21. Semakin Penasaran

Malam itu Fara turun dari mobil dengan terburu-buru dan langsung masuk rumah. Hancur sudah harinya setelah dibuka dengan godaan gagal menggunakan baju olahraga andalannya.

Dewa memang one of a kind sekali ternyata. Mana ada laki-laki yang tidak kehilangan kontrol melihat Fara begitu buka-bukaan seperti tadi pagi? Bahkan Rai yang biasanya sopan saja pasti langsung menyerangnya tiap ia mengenakan pakaian itu.

Lebih ampuh dari pakaian tidur yang seksi!

Fara segera masuk kamar mandi. Lalu pikiran itu pun datang, "Apa gue harus pake lingerie ya?"

Setelah berpikir beberapa detik, Fara pun menggaruk-garuk kepalanya dan berseru, "BUAT APAAAANNN?!"

"Far, kenapa? Kok teriak-teriak?" tanya Dewa setelah mengetuk pintu kamar mandi. Fara langsung menatap benci ke arah pintu dan bicara tanpa suara, "KARENA ELO, TAU?!"

Setelah itu ia mengatur nafasnya.

"Nggak apa-apa, aku lupa masukin jadwal penting bos-ku tadi sore. Tapi nanti aku bisa atur lewat laptop," kata Fara berbohong.

Seorang Fara mana mungkin seceroboh itu?

"Okay... aku mandi di bawah aja ya, biar cepet makan malem," balas Dewa.

"Iya," jawab Fara singkat.

Setelah itu tak ada lagi suara Dewa. Fara langsung duduk di atas toilet. Ia tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Mengapa ia begitu ingin menggoda Dewa? Apa yang ia cari?

Kemenangan? Pengakuan? Pemenuhan kebutuhan? Atau... pemenuhan perasaan?

Pengakuan. Pasti itu.

Kini setelah Fara tahu apa yang ia cari, dia pun langsung bertekad. Ia tidak peduli bahwa Dewa adalah pria paling cuek dan datar yang pernah ia temui. Nyatanya Dewa bersedia menikahinya, pasti karena Fara memiliki sisi menarik bukan??

Fara segera mandi dan berganti pakaian. Tapi alih-alih memakai kaus seperti biasa, Fara mengambil tank top berwarna marun dan celana hot pants.

Pokoknya Fara harus bisa melihat Dewa kepanasan karena dirinya!

Fara turun dari tangga dengan penuh percaya diri. Ia langsung menyapa Nara yang sedang mengobrol dengan Dewa.

"Nara, udah kerjain PR?" tanya Fara sambil duduk di sebelah putrinya.

"Udah tadi sore," ucap Nara sambil melebarkan cengirannya melihat Fara.

"Kenapa kamu cengengesan?" tanya Fara sambik mencolek dagu Nara.

"Ibu tumben, biasanya pake kaus sama celana gombrong kayak anak cowok," kata Nara.

"Ehm, iya. Beda ya dari biasa?" tambah Dewa.

Fara menahan senyumnya. Sudah dia duga, laki-laki normal manapun pasti akan bereaksi melihat perempuan dengan pakaian minim begini.

"Kenapa? Jelek ya?" pancing Fara.

"Bagus kok, ibu cantik!" jawab Nara semangat.

"Nggak ada baju lain emangnya?" tanya Dewa. Fara menahan rasa herannya.

"Kenapa malah minta ganti sih??" batin Fara.

"Akhir-akhir ini agak gerah udaranya. Enak pake baju begini, adem..." jawab Fara. Dia sudah memiliki sejuta alasan agar dapat memakai baju itu

"Lagian Fara kan pake baju kebuka gini di dalem rumah. Nggak apa-apa kan? Toh yang lihat keluarga sama suaminya sendiri," tiba-tiba Bu Farida menimbrung. Fara memberi ibunya itu tatapan terima kasih atas dukungan itu.

"Hmm..." Dewa hanya bergumam. Ia memandang ke arah meja makan dan tidak memberikan Fara tatapannya lagi.

"Yuk, udah siap makan malamnya," ajak Bu Farida. Seluruh anggota keluarga pun kini berpindah dari ruang utama ke meja makan.

Menu malam itu adalah terong balado dan gulai ayam. Semua memakan makanan buatan Bu Farida dalam diam.

Fara sesekali melirik Dewa yang sangat fokus memakan makanannya. Ia pun harus memendam kecewa. Usahanya gagal lagi.

"Ayah kok mukanya merah?" tanya Nara tiba-tiba.

Fara yang tadinya sudah berwajah masam langsung menengok Dewa terang-terangan. Nara benar, wajah Dewa terlihat merah padam.

Dewa tersenyum kikuk lalu mengambil air putihnya sambil berkata, "Iya nih, terong baladonya Eyang pedes banget."

Nara mengernyit dan saling pandang dengan Bu Farida. Sementara itu, Fara pun memandangi Dewa dengan tatapan bingung.

