22. Bukan Kasihan
"Aku hari ini lembur ya," kata Dewa lewat telepon.
Fara mendesah. Sejak hari dimana ia mencari perhatian Dewa, pria itu kini semakin bersikap dingin kepadanya. Terkadang, Fara bahkan merasa suaminya itu sedang menghindarinya.
Seperti hari ini. Kalau Dewa bilang lembur, itu artinya dia akan pulang setidaknya pukul sembilan malam dan Fara lebih baik pulang sendiri. Setelah Fara seharian diperlakukan secara dingin dan seadanya, sekarang jadi harus pulang sendiri.
Dewa menjadi semakin jarang memberikan kecupan di dahi. Boro-boro kecupan, tatapan mata dan senyum hangat yang biasanya sangat murah saja kini mahal bukan main.
Fara rindu. Apakah aneh merindukan seseorang yang selalu dekat dengannya? Apakah wajar merasa seperti ini dengan orang yang dianggap sahabat?
"Ya udah nanti aku pulang sendiri," kata Fara sesingkat mungkin. Kalau memang jarak yang Dewa mau, ya sudah. Fara coba ikuti walaupun enggan.
"Oke," balas Dewa.
Fara langsung melihat ponselnya dengan penuh emosi.
Oke?! Setelah dulu heboh-heboh kayak anak kecil minta pulang bareng, sekarang cuma oke?!
Fara langsung menutup teleponnya. Ia menekan dahinya yang pening, tidak paham dengan dirinya sendiri. Bukankah ini yang dia mau beberapa bulan lalu?
Apa iya dirinya kini telah menjadi ketergantungan dengan Dewa?
Fara mendesah dan membuka laci mejanya. Daripada makan hati mengingat Dewa, lebih baik ia ke pantry dan membuat kopi.
Kantor menyediakan kopi untuk para pegawainya. Tapi Fara selalu membawa kopi arabica favoritnya. Setelah meminum kopi itu, kopi lain jadi tidak terasa nikmat. Ia selalu menyimpan kopi tersebut di laci dan menyeduhnya saat mood sedang buruk.
Di pantry, ternyata Bia dan para karyawan muda sedang berkumpul. Bia adalah teman makan siang Fara. Meskipun gaya bicaranya ceplas-ceplos dan apa adanya, Bia itu baik dan lugu.
Satu hal yang menghibur Fara, perempuan itu sepertinya nge-fans pada Dewa.
"Hei, kamu nongkrong di sini, yang jaga meja depan siapa??" tanya Fara.
"Baru sebentar kok, Mbaaak... ini lagi mau ngerencanain jalan bareng," kata resepsionis berusia 23 tahun itu sambil terkekeh.
Fara mendesah. Ia ingat bahwa sebelum menikah dengan Rai dan melahirkan Nara dulu, ia pun sering berkumpul dengan teman-teman kantor selepas jam kerja.
"Ih, enaknyaaa... kepengen deh ngumpul main gitu," kata Fara sambil tersenyum dan membuat kopinya.
"Mbak Fara ikut aja. Boleh kan guys?" cetus Bia kepada teman-temannya.
"Hahaha... nggak usahlah. Kalo ada aku kalian nggak enak ngobrolnya," balas Fara buru-buru.
"Nggak kok, Mbak. Kalo mau ikut boleh loooh..." ucap seorang karyawan divisi pengembangan bisnis.
"Kita asyik-ayik aja. Makin rame makin seru malah," tambah satu karyawan dari divisi yang sama.
"Ini temen-temenku pada nge-fans sama Mbak Fara. Makanya kepengen nongkrong bareng," kata Bia.
"Nge-fans apa sih?? Hehehe... beneran nih aku boleh gabung?" tanya Fara. Keempat orang yang ditanya Fara itu mengangguk kompak.
Daripada mengingat perlakuan dingin Dewa, lebih baik ia menyegarkan pikiran dengan beberapa anak muda ini. Toh semuanya perempuan.
