39. Pendaman Rasa

Fara terbangun dan ia merasakan kelelahan merayapi tubuhnya. Tapi seulas senyum menghias indah wajah penuh kepuasan akibat apa yang terjadi semalam antara dirinya dan Dewa.

Ia menarik lengan Dewa yang tertidur merangkulnya dari belakang sehingga tubuh mereka melekat.

Tak lama ia merasakan tarikan nafas yang sangat panjang, diikuti dengan kaitan dari lengan dan kaki Dewa agar tubuh Fara semakin masuk dalam dekapannya.

Fara sedikit bertanya-tanya sejak kapan bermesraan dengan Dewa bisa begitu terasa wajar dan sepantasnya seperti ini?

Ia merasa hubungan ini menyempurnakan sesuatu dalam hatinya. Dalam hidupnya.

Dewa menggali ceruk leher Fara dengan hidungnya, membuat sang istri merasa geli dan terkikik.

Fara membalikkan badannya, mengecup dada Dewa dan mengadah. Wajah yang tersenyum setelah bangun tidur itu begitu membuat perasaannya teduh.

"Pagi, cantik..." sapa Dewa dengan ekspresi bahagia yang belum pernah Fara lihat sebelumnya.

"Pagi, sayang..." balas Fara.

Dewa kembali melebarkan senyumnya. Ia mengecup bibir Fara dan berkata, "Say that again."

"Sayang..." Fara meremang saat Dewa membenamkan wajah penuh rambut lebat itu ke dadanya. Ia tersenyum dan mendorong tengkuk Dewa agar dapat terbenam lebih dalam di sana.

Dewa menggerayangi tulang selangka, bahu, serta leher Fara dengan mulutnya.

"Aku jadi nggak bisa lepas dari kamu gini," ucap Dewa yang tak habis-habis menginginkan tubuh istrinya.

Ia belum pernah merasakan sensasi seperti ini. Bukankah ia sudah lelah dan puas melakukannya semalaman? Tapi mengapa tubuhnya bereaksi cepat dengan sentuhan kulit Fara? Seolah berkata selalu siap untuk menyatukan diri dengan perempuan yang satu itu.

Hubungan mereka semalam memang luar biasa. Begitu intim, memuaskan, bahkan membuat ketagihan.

Tubuh Fara memang luar biasa.

"Enak ya aku?" tanya Fara, membuat Dewa menghadapkan wajah mereka.

"Banget..." Dewa mengulum dalam bibir Fara sebelum berkata lagi sambil terengah, "Banget..."

Fara memeluk erat tubuh Dewa dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya itu.

"Aku nggak tahu bahwa akan ada masanya aku jadi secinta ini sama kamu," kata Fara sambil menikmati aroma tubuh Dewa. Di hidung Fara, ada aroma manis yang meruak dari bau keringat Dewa dan ia sangat menyukai aroma itu.

"Secinta apa?" tanya Dewa. Fara menggeliat.

"Secinta semalaman sama kamu, tapi paginya masih mau lagi."

Keduanya tertawa. Dewa mengecup puncak kepala Fara sebelum perempuan itu mengadah menatapnya.

"I'm serious though... tubuh kamu kayak rumah buat aku. Bisa gitu ya?"

Tanya Fara. Wajahnya benar-benar seperti wajah orang yang sedang berpikir. Dewa mengecup kepalanya lagi.

"Aku emang rumah kamu, Far. Kamu juga rumah aku. Kita suami-istri, tempat pulang masing-masing."

Fara tak tahan untuk tidak menyambar bibir Dewa yang baru saja melontarkan kalimat manis dan hangat itu.

"Soal semalam... aku minta maaf, Wa."

"Maaf?"

"Aku cemburu habis-habisan. Udah lama nggak ngerasa gitu ke orang, sampe bingung harus ngapain."

Fara memanyunkan bibirnya. Ia begitu malu mengingat bagaimana dirinya membicarakan Arini semalam. Kini, setelah puas bergulat semalaman, ia percaya bahwa hati Dewa hanya untuknya.

"That's kinda sexy." Dewa mengusap-usap lengan Fara.

"Apanya? Cemburunya?"

"Iya. Saking cemburunya sampe bobo bareng."

"Kita nggak bobo semalaman tahu."

"Figure of speech, Far... figure of speech."

Mereka berciuman lagi, kali ini Dewa mencumbu Fara semakin dalam dan lama. Fara merasa melayang. Ia terlentang pasrah menikmati bibir suaminya yang kini telah menjadi miliknya sepenuhnya.

