3. Masa Depan Yang Tak Terduga

[15 TAHUN LALU]

"You know... you... you know I... you... you know..."

"Nggak tahu! Nggak mau tahu! Stop mainnya, biarin kuping gue istirahat!"

Sudah lima belas menit laki-laki berambut tebal sepanjang tengkuk itu mengulik lagu can't smile without you dengan gitarnya. Dia memang baru belajar bermain gitar sehingga jemarinya masih begitu kaku. Tapi tak sedikitpun ia malu meskipun sudah berkali-kali salah menekan kunci di alat musik itu.

Terang saja gadis di sebelahnya merasa gerah. Lumayan pegal juga telinganya harus mendengar satu baris lirik diulang-ulang selama lima belas menit.

"Tsk, sirik aja sih lo, Far!" seru sang laki-laki yang baru menginjak usia 20 tahun.

Dewantara Ghani Saputra, seorang mahasiswa jurusan Antropologi, memutuskan untuk membuat hari pertamanya sebagai manusia berusia kepala dua dengan membuat sahabat perempuannya menyesal setengah mati telah memberikannya hadiah gitar.

"Kenapa jugaaa gue beliin lo gitar ya?! Berisik!" keluh Fara.

"Lo kalo nggak suka cabut. Ngapain nongkrong di sini?" balas Dewa. Sekilas memang laki-laki itu terkesan seenaknya pada Fara, tapi itu semua hanya karena Dewa menyukai reaksi marah dan sewot Fara.

Fara yang bertubuh kecil tapi kalau marah tak bisa berhenti bicara selalu sukses membuat Dewa merasa diperhatikan.

"Eh, kalo nyusahin orang sini gitarnya gue ambil. Sini, buruaaann..." Fara hendak meraih gitar yang sedang Dewa peluk, tapi laki-laki itu butu-buru menjauhkannya dari perempuan yang siap mengamuk itu.

Fara menggapai-gapai untuk mendapatkan gitar tersebut, tapi tangan panjang Dewa membuat barang tersebut sulit dijangkau.

"Gimana sih, ngasih tuh yang ikhlas dong! Rese' banget ngambil kado balik..." kata Dewa sambil menahan kepala Fara agar tidak dapat mendekat.

"Gue ikhlas asal lo mainnya di kost-an lo aja!" Fara menepis tangan Dewa yang menahannya lalu menoyor wajah laki-laki itu sampai terjatuh.

"Gitar gue rusak entar woy!" Seru Dewa panik sambil buru-buru memeriksa gitarnya yang sempat berbenturan dengan lantai.

"Biarin, kalo perlu se-elo-elonya juga rusak sekalian, biar tenang dulu hidup gue!!"

"Sok banget... nggak ada gue juga lo bakal sedih tuh..." kata Dewa dengan nada menggoda.

"Nggak bakal!" Balas Fara.

"Ah, pasti mewek tuh..."

"Kagak!!"

"Yang beneeerr???"

"Berantem lagi berantem lagi... nggak capek apa kalian?"

Suara seseorang membuat mereka berdua menengok. Mata Fara langsung berbinar melihat sesosok pria tinggi yang gagah dan berpakaian rapi itu berdiri di depan bangunan jurusan tempatnya dan Dewa menongkrong sejak tadi.

"Rai! Dewa nakal, marahin!" seru Fara.

"Sst... jangsn teriak-teriak gitu ah," Rai malah merangkul kepala Fara dan membekap mulut gadis itu.

"Tau tuh, berisik emang nih cewek satu," cetus Dewa.

Mata Fara memelotot, ia kembali bersiap meraih Dewa untuk menjambak rambut laki-laki itu.

"Elu yang berisik dari tadi, ampuuuunnn!!" seru Fara. Ia ditahan oleh Rai sebelum melakukan aksi ala kucing bertengkar dengan Dewa.

"Sayaaang, lagi rame malu ih berantem-berantem," bujuk Rai sambil menahan geli.

"Kamu ngebelain Dewa?!" rajuk Fara.

"Jealous ya, Neng?" pancing Dewa. Fara kembali memelotot, tapi Rai langsung menarik dagu Fara untuk menatapnya.

"Mau berantem sama Dewa di sini atau mau jalan sama aku?" tanya Rai cepat. Emosi Fara perlahan mereda. Sedikit demi sedikit senyumnya mengembang, lalu ia menyenggol pelan bahu Rai dengan kepalanya.

Semua sudah tahu jawabannya tanpa perlu Fara bicara. Tentu saja Fara memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya.

Dewa tersenyum sambil mengalihkan pandangannya dari dua sejoli tersebut.

"Gue cabut ya, Wa. Jangan berisik entar ditegur dosen lo," Fara mewanti-wanti sambil bersiap pergi.

"Iyeee," jawab Dewa malas.

"Duluan, Wa," salam Rai. Dewa membalas tatapan tegas laki-laki itu.

"Oy," jawab Dewa balik.

Selanjutnya Dewa termangu menatap gadis itu beranjak bersama kekasihnya.

