang."

"JIJIK!"

"HAHAHAHAHA."

***

Tania menatap kedua orang tua nya dengan pandangan kesal. Bisa-bisanya, mereka menyuruh kakak nya keluar dari rumah selama setahun, alih-alih hukuman karena kenakalan yang tidak pernah di lakukan. Tania masih menunggu. Kedua orang tuanya masih sibuk berdiskusi tentang apa yang keputusan yang mereka ambil sudah benar atau belum.

Terlalu lama dalam kebisuan, Tania kembali mengeluarkan statment nya. "Kalo abang keluar dari rumah, Tania juga ikut, titik."

Kedua orangtuanya kembali membicarakan dan saling menyalahkan satu sama lain. Seolah perkataan yang Tania lontarkan hanya gretakan yang membuat mereka semakin memperkecil kemungkinan agar Frega tidak hidup mandiri selama setahun. Tania masih setia menunggu keputusan akhir yang akan di ucapkan oleh kedua orang tuanya.

Hingga pintu rumah mereka terbuka dan menampilkan Frega yang terlihat baik-baik saja, seolah hukuman yang akan di jalani oleh nya selama setahun hanya permainan agar ia lebih rajin ke sekolah dan menuruti perintah dari guru-guru. "Assalamualaikum, wah lagi pada ngumpul.. Ega ke atas dulu, mau beres-beres." Suara dinginnya menggema di ruang santai sepi itu.

"Waalaikumssalam..,"

Tania mengerutkan dahinya. Kakak nya itu memang terlihat santai bahkan memberikan mereka senyum seperti biasanya, namun nada saat ia berbicara tersirat rasa sedih yang tidak bisa di sembunyikan, Tania sadar akan hal itu namun tidak dengan kedua orang tua nya.

"Udah ah, kalian diskusi aja terus. Tania mau beresin baju mau ikut abang!"

"Jangan!"

Tania terdiam, pandangan yang tadinya tajam berubah menjadi sendu. "Sayang.., dengerin kata mama dulu, mama sama papa gak bermaksud, Cuma.., kami mau abang kamu berusaha lagi karena abang kamu pasti akan mengurus perusahaan dek."

"Pa! Abang bisa belajar, disetiap libur atau beberapa hari abang bisa libur jangan jadiin alasan mas Gilang salah ngomong buat ngehukum abang!" Suara yang sebelumnya kencang berangsur-angsur mengecil dan berakhir dengan suara tangisan.

Frega yang baru turun dari lantai dua dibuat bungkam. Ia menatap tajam ke arah kedua orang tua nya. Frega tidak suka melihat adik nya menangis, mau siapapun itu yang membuat air mata sang adik turun. Melangkah kan kaki lebar, Frega menghampiri Tania, memutar bangku yang di duduki oleh sang adik agar menghadap ke arah nya. Ia berjongkok tepat di depan sang adik yang masih menunduk dan menutupi wajah menggunakan telapak tangan nya.

Jangan nangis, berhenti dek. Abang gak bisa liat kamu kayak gini. Frega ingin memaki, ia tidak suka jika adiknya menangis tersedu-sedu seperti ini. Walaupun terlihat tidak perduli nyatanya ia perduli, bahkan sangaat perduli.

"Hey, sudah ya jangan nangis lagi, hm?" Frega menjauhkan telapak tangan Tania dari wajah. Frega tersenyum teduh, bukan nya berhenti menangis, air mata yang keluar dari mata indah itu malah semakin banyak. Menarik napas sebanyak-banyak nya, Frega mengusap air mata yang jatuh menggunakan kedua ibu jarinya. "Hey, jangan nangis dong. Masa adik gue nangis sih? Udah ya?"

Tania menggeleng ribut, dengan sesegukkan Tania memeluk Frega erat. Kedua tangan nya terlingkar di leher laki-laki itu, kepalanya bersandar di bahu lebar Frega membuat Tania duduk di lantai. "Abang jang-jangan kemana mana! Di- di rumah ajaaaa." Mendengar itu kedua orang tua yang sedang menatap kedua anak mereka tertampar. "Ka-kalo a-abang pergi Tia ikut pergi ju-juga!"

