5. Debat Dua Sahabat
"Tuh, Bu! Om Dewa udah setuju... ibu juga setuju kan??" tanya Nara dengan penuh semangat.
"Tunggu dulu ya, Narasya... biar nanti ibu omongin dulu sama Om Dewa," elak Fara gugup. Ia segera meraih gelasnya dan buru-buru minum.
"Omongin apa lagi? Kan Om Dewa udah setuju, ibu juga pernah bilang kalo ibu sayang sama Om Dewa kan?" Desak Nara dengan polos. Mendengar ucapan yang satu itu, Fara spontan tersedak sementara Dewa dan Bu Farida hanya bisa menahan tawa.
"Ohh... jadi ibunya Nara sayang sama Om Dewa," kata Dewa sambil mengangguk-angguk. Fara memelototi pria yang tengah menggodanya itu.
"Ibu dan Om Dewa ngomong dulu ya nanti..." ucap Fara menegaskan keinginannya.
Nara langsung menunduk, berusaha menahan kekecewaannya. Tapi raut sedih anak itu terpampang jelas, membuat sedikit ngilu di dada Fara.
"Nara..." Bu Farida yang berada di sebelah Nara menggenggam lembut tangan anak itu, "biarin ibu bicara sama Om Dewa ya? Pernikahan itu harus dibicarakan baik-baik."
Nara perlahan mengadah, menatap eyangnya. Tapi tatapan mata Bu Farida berpindah ke arah putrinya.
"Ibu-nya Nara pasti akan memutuskan yang terbaik untuk dirinya dan keluargnya. Iya kan, Far?" kata Bu Farida.
Tenggorokan Fara terasa kebas. Saat itu juga nafsu makannya hilang meskipun rawon nikmat buatan ibunya masih tersaji hangat di atas meja makan.
***
"Heh!" seru Fara sambil bertolak pinggang.
"Hah?" jawab Dewa tak acuh.
"Jangan hah-heh-hah-heh aja deh, Wa!"
"Lah kok gue?! Kan lo duluan yang ngajak."
Fara menggosok wajahnya dengan frustasi. Sedang kesal begini, Dewa malah memancing seluruh emosinya keluar.
Kali ini mereka berada di ruang tamu. Rumah Fara terbilang cukup minimalis. Ruang tamu dan ruang makan bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh penyekat ruangan minimalis berwarna hitam dan bermotif dedaunan besar.
Nara sedang bersama Bu Farida di kamarnya di lantai dua meskipun kamar ibu paruh baya itu sendiri berada di lantai satu, sebelah kamar mandi bawah.
Tapi sesuai ucapan Fara, Bu Farida dan Nara langsung memberikan kedua sahabat itu waktu untuk bicara.
"Kenapa lo seenaknya ngomong gitu sama Nara?!" tanya Fara. Ia mulai curiga bahwa Dewa memang selalu berusaha memancing emosinya keluar. Tiap bicara pada Dewa, perempuan itu selali seperti ingin mengamuk.
"Ngomong apaan?"
"Don't play dumb, Wa. Nara itu serius... lo tahu kan segimana nge-fans-nya anak gue sama lo?!" tanya Fara sambil memelotot. Dewa hanya menjawab dengan memiringkan kepalanya, tanda tak yakin.
"Dia udah jutaan kali ngedesak gue buat nikah sama lo. Dengan lo ngomong kayak tadi, harapan dia supaya kita nikah tuh makin tinggi. Tega lo giniin anak gue!"
"Tega apaan sih?? Ya udah tinggal nikah susah amat?"
"Tuh, gaya lo itu tuh yang bikin lo jomblo seumur hidup ..."
"Siapa yang jomblo seumur hidup?"
"Lo!"
"Lah, kan gue mau nikah sama lo."
"Dewa!" mata Fara rasanya telah membesar sampai ke batas maksimal.
"Gue serius, Farasya Kemala Dewi. Let's just get married," kata Dewa mencoba meyakinkan sahabatnya itu.
"Ampun deh, Wa... lo nggak bisa ngajak orang nikah kayak ngajak orang nongkrong gitu," ucap Fara lemah. Ia duduk di sofa empuk ruang tamu sambil mengusap-usap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Satu hal yang ia tahu dengan menjadi dewasa adalah, keputusannya tidak hanya berpengaruh bagi dirinya sendiri. Ia mungkin bisa mengabaikan orang lain yang mendesaknya menikah, tapi ia tidak mungkin mengelak dari desakan keluarganya.
Apalagi dengan cara yang Nara pakai tadi. Tidak menikah dengan Dewa menjadi tidak semudah karena, "Fara tidak mau."
Ia tahu bahwa Dewa sudah berperan seperti ayah bagi Nara. Pria itu juga luar biasa baik dan sopan pada Bu Farida. Ditambah dengan kebiasaan mengantar-jemput Fara, yang kurang dalam hubungan mereka memang hanya status resmi sebagai suami-istri.
Tapi Dewa adalah sahabatnya. Menjadikan Dewa suami hanya memperumit perasaan Fara...
"Don't think too much..." suara Dewa terdengar dekat. Fara menengok dan laki-laki itu ternyata sudah di sebelahnya.
"Menikah itu seumur hidup. Selamanya lo cuma bisa sama gue, dan gue sama lo..."
"Gue tahu..."
"Kita tuh sahabat, Wa..."
"Exactly why I want to do this. Lo udah jadi bagian dari hidup gue sekarang."
Fara masih terlihat ragu sehingga Dewa mencoba bicara lebih panjang, "Gue sayang sama keluarga lo. Habis ortu gue nggak ada, keluarga lo udah jadi orang terdekat gue, keluarga gue. Kenapa nggak diresmiin sekalian?"
Fara menarik nafas panjang. Masih ada yang begitu mengganjal di hatinya.
"Kita harus tinggal bareng, sekamar bareng... it's gonna be super weird, isn't it?"
"Ya anggep aja kayak house-mate. Kayak nge-kost bareng."
"Nggak bakal se-simple itu Dewa... nggak bakal," Fara seperti sedang meyakinkan sahabatnya bahwa yang sedang mereka bicarakan adalah hal besar karena pria itu terlihat begitu menggampangkan omongan tentang pernikahan ini.
"Fine. Let's say you're right. I'm still gonna say I want to marry you. It doesn't feel wrong to me. That's it."
Fara terdiam dan menelan ludahnya. Dewa mengamati perempuan itu baik-baik.
"I need more time to think about it," kata Fara lemah.
"Do what you want, Far."
"Nggak bisa, Dewa. Being adult means every decision we made will affect people we care. It's no longer personal decision..."
"Make it personal. Lo yang bakal nikah, lo nggak bisa nyalahin orang lain ketika lo nggak suka sama pernikahan itu," ucap Dewa cepat.
Satu hal yang dapat membuat Pria itu mengimbangi Fara adalah kemampuannya untuk tegas dan berpikir cepat. Hal itu sering membantu Fara yang cenderung suka berlarut-larut dalam pikirannya.
Dewa menangkup wajah Fara dan mengangkatnya agar mereka dapat bertatapan.
"Lo make sure dulu sama apa yang lo mau. Setelah itu bakal gue dukung apapun keputusan lo," ucap Dewa lagi, kali ini sambil tersenyum.
Saat itu Fara merasakan desiran aneh di dadanya, tepat melihat senyuman Dewa.
***
Part ini di edit karena ternyata pernah bikin draft-nya dan ada beberapa percakapan yg lebih gemay (menurutku pribadi).
Secara substansi nggak ada yang berubah kok.
Maapin authornya galau yah, masih ngulik-ngulik ceritanya. Happy reading ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top