9. Aku-Kamu

"Far..."

"Apa?!"

Dewa mengerling sekilas. Semakin hari kegalakan Fara semakin tak terbendung kepadanya.

Jelas ini ada apa-apanya.

"Kita ke apartemen aku dulu ya," tanpa basa-basi Dewa langsung mengajak Fara.

"Hah, mau ngapain?" tanya Fara bingung. Seingatnya, keperluan Dewa sudah dipindahkan semua dari apartemen karena tempat itu sedang ingin disewakan. Kini di sana hanya ada furnitur-furnitur besar sebagai fasilitas bagi calon penyewa apartemen mereka.

"Ngomong."

Mumpung belum ada yang menyewa tempat tinggal selama melajang tersebut, Dewa berinisiatif untuk memakainya sebagai tempat berdiskusi dengan Fara.

Setelah itu Dewa tak bicara. Ia mengendarai mobilnya dengan cepat. Fara pun diam, mencoba menyusun kegundahannya agar dapat disampaikan saat bicara nanti dengan suami alias sahabatnya itu.

***

"Mau ngomong apa sih, sampe harus ke sini?" tanya Fara. Padahal dalam hati ia bersyukur sekali karena bisa memiliki momen ini.

Dewa memperhatikan lekat-lekat istrinya yang tengah berdiri sambil mengadah angkuh. Keangkuhan yang dibuat-buat dan sangat tidak merepresentasikan sifat asli perempuan itu membuat Dewa merasa geli dan gemas dalam waktu yang bersamaan. Ia pun memilih menahan senyum sambil mendudukkan dirinya di tepi sofa sementara membiarkan Fara berdiri di dekat jendela.

"What's bothering you?" Dewa bicara sambil melepas dua kancing teratas kemejanya, lalu menopang tangan di tepian sofa tempatnya duduk.

Fara mendesah. Saat ini mereka berada di dalam apartemen yang cukup luas, tenang dan jauh dari kesibukan. Suasana yang cukup nyaman di dalam ruangan itu seharusnya mendukung Fara untuk mengungkapkan isi hatinya.

Banyak kegalauan yang menumpuk dan ia butuh bertukar pikiran dengan Dewa. Tapi hal itu sulit dilakukan dalam rutinitas sehari-hari mereka.

Fara tidak bisa menyelipkan pembicaraan ini dalam kesibukan pagi, ia pun selalu sulit menyela Dewa yang sibuk dengan panggilan telepon selama perjalanan berangkat dan pulang dari kantor. Setelah tiba di rumah, yang ada tinggal lelah dan Fara tak punya cukup tenaga untuk mendiskusikan topik seserius ini.

"Gue..." Aneh. Bahkan setelah mereka memiliki waktu untuk bicara, Fara masih seperti kebingungan. Entah kenapa saat ini ia gugup setengah mati. Berduaan dengan Dewa tidak pernah terasa secanggung sekarang.

Fara baru menyadari bahwa perhatian-perhatian Dewa selama lima tahun terakhir lebih besar dari dugaannya ketika melihat bagaimana kegiatan sehari-hari pria itu.

Dewa selalu bangun sejak pukul lima pagi. Ia berolah raga, mencicil pekerjaannya, bersiap-siap, lalu menyetir ke kantor. Setelah pulang, Dewa masih bisa bersemedi di ruang kerja karena masih ada laporan yang harus ia cicil ataupun strategi marketing yang harus disusun.

Di luar itu semua, Dewa masih memiliki kapasitas untuk memperhatikan Fara dan keluarganya.

Semakin Fara menydari hal itu, ia pun semakin tak nyaman. Ia merasa melihat sisi lain Dewa yang jauh lebih asing dan membingungkan dari yang pernah ia ketahui.

"Far... what's going on?" tanya Dewa lagi ketika menyadari bahwa Fara kembali larut dalam pikirannya.

Pria itu tampak begitu matang dan berwibawa. Meskipun sama tenangnya dengan saat kuliah dulu, kharisma Dewa di usia 30an ini semakin menjadi.

Fara tak pernah merasa gugup menghadapi Dewa sebelumnya. Tapi sekarang, berduaan saja dengan pria itu membuat jantungnya berdebar tak keruan.

Dewa memilih menunggu Fara bersuara meskipun hatinya cukup gelisah. Memendam perasaan dan pendapat adalah kebiasaannya. Kini mereka seperti bertukar posisi dan Dewa tak menyukai perubahan ini.

"Farasya..." pinta Dewa sekali lagi. Fara tahu laki-laki itu sudah mulai serius tiap memanggilnya demikian. Ia pun menarik nafas panjang.