Di jurusan ini, Dewa dan Fara memiliki dunia sendiri. Di jurusan ini, dia adalah laki-laki yang paling dekat dengan sang gadis.

Dewa menunduk menutupi senyum pahitnya, sepahit kenyataan yang kembali ia telan sendiri hari itu.

***

[SAAT INI]

"Om Dewaaaa..." sapaan ceria Nara menyambut kepulangan Dewa dan Fara.

"Hai... gimana sekolahnya hari ini?" jawab Dewa sama cerianya.

"Seru... Nara tadi ada pelajaran olah raga dan Nara jago deh!" Nara membuka ceritanya dan dalam sekejap ia sudah memonopoli Dewa sampai mereka berdua masuk ke dalam rumah dan saling bercerita di sofa.

Fara mengikuti dari belakang dengan wajah cemberut.

"Yang ibunya kan aku, kenapa yang disambut Dewa terus sih?" keluh Fara. Farida, ibunda Fara, hanya tersenyum maklum mendengar keluhan anaknya.

"Jangan sedih... hari ini ibu masak rawon kesukaanmu loh," kata sang ibu. Mata Fara langsung bersinar. Ia segera memeluk ibunya. Memang sang ibu yang paling tahu bagaimana cara menghangatkan hatinya.

"Nara," panggil Fara. Gadis kelas 3 SD itu pun menengok, "Ibu mandi dulu terus kita langsung belajar ya..."

"Belajar sama Om Dewa juga ya?" tanya Nara.

"Udah nanya ke Om Dewa-nya?" tanya Fara sambil menatap segan ke arah Dewa.

"Udah, aku yang ajakin kok," jawab Dewa. Fara tersenyum.

Panggilan Dewa dan Fara memang berubah di depan Nara untuk menghindari penggunaan kata tak sopan yang biasa mereka saling lontarkan jika Nara sedang tak ada di sekitar.

"Kalo gitu Dewa mandi dulu aja. Biar nanti pulang habis makan malam, sampe rumah langsung tidur," Bu Farida mendekat dan memberi saran.

"Pakai kamar mandi di kamar tamu aja ya, Wa. Nanti aku siapin baju gantinya," kata Fara. Dewa mengangguk menyetujui ide itu, toh bukan pertama kali ini ia menumpang bersih-bersih di rumah Fara.

"Makasih..." kata Dewa sopan ketika Fara mengambilkannya baju kaus.

Selanjutnya, Fara dan Dewa mandi sementara Nara menyiapkan keperluan belajarnya di ruang tamu dan Bu Farida menyelesaikan masakannya.

Fara dan Dewa menemani Nara belajar sampai akhirnya waktu makan malam tiba. Mereka segera duduk di tempat masing-masing. Fara duduk berseberangan dengan Bu Farida, di sebelahnya ada Dewa yang duduk berhadapan dengan Nara.

"Om Dewa, makasih ya... udah temenin Nara belajar," kata sang gadis kecil setelah ia makan beberapa suap makanannya. Dewa tersenyum.

"Sama-sama, Nara. Seru kok belajarnya..." jawab Dewa.

"Om Dewa lebih sering berantem sama ibu sih... Nara yang denger aja seru sendiri," ucap Nara sambil terkekeh.

Fara nyaris tersedak tawanya mendengar ucapan itu, "Om Dewa sok tahu sih."

"Ibunya Nara yang sok tahu," balas Dewa cepat.

"Dih," protes Fara.

"Apa?" tantang Dewa.

Nara tertawa geli melihat perseteruan itu, "Om Dewa sama ibu kayak temen-temen Nara kalo lagi berantem."

Wajah Fara dan Dewa langsung memerah ketika disamakan dengan anak SD yang sedang bertengkar.

"Ehem, Nara lanjut lagi makannya," kata Fara sambil berdeham.

"Tapi Nara suka kalo ibu sama Om Dewa ngobrol. Seru..."

Dewa dan Fara saling tatap dan melempar senyum. Tidak ada yang tidak terhibur melihat mereka berinteraksi. Bahkan almarhum Rai pernah berkata bahwa percakapan antara Fara dan Dewa adalah hiburannya.

"Coba kalo Om Dewa tinggal di sini, Nara jadi bisa lebih sering ngeliat ibu sama Om Dewa ngobrol..." ucap Nara perlahan.

"Ih, Nara yang bener aja. Apa kata tetangga kalo ada cowok tinggal di tempat kita? Keluarga juga bukan kan Om Dewa," kata Fara.

"Ya Om Dewa nikah aja sama ibu. Biar jadi ayahnya Nara," kata gadis kecil itu.

Dewa tersedak dan buru-buru meraih air minumnya sementara Fara batal menyuapi makanan ke mulutnya. Keduanya saling menatap tak percaya lalu secara bersamaan menengok ke arah gadis kecil yang ternyata sejak tadi menyimpan sebuah ide paling absurd yang pernah mereka dengar.

Tapi gadis kecil itu tersenyum riang, seolah apa yang ia cetuskan tadi benar-benar hal yang brilian.

"Gimana?" tanya Nara.

Baik Dewa maupun Fara bingung harus berkata apa.

***

Bersambung yaa...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top