"Balado ibu nggak pedes kok," kata Fara.

"Ibu kan nggak pakai biji cabe-nya sama sekali, Wa. Harusnya nggak pedas, soalnya Nara juga suka makan," tambah Bu Farida.

"Iya nih, Nara makan nggak kenapa-kenapa tuh," ucap Nara lagi.

Dewa tertawa, "Kayaknya perut aku deh yang lagi kenapa-kenapa. Permisi dulu ya, mau ke toilet."

Laki-laki itu langsung pergi ke toilet di kamarnya sementara Fara memandangi piring Dewa yang ternyata sudah kosong.

"Kepedesan tapi makanannya dihabisin, dasar!" keluh Fara. Ia berhenti mengerungkan alisnya saat mendengar Bu Farida dan Nara terkikik bersama.

"Kenapa? Kok ketawa?" tanya Fara heran.

Nara melihat sejenak ke arah tangga, memastikan Dewa tidak turun kembali, lalu kembali menatap ibunya.

"Dari tadi Ayah Dewa sama ibu tuh sebenernya lirik-lirikan, tapi matanya nggak pernah ketemu. Nara udah sampe gemes banget loooh," kata Nara.

"Bukan kepedesan itu, kasmaran liat kamu," tambah Bu Farida.

"Kasmaran tuh apa, Yang?" tanya Nara.

"Naksir!" jawab Bu Farida sebelum tertawa geli.

"Hus, udah ah. Kasian itu lagi sakit perut loh Ayah Dewa-nya. Ibu siapin obat dulu buat Ayah ya," kata Fara sambil beranjak dari ruang makan. Ia menahan senyumnya sampai tak ada yang dapat melihat wajahnya lagi. Segera ia ambil segelas air minum dan sebuah obat diare, lalu dirinya pun menaiki tangga perlahan.

"Wa, kamu nggak apa-apa? Ini aku bawain obat diare," kata Fara sambil mengetuk pintu kamar mandi.

"Taro meja aja, Far. Makasih yaa..." seru Dewa dari kamar mandi.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Fara. Sebenarnys ia ingin melihat ekspresi Dewa saat melihatnya langsung. Ia penasaran, apakah laki-laki itu akan tetap terlihat tenang atau memang tak bisa melepaskan pandangannya seperti kata ibu dan putrinya tadi?

"Nggak usah Far... kamu langsung main sama Nara aja ya. Aku masih lama kayaknya," jawab Dewa.

Fara pun turun tangga tanpa hasil. Dalam hati Fara pun bingung, mengapa ia menjadi begitu terobsesi membuat Dewa mengakui dirinya sebagai perempuan yang menarik ya?

Tapi kalau dipikir memang hanya Dewa lah yang tidak pernah memperlakukan Fara secara spesial. Dewa tidak pernah terlihat kagum ataupun terpesona kepadanya.

Jika diingat lagi, dulu hal itulah yang membuat Fara nyaman berteman dengan Dewa. Dia satu-satunya laki-laki yang tidak bertindak aneh dan mengerikan kepadanya. Tapi sekarang Fara jadi kesal sendiri.

Semuanya karena pernikahan ini!

Daripada merutuki apa yang sudah terjadi, Fara pun pasrah dan mengajak Nara ke kamar untuk mengobrol dan membaca cerita bersama.

Sekembalinya Fara ke kamarnya setelah menidurkan sang putri, ia pun mengernyit heran akan pemandangan yang dijumpainya.

Dewa sudah terlelap di sisi ranjangnya. Obat diare itu sepertinya sudah diminum, tapi seharusnya obat itu tidak menyebabkan kantuk.

Fara mengamati Dewa dari dekat. Ia mengusap-usap jambang Dewa sambil menatap suaminya itu dengan kecewa, "Biasanya jam segini kamu masih kerja... aku nggak bikinin camilan buat kamu dong malam ini..."

Fara menaikkan selimut sampai menutupi tubuh Dewa, lalu ia kembali turun untuk mempersiapkan bahan memasak besok pagi.

Setelah suara pintu tertutup berbunyi, Dewa membuka matanya. Ia mengusap wajah yang tadi disentuh Fara sambil memandang langit-langit.

"Far... kalo kamu baik kayak gini aku gimana nahan dirinya?" ujar Dewa. Debaran jantungnya kini seperti sebuah rebana yang dipukul kuat-kuat. Menghentak, menghasilkan gemerincing yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Bagaimana bisa Dewa bersikap seperti seorang sahabat dengan perasaan yang sudah meluap-luap seperti ini?

***

Ish, napa sih nih dua orang ribet banget??

Ya gitu deh biasanya kalo dua orang asing jadi keluarga dan tinggal serumah. Awal-awal banyak yang dipendam. Maklumin aja yah...

Coba kita tengok bab berikutnya, siapa tahu udah nggak seribet ini. Eh, udah ada belum sih bab-nya?

😝😝😝

See you soon on the next chapt ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top