"Gue bingung sama lo. Apa coba untungnya buat lo nikah sama gue?" tanya Fara.

Dewa mengernyit. Itukah yang mengganjal Fara selama dua minggu ke belakang?

"Lo nggak pernah nuntut gue untuk ngelaksanain kewajiban gue... buat ngelayanin lo. Bahkan sejak malam pertama kita nikah, lo sengaja tidur duluan biar gue nggak bingung ngehadepin lo. Iya kan?!" Fara mulai mengutarakan semuanya. Dadanya naik-turun saat ia mengutarakan hal pertama yang membuatnya begitu tak nyaman.

Di malam pertama setelah mereka menikah, Fara menghabiskan waktu yang cukup panjang di dalam kamar mandi. Ia sibuk menata hati, mempersiapkan diri untuk menghadapi suami barunya.

Tapi betapa terkejutnya ia ketika mendapati Dewa yang sudah berpakaian rumah tertidur di tepi ranjang. Dewa meringkuk, memberi sisa ranjang yang cukup luas untuk Fara tiduri.

"Ya ampun..." Dewa menekan-nekan pangkal hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk. Sudah dua minggu mereka menikah dan Fara menyimpan kegelisahannya bahkan sejak malam pertama.

Fara memang tidak pernah terbiasa menyimpan perasaannya sendiri. Tapi mungkin hubungannya dengan Dewa yang berubah begitu cepat membuatnya bingung untuk bahkan sekadar mengajak bicara baik-baik. Kini semuanya tumpah dalam luapan emosi.

"Lo berusaha ngertiin gue sampe ditahap di mana gue muak tau nggak?! Emang gue serapuh itu ya di mata lo, sampe harus lo nikahin dan lo jagain nyaris 24 jam?? Wa, you're missing a lot of big things out there, dan itu karena gue! Kenapa? Kenapa lo ngelakuin ini semua?!"

Mungkin Dewa tidak tahu satu hal, tapi Fara benci menjadi beban bagi orang lain. Karena itulah ia tetap bekerja meskipun Om-nya sudah sempat menawarkan untuk membantu perekonomiannya.

Bersama Dewa selama dua minggu ini membuat Fara merasa seperti pecundang. Seolah dirinya tidak memiliki kemampuan dan begitu lemah. Perempuan itu tak bisa berhenti berpikir bahwa dirinya adalah benalu di hidup Dewa.

Dewa mendesah panjang sambil menatap Fara yang masih diselimuti emosi.

"Hmm... kenapa? Karena aku bisa terus sama-sama dengan orang yang bikin aku nyaman mungkin?" jawab Dewa tenang sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

"Hah?" Fara bingung dengan jawaban sederhana yang dilontarkan Dewa.

"Kamu nggak pernah mikir kalo kamu udah bikin aku nyaman? To the point where no one could make me feel that way?" Dewa menatap Fara tajam.

"Gue..." Fara semakin merasa kikuk karena Dewa terus menggunakan panggilan "aku-kamu", membuat hubungan mereka terlihat semakin nyata. Dewa terkekeh pelan.

"Kamu nggak berhenti panik, sewot... kayak baru kenal aku sehari dua hari sih, Far?" tanya Dewa. Ia menaikkan satu alisnya.

Dewa saat ini terlihat begitu dewasa dan penuh kharisma dan Fara seperti dilahap kagum menatap sosok di hadapannya itu.

"Emang kayak baru kenal sih rasanya, Wa..." ucap Fara dalam hati sambil memperhatikan bahwa garis-garis kedewasaan di wajah Dewa hanya menambah pesona ketampanannya. Istilah 'semakin tua semakin jadi' memang pantas diemban laki-laki itu.

Dulu mana pernah Fara memperhatikan detail fisik Dewa seperti yang ia lakukan akhir-akhir ini?!

Dewa melihat Fara membuang pandangan ke arah jendela apartemen. Istrinya terlihat gugup di tepi jendela tersebut. Ia yang tadinya memberi jarak dengan bersandar di sofa pun melangkah mendekat.

"Terus kamu nggak berhenti marah-marah sama aku sejak kita nikah karena apa? Karena mikir aku lagi berkorban buat kamu? Aku nggak sesuci itu," Dewa kembali terkekeh.

Tidak biasanya Fara menyimpan perasaannya selama ini, apalagi kepada Dewa. Status sebagai suami-istri ini pasti telah sangat membingungkan bagi perempuan itu.

