7. Dari Teman Jurusan Ke Teman Hidup

[Fara Dan Dewa; Semester Pertama Kuliah]

Suasana di kelas G 201 saat itu cukup tertib dengan para mahasiswa baru yang masih penuh semangat mengikuti mata kuliah dasar-dasar antropologi.

Metode perkuliahan sedikit berbeda dengan sistem belajar mengajar ala SMA. Di sana, dengan apik dosen membimbing satu kelas ke dalam tujuh kelompok yang masing-masing beranggotakan empat atau lima orang. Mereka disuruh berdiskusi tentang topik tertentu dan mempresentasikan hasil diskusi mereka di depan kelas.

Di sanalah Fara dan Dewa saling menyadari keberadaan masing-masing. Tepatnya di kelompok lima yang membahas Akulturasi dan Asimilasi.

Ketika kelompok mereka selesai melakukan presentasi, diskusi dan tanya jawab pun dimulai.

"Kalau contoh kasusnya keluarga, ketika sepasang suami-istri berumah tangga, proses apa yang akan mereka lalui? Akulturasi atau asimilasi?" tanya seorang mahasiswa.

"Hm? Pertanyaan yang menarik. Coba dijawab, kelompok lima."

Fara, Dewa dan teman-teman sekelompoknya berembuk sejenak.

"Gimana?" tanya Fara.

"Tergantung," jawab Dewa cepat sambil menaikkan bahu. Jawaban tanpa jalan keluar ini langsung diabaikan anggota lain.

Mereka memutuskan menjawab dengan jawaban asimilasi, karena dalam rumah tangga, budaya suami dan istri melebur menjadi budaya baru.

"Sebenarnya sih tergantung ya," klarifikasi dari dosen itu membelalakkan mata Fara. Ia langsung menoleh ke arah Dewa yang menutup mulutnya karena sedang menguap.

"Tergantung apa, Pak?" tanya Fara.

"Macam-macam. Katakanlah ini pasangan beda suku, ya bisa terjadi asimilasi. Tapi kalau misalnya mereka sama-sama orang Batak? Secara kultur kan sudah sama. Nah, suami istri ini pindah ke Jakarta misalnya, bisa terjadi lah akulturasi. Begitu kira-kira..." jawab Pak Dosen.

Fara kembali melirik Dewa. Laki-laki itu tersenyum. Dalam sekejap ia tahu bahwa teman kelompok dengan pendapat paling irit itu sepaham dengan sang dosen.

Fara pun tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia langsung mengajak Dewa bicara setelah kelas usai.

"Wa," kata Fara menahan Dewa.

"Hah?" jawab Dewa malas.

"Kenapa lo nggak ngedebat gue dan anak-anak sih tadi?"

"Males ah, anak-anak juga udah pada sepakat."

"Ya nggak bisa gitu dong, Wa. Percuma lo pinter kalo nggak speak up."

Kesewotan Fara mengundang senyum di wajah Dewa.

"Lo nggak suka banget kalah ya?" tanya Dewa penasaran.

"Bukan nggak suka kalah. Tapi kan lo bener, ya pertahanin dong," kata Fara.

Fara tidak suka pada orang yang suka menahan diri dan menyimpan ilmu sendiri. Tapi Dewa menatapnya dan menjawab ucapannya dengan tegas,

"Gue nggak yakin gue bener. Ini tuh ilmu sosial, bukan ilmu pasti. Makanya kita diskusi. Udah deh, nggak usah terlalu dipikirin. We learn something today, itu yang penting."

***

[Fara Dan Dewa; Saat ini]

Fara teringat ketika pertama kali ia dan Dewa dekat. Sejak percakapan setelah kelas dasar-dasar antropologi itu, Fara menjadi lebih aktif mengajak Dewa bertukar pikiran.

Hanya Fara yang menganggap Dewa serius dan memancing pendapat-pendapat Dewa yang ternyata sangat kritis dan membuka wawasan. Perempuan itu memang selalu ingin penjelasan dan diskusi, sedangkan Dewa selalu diam menahan semua pemikirannya sendiri.

Mereka saling mengisi dalam tiap kegiatan kelompok. Fara menjadi mulut Dewa sedangkan Dewa memperluas perspektif Fara.

Fara yang sering berpikir terlalu kusut diajak Dewa untuk menyederhanakan pemikirannya sedangkan Dewa yang malas berkomunikasi dilatih Fara untuk berbagi pendapat.

Karena itulah Fara dan Dewa terkenal di jurusan mereka sebagai pasangan jurusan yang serasi. Mereka pasti sekelompok dalam tugas apapun. Tak terpisahkan setidaknya selama tiga tahun masa perkuliahan mereka dulu.

Tapi siapa sangka mereka bisa mencapai tahap ini?

"Saya terima nikah dan kawinnya Farasya Kemala Dewi Binti Ikhwan Adiguna dengan mas kawin tersebut, tunai."

Dengan tenang namun tegas, ucapan itu mengalir dari bibir Dewa sambil menjabat tangan Om Irwan, adik almarhum Bapak Fara.

Tak lama, pernikahan itu dinyatakan sah. Fara menengok, menatap sosok suami baru yang duduk di sebelahnya. Bahkan sampai sekarang ia masih tak percaya bahwa ia sudah menikah lagi.

***

Resepsi pernikahan kedua Fara berjalan sederhana. Di rumah mereka, dengan mengundang tetangga dan kerabat dekat saja. Tentu saja dewan direksi perusahaan Fara datang dan ikut berbahagia dengan pernikahan itu. Begitu pula geng makan siang dan perkumpulan sekertaris direksi.

Wajah Dewa begitu ramah menyapa tamu yang datang. Dari pihaknya, hanya ada beberapa kerabat dan rekan kerja yang merupakan belasan brand marketing yang menjadi anak buah di perusahaannya. Saat itu juga sang pengantin pria mengenalkan Fara pada semua kerabatnya.

Fara betul-betul heran. Dewa sebetulnya dikelilingi perempuan-perempuan karir yang cantik dan berkualitas. Belum lagi beberapa perempuan yang menjabat sebagai brand marketing itu berusia jauh lebih muda dari Fara.

Dari semua perempuan itu, tidak adakah yang mampu membuat Dewa tertarik?

"Temen-temen cewek lo cantik-cantik deh," bisik Fara setelah mereka kembali duduk berdua di pelaminan. Dewa langsung menengok ke arah Fara.

"Masih kalah sama lo," jawab Dewa begitu saja.

Begitu saja, tapi mampu membuat degupan aneh di dada Fara.

Perempuan itu menatap sahabat yang kini telah menjadi suaminya. Ia menarik nafas panjang.

Entah bagaimana ia harus menghadapi Dewa setelah resepsi ini selesai...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top