42. Pertengkaran Besar

Dewa melihat resah Fara di tengah perjalanan mereka menuju apartemen.

Pulang dari mall tadi, tiba-tiba saja sikap Fara berubah. Menjaga jarak, terlalu sopan dan mengajak Dewa ke apartemen untuk pembicaraan serius setelah Nara tidur nanti.

Kenapa harus di apartemen? Kenapa tidak di kamar? Kalau memang ingin beradu pendapat, tiap malam juga mereka selaku beradu pendapat bukan?

Tapi tak satupun keingintahuan itu Dewa lontarkan karena Fara terlihat sangat kaku dan serius.

Sesampainya di apartemen, Fara langsung duduk di sofa dan menatap tegas suaminya. Dewa pun duduk di sebelahnya.

"Kamu kenapa, Far?" tanya Dewa khawatir.

"Aku tadi ngobrol-ngobrom sama Arini dan dia ngasih tau aku satu hal yang aku rasa kamu perlu tahu."

"Apa?"

"Dia minta cerai bukan karena nggak bisa punya anak sama kamu, tapi karena kamu pernah manggil dia 'Far' waktu..." Fara menatap Dewa, berharap pria itu paham sehingga ia tak perlu menyelesaikan ucapannya.

Dewa termangu beberapa saat. Ia lalu memejamkan matanya erat dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Ya ampun... dia nggak pernah bilang kalo dia terganggu soal itu..." kata Dewa penuh penyesalan.

"Nggak mungkin lah, Wa. Kamu aja waktu itu sampe kabur ke sofa," balas Fara ketus.

"I know, it sucks... but we talked about that. Dia terlihat baik-baik aja waktu aku minta maaf jadi aku nggak..." Dewa tidak melanjutkan ucapannya. Apapun lanjutan kalimat itu membuatnya merasa seperti seorang yang brengsek.

Dewa baru menyadari bahwa keheningan Fara membuatnya tak nyaman.

"Nanti aku ngomong sama Arini ya? Aku bakal minta maaf lagi sama dia," kata Dewa sambil menggenggam tangan Fara. Tapi perempuan itu malah tertawa sinis tanpa menatap Dewa balik.

"Aku nggak peduli soal itu, Wa."

Dewa lalu menatap Fara bingung, apalagi perempuan itu masih tetap tak ingin menatapnya.

"Terus... kamu kenapa, Far?"

Fara akhirnya mengalihkan pandangannya dan menatap Dewa. Tatapan itu sangat berat dan membuat perasaan Dewa tak keruan.

"Wa, kamu sama Arini tuh nikah kapan sih? Sebelas? Atau dua belas tahun lalu?"

Dewa tidak merasa perlu menjawabnya dan Fara memang tidak membutuhkan jawaban.

"Waktu itu kita nggak pernah berhubungan karena kamu mutusin kontak kita dulu. Kita baru ketemu lagi setelah Rai meninggal lima setengah tahun lalu... jadi aku bingung, how could you possibly call my name that time??"

Dewa kini memahami keseriusan sikap Fara. Ia menelan ludah dengan berat. Dalam hati, pria itu belum pernah segugup seperti sekarang.

"Apa bener... kamu cinta aku sejak kuliah dulu?" tanya Fara.

Dewa terlihat terpukul. Ekspresi itu cukup menjawab pertanyaan Fara. Emosi perempuan itu langsung tak terkendali. Ia melempar tubuhnya ke belakang, menarik nafas kuat-kuat, dan berdiri resah.

Ia bahkan tak sanggup menenangkan diri saat ini.

"Really, Wa?! Sejak dulu?! Sejak aku masih sama Rai?!" seru Fara.

"Far, tenang dulu..." Dewa berdiri dan berusaha merangkul Fara, tapi perempuan itu menghindar.

"Jadi itu sebabnya kamu dulu sampe nyaris mati, nggak sadar berhari-hari?! Karena perasaan itu?!" seru Fara lagi.

Mengingat kembali kejadian itu dengan kenyataan yang baru ini membuat jantungnya berdentum kacau.

"Bukan gitu-" Dewa mulai berusaha memberi penjelasan, tapi Fara begitu meledak-ledak.

"Terus kenapa?!" Fara memotong ucapan Dewa dengan pertanyaan yang meluapkan seluruh emosinya saat itu.

Begitu banyak yang tengah Fara rasakan. Terkejut, tak menyangka, bahkan sampai merssa dikhianati. Semua membuat apapun yang keluar dari mulut Dewa terdengar salah.

Dewa tidak menjawab. Ia tahu semua percuma. Fara tidak terima dengan kenyataan bahwa Dewa mencintainya sejak lima belas tahun lalu dan pria itu tak tahu harus berbuat apa.

"Kita deket, Wa... kita sahabatan bertiga. Bisa-bisanya kamu mendem perasaan kayak gitu ke aku sambil ngaku sahabat sama Rai!" ucap Fara. Ada tatapan jijik dari mata perempuan itu yang ditangkap sempurna oleh Dewa. Hal itu menampar harga diri pria itu.

"Sahabat... santunan kali maksud kamu..." Dewa menatap sinis, "jangan kalian pikir aku nggak tahu bahwa kalian nemenin aku cuma biar kalian bisa ngerasa bahwa diri kalian orang baik."

"Ap-"

"Admit it, you became my friend cause it felt like charity," Dewa menyeringai sinis.

"Kita temenan sama kamu karena kita sayang sama kamu!" bentak Fara tak terima.

"Emang cuma beda tipis sih sayang sama kasihan..."

"Kamu ngalihin pembicaraan ini dari topik utamanya," ucap Fara dingin. Ia tidak rela menjadi pihak yang disalahkan saat ini.

Tidak rela...