"Kamu nggak perlu cemburu lagi. Aku milik kamu, Far, dan aku nggak cuma ngomongin tentang tubuh aku aja," ucap Dewa lembut sambil membelai pipi istrinya.

Fara perlahan membuka mata. Ia tenggelam pada bola mata yang besar dan meneduhkan milik Dewa. Telapak tangannya mengusap dada sebelah kiri pria itu, merasakan degupan di sana.

Fara membayangkan selalu ada dirinya di tiap degupan itu. Ia menatap Dewa dan sesuatu dalam kepalanya seperti berusaha mengingatkan bahwa ia pernah merasakan kehangatan yang sama. Getaran yang sama tentang Dewa...

"Kamu perempuan paling istimewa di hidupku, Far."

Fara mengangkat tubuhnya ke atas Dewa dan mengecup-kecup mesra wajah Dewa beberapa kali. Ia menatap Dewa sambil menggigit bibirnya. Setelah berpikir sejenak, perempuan itu memutuskan untuk mencoba menjelaskan sesuatu yang mengganjalnya semalam.

"Kamu tahu kenapa aku cemburu?"

"Kenapa?"

"She said she missed you... terus kamu dengan gampang ngatur ketemuan sama dia. It took me ten years when I missed you."

Dewa menatap istrinya kembali. Satu bagian yang kosong di hatinya langsung dipenuhi kebahagiaan saat itu juga.

Fara yang ia pikir tak akan pernah ia miliki, yang ia pikir tak akan pernah memandangnya balik...

Dewa mencium bibir Fara dan menggiring perempuan itu kembali berbaring dalam dekapannya, "Aku nggak akan kemana-mana lagi..."

Bibir Dewa turun dan menciumi dagu dan leher Fara, "You could see me whenever you want now."

Kecupan-kecupan di pagi itu membuat gairah Fara menyala kembali. Sampai akhirnya Dewa mengulum daun telinga Fara dan membuat perempuan itu mendesah,

"Aku jatuh cinta, Far... sama kamu."

Kalimat lembut Dewa itu berhasil membuat Fara menginginkannya lagi pagi ini.

Mereka pun bergulat di balik selimut, memuaskan gairah mereka yang kini bebas merdeka.

***

[15 Tahun Lalu]

Pagi itu Fara dan Rai duduk berdua di gazebo rumah Rai. Setelah dua hari lalu perayaan ulang tahun Fara sukses besar, saat ini mereka mulai membuka kado berdua.

Ritual ini memang ritual kesukaan Fara. Ia senang ditemani saat membuka hadiah-hadiah ulang tahun. Ia pun suka membuka hadiah ulang tahun Rai. Karena Fara mereka nyaris tak mungkin merayakan ulang tahun tanpa satu sama lain.

Fara menikmati semua sensasi kejutan yang muncuk setelah membuka hadiahnya dan semua ucapan dari kartu yang tertempel di hadiah-hadiah tersebut.

Beberapa ada yang memberikan pakaian, alat make up dan parfum. Tapi ada juga yang memberi barang-barang tak terduga seperti sepasang cincin dengan pesan, "Tuh udah gue modalin cincinnya, buruan Si Rai bikin acara lamaran."

Fara dan Rai tak berhenti terhibur dengan isi hadiah dan pesan teman-teman Fara yang terkadang sangat nyeleneh itu.

Setelah yakin sudah membuka semua hadiah, Fara membuka tas untuk mengambil ponsel.

"Eh, kelupaan nih hadiah Dewa," dengan penuh semangat Fara mengambil kotak persegi panjang itu dari tas-nya.

"Oh iya," kata Rai mengernyit.

"Apa ya isinya? Kalung nih kayaknya... awas aja kalo cuma dikasih rantainya doang, suaranya renceng gini," kata Fara penasaran sambil tersenyum geli. Ia menggoyang-goyangkan kotak itu, mencoba menebak hadiah Dewa.

"Aku kira dia nggak akan kasih kamu hadiah loh," kata Rai sambil tertawa membayangkan Dewa kebingungan memilih kalung untuk Fara.

"Sama! Kuliah tiga tahun bareng-bareng, baru sekali ini dia  ngasih aku!!" Fara seru sendiri membalas ucapan Rai. Mereka tertawa dan bersiap melihat isi hadiah itu.

Fara membuka kotak itu perlahan. Ia melihat sebuah kalung bergaya bohemian dengan tiga ruas rantai berwarna emas yang dihiasi bandul-bandul minimalis bertemakan musim gugur tergeletak cantik di balik penutup kotak.

