2. Lima Tahun Kemudian

People move on. Life goes on...

Sebenci apapun Fara terhadap istilah itu, ia tak dapat menampik bahwa kini dirinya tengah berada dalam situasi tersebut.

Mungkin ada masanya seorang Farasya Kemala Dewi hilang arah sepeninggalan sosok yang telah ia anggap sebagai belahan jiwa.

Tapi kini di sinilah ia. Bekerja dengan giat di sebuah perusahaan tambang besar di Indonesia sebagai sekertaris direksi.

"Pak, file yang Bapak cari sudah saya temukan, saya kirimkan ke Bapak ya," ucap Fara via telepon kepada direktur yang ia urus.

"Ok. Thanks ya, Far. Selalu paling bisa diandalkan," ujar pria berusia 50 tahun itu.

Fara tersenyum mendengar pujian itu. Di kalangan dewan direksi, namanya memang terkenal sebagai sekertaris yang kerap memberi solusi terhadap urusan-urusan kecil.

Ingin mencari file yang mengendap di berkas elektronik kantor? Fara paling tahu bagaimana caranya. Ingin mencari satu odner yang tertimbun di gudang? Fara juga yang diandalkan. Sampai mencari katering dan tempat untuk acara kantor dan jamuan kerja, selera Fara yang selalu dipercaya.

Meskipun secara resmi ia adalah sekertaris Pak Mulyono, tapi semua orang di kantor besar itu tahu bahwa Fara adalah senior kantor kesayangan dewan direksi.

Pak Mulyono sendiri adalah atasan yang baik dan sangat memperhatikan Fara seperti ia memperhatikan anaknya sendiri.

"Mami saya dulu membesarkan saya seorang diri. Saya lihat kamu itu ingat Mami lagi. Jadi kalau butuh apa-apa bilang ya, apalagi tentang kebutuhan anak. Pokoknya saya mau anakmu sekolah sampai sarjana," begitu ucap Pak Mulyono ketika Fara mulai merasa segan dengan pemberian uang dari beliau.

Kini tak ada lagi segan. Fara hanya punya syukur. Kekuatan untuk menjalani hari-harinya, solusi demi solusi yang berdatangan ke dalam hidupnya, serta pertolongan orang-orang di sekitarnya membuat Fara makin memahami bahwa makna hidup sebenarnya adalah sebuah harmoni indah dari perjuangan dan rasa syukur .

Fara nyaris menyelesaikan pekerjaannya untuk hari itu. Ia memeriksa jadwal Pak Mulyono untuk seminggu ke depan. Perempuan berusia 35 tahun itu mengkonfirmasi beberapa pertemuan dan mengecek beberapa penerbangan atasannya. Setelah semua benar-benar beres, matanya mengarah ke satu frame berisi foto wajah seorang anak berusia delapan tahun.

Fara tersenyum. Ia mungkin tak akan sekuat ini kalau tidak ada Narasya. Anak perempuan kesayangannya itu membuat Fara cukup kuat memikul rasa kehilangannya sehari-hari.

Demi Nara, Fara tidak boleh berlarut dalam kesedihannya. Nara adalah peninggalan Raihan yang paling berharga dan harus ia jaga. Maka kini, itulah yang selalu ia ingat sebagai tujuan hidupnya.

Memotivasi diri untuk membesarkan Nara bukankah hal yang sulit bagi Fara. Sebagai seorang ibu, ia menganggap anaknya adalah gadis yang luar biasa. Fara bangga karena putrinya tumbuh menjadi anak yang cerdas dan menggemaskan. Ia tahu Nara akan tumbuh menjadi perempuan yang hebat, jauh lebih hebat darinya.

Tak ada alasan baginya untuk berhenti hidup dan berjuang. Lagipula, di atas semua bantuan dan motivasi yang ada, Fara bahkan masih mendapatkan dukungan tambahan selama lima tahun ini...

"Oy, Wa..." Fara mengangkat telepon yang berbunyi beberapa detik lalu.

"Balik maleman dikit ya. Gue ada kerjaan tambahan," kata suara di seberang telepon.

"Yah, Wa... gue hari ini mau balik cepet. Kepengen belajar sama Nara, besok ada ujian dia tuh," keluh Fara.

"Oh gitu? Lo balik jam berapa emang?"

"Jam empat, which is lima belas menit lagi. Udah santai aja sih... gue bisa sendiri kali."

"Nggak ah, gue mau jemput. See you, bye."

Dewa buru-buru menutup teleponnya untuk menghindari perdebatan. Hal ini membuat Fara kesal setengah mati.

"Dasar tukang maksa!" Sungut Fara pelan ke arah ponselnya.

Fara gagal untuk tidak mengandalkan Dewa lagi hari itu. Padahal ia sudah sengaja tidak mengabari seharian supaya sahabatnya itu tidak usah menjemputnya.