"Oke, aku ikutan nongkrong sama kalian yaaa..."
***
Dewa mendesah gusar menatap pesan yang baru masuk dari Fara,
"Aku jadinya ke luar dulu bareng temen-temen kantor ke Cafe Dolce ya. Habis itu aku pulang."
Pria itu menimbang-nimbang antara menyuruh Fara langsung pulang atau membiarkan perempuan itu menyegarkan pikiran.
Entah kenapa Dewa merasa Fara butuh itu. Refreshing. Terlalu dalam berkutat pada pekerjaan dan keluarga membuat Fara membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Tak heran kalau akhir-akhir ini sikap Fara begitu membingungkan.
...dan mendebarkan.
Di sisi lain, Dewa tidak ingin Fara pulang sendiri dari kafe itu. Dia tahu di mana lokasi Fara akan menongkrong karena kafe tersebut memang sedang terkenal di wilayah sekitar kantor mereka. Kalau terlalu malam, sulit mendapatkan taksi di daerah tersebut.
Tidak ada jalan lain... Dewa butuh ketenangan itu.
***
Fara tertawa terbahak-bahak bersama keempat teman kerja yang semuanya masih berusia dua puluhan.
"Mbak Fara seru juga ya? Maaf, tadinya kupikir sombong loh. Hehehe," kata Widya, karyawan pengembangan bisnis yang tadi sore sempat meyakinkan Fara untuk ikut menongkrong.
"Settingan mukanya emang judes aku tuh..." jawab Fara, membuat seluruh meja tertawa.
"Muka princess kali, Mbak. Duh, aku yang upik abu ini minder lah," sahut Bia.
"Anjir, upik abu... bahasa jadul banget!" Yuli, seorang karyawan dalam divisi yang sama dengan Widya menepuk bahu Bia.
"Anak jadul emang si Bia," tambah Sofie, anak HRD yang lumayan pendiam tapi seru. Fara sudah beberapa kali makan bersama Sofie dalam acara kantor. Divisi HRD dengan jajaran asisten memang sering mengadakan acara bersama.
"Aduh, awet muda nih aku ngumpul sama kalian gini. Sering-sering ketawa," ucap Fara yang tak habis-habis tertawa mendengar celetukan-celetukan renyah dan cerita-cerita kantor yang ajaib dan penuh humor.
"Lah, emang masih keliatan muda, Mbak. Nggak kayak Bia, boros," kata Sofie yang diikuti dengan tawa teman-teman lain dan tepukan keras di bahu dari Bia.
"Sofie jahat ih! Aku mah kalo punya suami kayak Pak Dewa juga awet muda atuh..." ucap Bia.
Fara menahan geli saat Yuli menoyor Bia, "Ih Bia, jangan ngomongin laki orang begitu!"
"Tau nih, istrinya ada di sini juga," tambah Widya risih.
"Nanti aja ngomonginnya pas Mbak Fara nggak ada," tambah Sofie, lagi-lagi membuat seisi meja tergelak.
"Wah ketahuan yaa... pada suka ngomongin suamiku yaa?" ucap Fara berlagak guru BP yang memicingkan mata dan menunjuk anak-anak nakal satu per satu.
"Gue nggak mau bohong deh. Ganteng Mbak, suami lo. Kalo dateng jemput lo suka bikin salah fokus," kata Sofie.
"Beruntung banget ya Mbak Fara, dapet cowok yang cakep, tajir pula!" tambah Bia.
"Permisi, Mbak-mbaknya... kenapa ngomongin suami saya kayak ngomongin idol Korea?!"
"Habis emang kayak idol sih, Mbak. Bikin melongo," jawab Yuli terkekeh.
"Saya juga beruntung kok dapet Fara," kelima perempuan itu menengok dan mendapati bahwa topik obrolan mereka sudah berdiri sambil tersenyum di dekat sang istri.