"Fine! Aku cinta kamu sejak dulu, okay?!"

Fara membenamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya.

"Rai udah peringatin aku... aku malah masih aja main api, temenan sama cowok yang mau ngerebut aku dari dia!"

Semua ucapan Fara membuat Dewa naik darah. Perempuan itu tidak tahu apa-apa. Ia tak tahu apapun tentang Dewa dan Rai, lalu seenaknya menuduh Dewa dengan tuduhan yang begitu menjijikkan.

"Sok tahu kamu! Kamu baru tahu beberapa jam lalu tentang perasaan aku dan kamu udah bangun imajinasi sendiri di kepala kamu tentang gimana aku waktu itu!"

"Yang jelas kamu nggak ngejauh, Wa"

"Kalian yang bersikeras ngedeketin aku kan?! Kalian yang egois, mau ngerasa jadi orang baik! Tapi endingnya sama aja, kamu nge-judge aku kayak orang lain nge-judge anak nggak punya Bapak-Ibu kayak aku!!"

"Kamu bisa bilang ke aku tentang perasaan kamu!"

Air mata Dewa mengambang. Ia menatap Fara dan bertanya dengan lemah, "How?"

"In what way should I told you that?" tatapan penuh permohonan telah Dewa lontarkan saat ini. Ia benci bertengkar dengan Fara. Hatinya sakit saat ini, menahan segenap keinginan untuk memeluk Fara sambil memohon supaya mereka kembali baik-baik saja.

"Seenggaknya caranya nggak begini. Begitu ada celah, kamu langsung ngerebut aku dari Rai," Fara kembali menyerang Dewa dengan tuduhan tak beralasan.

"Segitu doang aku di mata kamu, Far??"

"Ya habis harus mikir gimana dong?! Aku pikir hubungan kita baru dimulai saat ini! Bukan sejak dulu... bukan saat Rai ada!"

"So what?! Kamu pikir kita lagi having affair dibelakang Rai?! Far, Rai itu udah nggak ada!"

Plak!

Ada rasa panas di pipi Dewa setelah Fara menamparnya. Lidahnya langsung kelu melihat tatapan tajam Fara. Air mata perempuan itu sudah mengalir, tapi ia tidak sedikitpun tersedu, apalagi meraung.

Fara hanya menatap Dewa dengan segenap kebencian yang ada. Saat itu Dewa tahu bahwa dia sudah keterlaluan.

***

[15 Tahun Lalu]

"Wa, pinjem kunci dong gue nungguin lo ama Fara di kost-an aja," Rai mengadahkan tangannya ke arah Dewa. Siang itu baik Fara dan Dewa harus mengerjakan tugas kelompok mereka bersama teman-teman lainnya karena tugas tersebt sudah harus dikumpulkan saat sore.

Sebagai kekasih yang baik, Rai menunggu Fara agar dapat pulang bersama sore nanti.

Dari skenario itu, mana terpikir ada seorang korban penodongan kunci bernama Dewa?

"Keenakan banget sih jadinya di tempat gue," kata Dewa kesal. Tapi ia tetap merogoh ke dalam tas-nya.

"Ya kan lumayan, jalan dikit seberang kampus udah adem. Daripada di sini gue nungguin, nggak bisa tiduran," kata Rai.

Dewa menggelengkan kepalanya dan memberikan kunci itu pada Rai.

Jarak dari kampus menuju kost-an Dewa sebenarnya tidak begitu dekat. Biasanya mereka membutuhkan waktu 10 menit berjalan kaki untuk sampai ke sana. Meskipun begitu Rai dan Fara tetap senang menongkrong di kost-an Dewa yang sudah begitu nyaman. Mereka bahkan sering menumpang tidur siang di sana.

Rai hanya tidak suka dengan suasana dekat kost-an Dewa. Untuk dapat ke sana, Rai harus menelusuri beberapa gang kecil yang cukup sepi. Banyak orang-orang bergaya berandalan lewat di sekitar sana. Bahkan Rai memperhatikan jarang sekali ada anak-anak bermain di sana.

Belum lagi markas para berandalan itu benar-benar berada di ujung gang kost-an Dewa yang mau tak mau harus dilewati jika bolak-balik ke kampus dan kost-an.

Suasana itulah yang membuat Rai selalu berat membiarkan Fara sendirian ke tempat Dewa. Tapi sekarang malah dia yang sering nekat pergi ke kost-an Dewa sendirian.

Sesampainya di kost-an, Rai membuka pintu kamar Dewa dan menguncinya dari dalam. Ia lalu meletakkan ranselnya, melepas sepatunya, dan langsung merebahkan diri di kasur.

"Bener-bener kayak punya sendiri," kekeh Rai.

Ia terbangun kembali, mencari gelas dan mengambil minum dari galon berpompa manual itu. Perhatian Rai terpecah saat melihat satu brosur di tempat sampah tak jauh dari galon air. Seperti sebuah brosur.

Penasaran apa itu, Rai pun mengambilnya. Ia terkekeh, menebak bahwa itu adalah brosur barang dagangan Dewa. Tidak sangka juga kalau Dewa bisa memiliki brosur sekeren itu untuk pekerjaan sambilannya.

Tapi tawa Rai hilang saat mendapati bahwa itu bukan brosur. Rai melihat sampul dan membuka isinya. Tak salah lagi, itu adalah formulir beasiswa ke London.

Menemukan formulir itu di tempat sampah membuat perasaan Rai tidak enak. Hanya ada satu alasan yang membuat Dewa enggan mengurusi formulir itu, dan Rai tidak suka dengan alasan tersebut.

***

Cilukba!

Emosi yah bab-nya. Hehehee...

Yuk ah, langsung lanjut dulu.

Sampai jumpa di bab selanjutnya ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top