Fara menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan, berusaha menyadarkan diri. Ini adalah kesempatan bicara yang ia tunggu, ia harus memanfaatkannya.

"Wa, lo normal kan? Lo kenapa nggak nikah sama cewek yang lebih mampu memenuhi semua kebutuhan lo, Wa?! Kenapa malah nikah sama janda berbuntut yang fisiknya udah nggak sekenceng cewek-cewek di kantor lo?!" tanpa ragu Fara memuntahkan uneg-unegnya lagi.

Mumpung tidak ada Nara di sana, Fara bicara tanpa harus sibuk menata kata-katanya agar terdengar sopan dan baik.

Baginya, teman-teman perempuan Dewa di kantor itu luar biasa. Mereka lebih mampu mengimbangi suaminya itu dibanding dia. Dewa pasti dapat merasakan petualangan berumah tangga yang lebih menarik dengan perempuan-perempuan muda itu.

Dewa maju selangkah lagi sehingga kini ia nyaris tak berjarak dengan sang istri. Dibelainya rambut panjang Fara yang terurai, membuat perempuan itu tak bisa bergerak.

"Karena janda berbuntut ini yang udah ngerubah hidup aku sampai aku bisa kayak sekarang..." Dewa menarik beberapa lembar rambut Fara yang ia belai tadi menuju bibirnya. Ia menutup mata, menikmati aroma mint segar dari shampo yang Fara pakai pagi itu.

"Wa? Lo... selama in-"

"Oh iya. Aku mau mulai sekarang nggak ada lagi lo-gue. Biasain panggil aku-kamu, even saat nggak di deket Nara," Dewa memotong pertanyaan penuh keraguan yang bahkan belum rampung dirumuskan oleh Fara tadi.

"Kenapa?" Fara pun langsung melupakan rasa penasarannya akan pernyataan Dewa tentang arti dirinya bagi hidup laki-laki itu.

"Kemarin saking keselnya kamu karena urusan jemuran, kamu negur aku sampe lo-gue-an di depan Nara. Aku mau kita terbiasa pakai panggilan sopan... dan sebisa mungkin nggak berantem di hadapan Nara," kata Dewa tegas.

Dewa jarang bicara panjang. Karena itu Fara tahu bahwa saat ini Dewa sedang sangat serius pada tiap katanya.

"Wa..." lidah Fara kelu.

"Pernikahan ini idenya Nara. Kalo kita berantem, dia bakal nyalahin dirinya sendiri. Aku nggak mau..."

Fara merasa tertampar. Seharusnya dirinya lah yang memikirkan itu semua. Ia adalah ibu kandung Nara, dirinya lah yang seharusnya lebih peka terhadap apa yang terbaik bagi Nara.

Rasa peduli Dewa kepada anaknya saat itu begitu menyentuh hati Fara, membuat desiran di dadanya terasa semakin kuat.

"Sejak kapan sih..."

"Hm? Sejak kapan apa?"

"Kamu jadi sedewasa ini?" Fara memiringkan kepalanya sambil mengadah menatap Dewa. Ia tersenyum penuh kekaguman.

Dewa memang masih seperti dulu. Diam, tapi penuh kejutan.

"... Sejak ada yang ngatain aku bau tanah mungkin."

Keduanya tertawa mengingat omelan Fara pada Dewa sebelum menikah dulu. Selang beberapa saat, tawa mereka reda. Mereka kemudian saling menatap.

"Jangan takut sama aku, Far... apalagi segan. Please?" ucap Dewa lembut. Ia menunggu sambil menatap perempuan di hadapannya menjawab pertanyaan itu.

Fara tersenyum dan mengangguk. Anggukan itu membuat Dewa sangat lega.

"Sekarang, pulang yuk? Nara sama ibu pasti udah nunggu di rumah," kata Dewa.

"Yuk," balas Fara.

Dewa dan Fara saling melempar senyum sambil berjalan ke arah pintu.

Dengan luwes Dewa menawarkan tangannya untuk digenggam.

Tapi tiba-tiba dalam hatinya muncul sebongkah perasaan yang membuatnya tak bisa berhenti tersenyum ketika Fara tak hanya menerima tangannya untuk digenggam, tapi dengan lembut bergelayut di lengannya.

Lembut, sekilas, nyaris tak terasa. Hanya belaian singkat kepala dan bahu Fara di lengannya. Tapi hati Dewa dibuat hangat semalaman karena sentuhan itu.

***

Selamat gelayutan wahai para pembaca~~ semoga sabar dan setia menunggu lanjutan cerita Fara dan Dewa~~

See you on the next chapter ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top