"Dewa?!" seru Fara setengah tak percaya.
Banyak pertanyaan yang ingin ia cecar pada pria itu. Katanya lembur, kok sudah pulang? Kenapa harus menjemput Fara? Kenapa tidak bilang ingin menjemput?
Tapi perempuan itu hanya menganga ketika Dewa mengecup kepalanya dan duduk di kursi sebelah Fara yang kebetulan kosong.
Ada sesuatu yang terasa seperti menyirami Fara dengan kelegaan saat bibir pria itu menyentuh ubun-ubunnya. Seperti ada kerinduan yang terobati.
"Aku belum makan, boleh ikutan?" tanya Dewa pada Fara. Ia lalu melempar pandangannya ke kelompok perempuan lain yang wajahnya sudah merona menatapnya.
"Boleh! Boleh!"
"Pesen langsung aja, Pak..."
"Boleh banget!!"
"Suatu kehormatan buat Bia, Pak Dewa..."
Suasana meja langsung riuh dengan empat gadis yang berebutan menjawab pertanyaan idolanya.
Tawa Fara otomatis meledak lagi, kali ini terdengar serasi dengan tawa Dewa.
***
"Kamu nggak jadi lembur?" tanya Fara ketika sudah berada di mobil bersama Dewa menuju pulang.
"Hm, nggak semalem yang aku perkirain aja sih pulangnya tadi," jawab Dewa sambil sibuk menyetir.
"Kenapa nggak ngabarin kalo mau nyusulin aku?" tanya Fara lagi.
"Lupa," jawab Dewa lagi.
"Kok-"
"Kamu tidur dulu aja ya, aku mau tenang dulu. Kerjaan hectic banget hari ini," kata Dewa memotong pertanyaan yang sudah siap Fara ajukan.
Mungkin suaminya berkata jujur. Dia sedang mengalami hari yang buruk di kantornya dan kini sedang butuh ketenangan.
Tapi seperti ada yang mencubit jantung Fara saat mendengar perkataan Dewa. Pria itu kembali dingin, kembali membuat Fara merasa sebagai beban hidup yang harus diemban.
Ia merasa bodoh telah berharap banyak setelah menikmati perhatian pria itu di hadapan teman-temannya tadi.
Mungkin Dewa hanya bersikap hangat kepada Fara karena sedang berada di depan teman-teman kantornya.
Lagi-lagi, hanya memenuhi kewajiban peran suami.
Fara memendam ganjalannya sampai di rumah. Tapi setelah Dewa mengambil pakaian dari lemari dan bersiap keluar kamar lagi tanpa bicara pada Fara, perempuan itu tak kuat lagi.
Dewa menjauh dan Fara benci itu.
"Kamu tuh nggak perlu sebenernya ngelakuin hal kayak tadi, atau yang biasa kamu lakuin ke aku," kata Fara tajam. Dewa berbalik dan mengerutkan dahinya.
"Things like... what?" tanya Dewa.
"Kasih aku pity affection. Aku nggak butuh."
"I don't giv-"
"Wa, answer me this; do you think I'm attractive?" memang bukan tabiat Fara memendam-mendam ganjalan di hatinya. Tiap ia melakukan hal itu, perasaan tidak menyenangkan selalu muncul tanpa bisa ia kendalikan.
Tapi akhir-akhir ini Fara seperti sulit menerjemahkan apa yang ia rasakan terhadap Dewa. Terlalu banyak yang terjadi dan banyak yang Fara belum mengerti.
Saat ini Fara hanya tahu satu hal, perhatian Dewa hanyalah bentuk tanggung jawab sebagai suami dan Fara malu telah menganggapnya lebih.
Fara malu berpikir bahwa dirinya diinginkan saat sebenarnya ia telah menjadi beban.
Fara sempat takut mendengar yang sebenarnya dari mulut Dewa dan berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia bukan benalu. Tapi saat ini Dewa tertegun, tak bisa menjawab pertanyaan istrinya.