Mata Fara membesar, mulutnya perlahan terbuka.

"Ini... dulu aku pernah cari-cari tapi nggak ketemu! Susah banget soalnya harus dikirim dari luar negeri! Kok Dewa bisa dapet sih?!" Fara buru-buru mengangkat kalung itu dan mengamati bentuknya baik-baik.

Tidak salah, itu adalah kalung yang selalu ia ributkan beberapa bulan sebelumnya karena ia sangat menginginkannya. Tapi setelah tiga bulan berlalu tanpa hasil, Fara pun menyerah.

"Kok Dewa tau kamu nyari ini?" tanya Rai.

"Aku biasa nyarinya di laptop pas lagi ngerjain tugas sama dia. Aku nggak tahu dia merhatiin. Ya ampun, sampe deg-degan! Ini keren banget loh!"

Fara setengah sadar dengan apa yang ia ucapkan barusan. Matanya tak bisa lepas dari kalung pemberian Dewa, senyumnya mengembang lebar. Perasaan perempuan itu terkuar dengan lugu dan apa adanya, dan semua itu karena hadiah dari Dewa.

Raut wajah Rai berubah. Rahangnya mengeras dan nafasnya mulai sulit diatur karena panas di dada membuatnya merasa sesak.

"Cocok nggak Rai?" Tanya Fara sambil meletakkan kalung itu di lehernya.

Setelah pertanyaan itu Rai tidak bisa berpikir. Kepalanya berat, matanya gelap, dan di dalam kondisi seperti itu Rai hanya punya satu insting.

Mengukuhkan keberadaannya di hati Fara.

"Hmmmh!" Fara terkejut saat bibir Rai melahap rakus bibirnya.

Perlahan tapi pasti, Fara memejamkan matanya. Tangannya terkulai lemas, membuat kalung pemberian Dewa meluncur bebas dari sana. Sesaat, Fara tak bisa mengingat apa-apa lagi. Ciuman Rai telah membuatnya lupa diri

"Nanti diliat mama-papa kamu, Rai..." bisik Fara setelah Rai melepas pelan bibirnya. Mata Rai yang tadinya terpejam membuka perlahan, menatap kekasihnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

"Kamu sih cantik banget, aku nggak kuat."

Tatapan Rai membuat wajah Fara memerah. Ia berdebar tak keruan menerima sikap penuh cinta dari laki-laki yang dicintainya.

Mungkin bagi orang rasanya mustahil untuk kembali jatuh cinta pada pasangan yang telah menemani selama bertahun-tahun. Bagi Fara, tiap kali Rai menatapnya seperti saat ini, ia tak bisa berhenti merasa ada sesuatu yang indah tumbuh di dalam dadanya. 

Bermekaran seperti bunga, mendebarkan seperti kesan pertama.

Segala hal tentang Rai tak pernah gagal membuat Fara kasmaran. Kini pun ia menyentuh wajah pria itu lembut dan tersenyum bahagia.

"Makasih udah bikin aku sebahagia ini, Rai... the surprise, the party, the present... and that kiss... semuanya sempurna," kata Fara. Rai tersenyum, lalj membenamkan kepalanya di bahu Fara.

"Far, jangan tinggalin ya?" pinta Rai tiba-tiba

"Kok tiba-tiba mikir bakal ditinggalin? Aku baru bilang kalo aku bahagia banget sama kamu tauuu..." Fara jadi gemas setengah mati. Apakah ucapannya sebelum itu menandakan kalau ia ingin minta putus?

Dasar Rai...

"Bener ya? Jangan berpaling dari aku, janji?" tanya Rai.

"Janji," jawab Fara yakin sambil mendekap Rai erat.

Fara lalu menerima pelukan Rai dengan senyum yang sangat lebar. Ia memejamkan mata, menikmati hangatnya tubuh Rai dan cinta yang ia rasakan di hatinya.

Selang beberapa saat, ia membuka mata. Pandangannya menangkap kalung dari Dewa yang tergeletak di atas papan gazebo. Fara masih merasa tersanjung dengan pemberian itu.

Dari balik punggung Rai, Fara perlahan mengambil kalung itu dan menyimpannya dalam genggaman.

***

Hai... semoga suka dengan cerita di bab ini. Banyak momen-momen kecil di sini yang sebenarnya akan menjadi aliran ombak besar di bagian-bagian akhir nanti #tsah

Pantau terus Fara dan Dewa yaaa...

Sampai jumpa di bab berikutnya ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top