"Hey, kok gitu? Nanti siapa yang bantu mama masak kalo kamu ikut sama abang hm?" Frega berusaha membujuk sang adik agar tetap tinggal di rumah dan tidak ikut dengan nya ke rumah yang akan ia tempati selama setahun nanti. Bukan Tania saja yang merasa kehilangan, Frega juga pasti merasakan hal yang sama, terlebih anak itu selalu mengikutinya kemanapun ia pergi, pasti sulit. "Ayo ke kamar, abang temenin kamu sampe kamu tidur.."

"ENGGAK!!!"

Ketiga orang dewasa itu terdiam. Tania yang sudah menentukan keputusan memang sulit di tangani. "Tania..., ayo ke kamar, nanti abang kasih tau rahasia yang di ketahui oleh Tania seorang." Tania mendongak, menatap mata Frega dengan air mata yang masih mengalir.

Oh ayolah, liat wajah itu! wajah yang biasanya senyum ngejek gue malah nangis kayak gini, ingusnya kemana-mana lagi. Di dalam hati Frega tertawa, namun raut wajah nya tak menyiratkan kebahagiaan. Tania mengangguk, Frega membantu gadis itu beranjak dari duduk nya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan senyum seperti biasa, walaupun dalam hati ia juga menyesali keputusan kedua orang tua nya.

Sesampainya di kamar, Frega mendudukkan Tania di atas kasur. Ia berjalan menuju meja yang menyimpan tisu, lalu duduk disebelah gadis itu. menarik empat lembar tisu, Frega memberikan dua tisu pada Tania.

"Bersihin dulu ingusnya." Tania membersihkan ingus yang sejak tadi turun dari hidung nya. Setelah mengelap ingus, Tania meletakan tisu tadi di atas meja yang berada di samping Frega. "Nah, merem dulu sebentar." Tania mengikuti perintah dari Frega, ia merasakan tangan Frega dengan telaten mengelap wajah nya dengan pelan dan hati-hati.

"Abang jangan pergi, nanti Tia gak ada teman nya." Frega berhenti mengelap wajah Tania sebentar. "Tia gak mau tau, abang harus tetap di rumah." Tania menatap tajam Frega yang saat ini malah melemparkan senyum lembut pada gadis yang ada di hadapan nya saat ini.

"Iya.., abang usahain."

"Memangnya abang nanti tinggal dimana kalo keluar dari rumah?"

"Nah itu," Frega mendekat, "rumah yang abang tempatin deket sama rumah Iqbal, jadi nanti kamu bisa main kesana sesering mungkin gak apa." setelah membisikan tempat tinggal barunya, Frega menegak kan tubuhnya lagi.

"Udah sekarang anak kecil tidur, udah malem tuh. Udah jam sepuluh malem." Tania mengangguk patuh, membaringkan tubuhnya menghadap di mana Frega duduk.

Frega mengambil boneka beruang yang bisa adiknya peluk. Menyerahkan pada Tania dan langsung dipeluk oleh gadis yang sudah memejamkan mata itu. Menarik selimut menutupi sebagian tubuh Tania, tangan kanan nya mengusap surai hitam itu pelan, perkataannya tentang menemani Tania sampai tertidur tidak pernah bermain-main. Sudah menjadi kebiasaan nya jika Tania menangis ia harus melakukan hal ini, jika dulu sewaktu kecil ia bisa dengan leluasa memeluk sang adik erat, sekarang tidak.

Satu jam berlalu, ia membenarkan letak selimut yang mulai berantakan. Frega menatap sendu wajah Tania, besok pagi pasti adik nya akan mencari nya, lalu menangis lagi. Menarik napas dalam-dalam, Frega bangkit dari tempatnya duduk, mencium kening Tania lalu berjalan hati-hati keluar dari kamar sang adik menuju kamarnya untuk mengambil beberapa baju, gitar, laptop, dan buku-buku pelajaran.

Memang ia tidak perlua membawa banyak barang untuk pindah ke rumah yang akan ia tempati, karena pihak penyedia rumah sudah melengkapi barang-barang di dalam rumah. Menarik koper, ia berjalan sepelan mungkin saat melewati kamar Tania. Di punggung nya terdapat tas yang menyimpan gitar. Diatas kopernya terdapat tas berukuran besar yang berisi buku pelajaran. Ketika ia sampai di ruang tamu, ia melihat semua ruangan gelap. Menghela napas panjang, ia bergumam menyemangati dirinya sendiri.

"Frega berangkat Ma, Pa."

****

Apa ada yang sadar kalau gua ngetik nama "Tania" jadi "Tiara" ?
gua  baru sadarr doongg xD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top