Bagi Fara hal itu hanya berarti satu hal; tebakan Fara tentang perasaan Dewa itu benar.
"Diem kan? Nggak tega kan buat bilang kalo aku nggak menarik buat kamu?" Fara terbiasa didamba dan dipuja oleh Rai. Diperlakukan seperti ini oleh seorang laki-laki begitu menghancurkan harga dirinya.
"Far... kamu lagi kenapa?" Dewa mendekat dan melempar pakaian yang ia genggam tadi ke atas ranjang. Nada suaranya menghangat. Ia khawatir.
Tapi Fara tak akan tertipu lagi.
"Nggak tahu. Aku kan udah bilang, pernikahan itu rumit. Kita harusnya se-simple jadi sahabat, but no... nikah aja. Nanti jadi kayak house-mate aja. Guess what?! Aku nggak bisa lepasin kamu dari imej suami sekarang. Terus kami pikir cewek kayak apa yang nggak nyesek kalo suaminya sendiri nggak selera sama dia?" tanya Fara dengan air mata yang menggenang dan ekspresi kesakitan.
Mereka saling tatap untuk beberapa saat, tapi keheningan itu menyiksa Fara. Ia melempar pandangannya ke bawah.
"Udah nggak usah dipikirin. Mungkin aku mau dapet, jadi rada sensi. Maaf..." kata Fara sambil beranjak ke kamar mandi.
Baru selangkah ia berjalan, Fara merasakan tangannya ditarik. Ia terlempar ke ranjang dengan mulus. Belum sempat Fara merasa terkejut, tiba-tiba Dewa sudah berada di atasnya.
Dewa tidak memberi jeda bagi Fara untuk berpikir. Dengan gesit pria itu menahan satu pergelangan tangan Fara, sementara satu tangannya lagi digunakan untuk menangkup wajah perempuan itu agar tetap menghadap ke arahnya. Dewa pun langsung menyerang bibir istrinya tanpa ampun.
Mata Fara terbuka lebar saat Dewa melahap bibirnya. Ia menahan dada Dewa, mencoba menyadarkan laki-laki yang telah kehilangan kontrol itu.
Tapi ketika lidah Dewa menyusup masuk dari sela bibirnya, Fara merasa limbung. Sensasi yang diberikan cecapan Dewa membuatnya mabuk kepayang.
Tangan Fara menggerayang perlahan ke tengkuk suaminya dan membalas cumbuan demi cumbuan yang diberikan Dewa. Mereka semakin larut dalam nafas yang semakin memburu sampai akhirnya bibir Dewa turun dan menikmati leher Fara. Perempuan itu pun tak mampu menahan desahan yang sudah berada di kerongkongannya.
Tiba-tiba Dewa berhenti dan membenamkan wajahnya di atas ranjang. Ia terengah, berusaha mengatur nafasnya. Sementara Fara yang masih setengah sadar sibuk menata pikirannya kembali untuk menyimpulkan apa yang sedang terjadi.
Selang beberapa saat, Dewa mengangkat kepalanya dan menatap Fara dalam jarak dekat.
"Kamu lebih dari sekadar menarik untukku, Far. You're intriguing. Arousing. I never told this before cause I don't want to disgust you... tapi nggak akan ada laki-laki normal yang sanggup tinggal sekamar sama kamu tanpa mikir aneh-aneh tentang kamu."
Dewa berdiri, melepas Fara yang masih termangu mendengar semua ucapannya. Ia melepaskan kancing kemejanya hingga dadanya terpampang karena merasa gerah.
"Kita itu berawal dari sahabat, aku takut ngelewatin batas itu. But since you said that you see me as husband now, be prepared. I won't hold it anymore."
***
Ehehehe... met pagiii... selamat menikmati yang anget2 pagi ini ❤
Jangan lupa jejaknya yaa...
See you on next chapt!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top