Menjadi head marketing sebuah perusahaan multinasional raksasa seharusnya membuat Dewa kewalahan dalam mengurus jadwal dan pekerjaannya sendiri. Tapi laki-laki itu selalu saja menyempatkan waktunya untuk mengantar jemput Fara setiap hari.

Bukannya Fara tidak bersyukur, tapi sesekali ia juga ingin meringankan hari Dewa.

Sejak mereka bertemu kembali di pemakaman Rai, Dewa tidak pernah lepas dari sisinya. Selama lima tahun ini, Dewa telah menjadi penyokong emosional terbesar untuk keluarganya. Baik dirinya maupun Nara telah menganggap Dewa sebagai sosok yang sangat berpengaruh di hidup mereka.

Fara mendesah panjang. Dua tahun terakhir, ibunya kerap menanyakan tentang hubungannya dengan Dewa. Setahun terakhir, tetangga dan rekan kantornya malah mengira mereka sudah menikah.

Gila apa? Dewa adalah sahabatnya sejak kuliah.

Sejak Rai tiada, Dewa selalu setia berada di dekat Fara. Ia menemani perempuan itu sampai akhirnya Fara mampu berdiri di atas dua kakinya sendiri.

Lamunan Fara terpecah saat sebuah pesan masuk ke ponselnya,

Dewa: turun gih. Lima menit lagi gue udah di lobi.

Fara mengusap wajahnya sambil kembali mendesah. Mengapa sulit sekali menjadi mandiri dari seorang Dewantara Ghani Saputra??

Karena orangnya begitu keras kepala, Fara pun bergegas merapikan meja dan barang-barangnya, lalu berpamitan pada Pak Mulyono dan segera menuju ke lantai dasar. Ia menunggu di bagian drop off gedung kantornya selama lima menit sampai akhirnya Dewa muncul dengan sedan hitamnya.

Fara pun masuk dan kembali bertemu dengan si sahabat lama. Pria itu tersenyum menyapanya meskipun Fara dapat melihat wajah lelahnya.

"Kerjaan lo gimana?" tanya Fara.

"Gampang dikerjain di rumah bisa," jawab Dewa.

"Harusnya nggak perlu repot-repot... gue bisa kok sendiri," ucap Fara sambil menunduk.

"Ya bisa, tapi gue nggak mau."

"Kenapa?"

"Lima tahun lalu gue udah janji, Far."

"Wa, gue udah baik-baik aja sekarang..."

"Gue janji di depan makan Rai. Lo dan Nara kewajiban gue sekarang."

Fara diam sementara Dewa menatapnya dan jalanan secara bergantian. Perempuan itu menarik nafas panjang sambil melihat sahabatnya baik-baik.

Usia mereka kini sama-sama berada di pertengahan 30an, tapi di mata Fara penampilan Dewa masih begitu segar. Selain sifat urakannya, pria itu seperti tidak kehilangan apapun dari masa kuliah mereka. Tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang cerah dan rambut yang tebal, Dewa masih memiliki itu semua.

Dengan kemapanan dan status pekerjaannya, Dewa seharusnya dapat menggaet gadis-gadis yang bahkan 10 tahun lebih muda dari mereka. Fara tahu banyak yang mengagumi Dewa selama ini, termasuk para daun muda.

Laki-laki normal lain tidak akan menghabiskan waktu mereka bersama Fara. Tapi perempuan itu tahu Dewa memang tidak normal, dan dia harus menyadarkan bahwa Dewa tidak memiliki kewajiban apapun terhadapnya.

"Lo harusnya mulai pikirin diri lo sendiri, Wa," ucap Fara. Ia harus menyampaikan bahwa Dewa harus mulai menata hidupnya, membangun keluarganya.

"Kenapa lo bisa mikir gue nggak mikirin diri gue sendiri?" tanya Dewa.

"Ya menurut lo aja deh!" batin Fara gemas. Dewa selalu pura-pura tidak melihat jawaban yang sebenarnya berada tepat di depan matanya. Tapi Fara berusaha sabar.

Bicara dengan Dewa memang harus sabar.

"Lima tahun lo ngurusin gue, nggak ada yang ngurusin diri lo. Nggak boleh gitu..." Fara pun mencoba memberi penjelasan.

Mungkin kalau setelah ini Dewa masih merasa belum jelas, Fara akan menulis, "Cari istri!" Di kening laki-laki itu dan menyuruhnya berkaca.

"Hm? Gue pikir lima tahun ini kita saling ngurusin..." jawab Dewa tak acuh. Ia bahkan seperti tidak begitu memperhatikan perkataan Fara.

"Kenapa ya, gue selalu ngerasa nggak nyambung kalo ngomong sama lo?!" tanya Fara emosi. Ia merasa ucapannya bahkan tidak menyentuh otak Dewa sama sekali.

"Sama sih. Mungkin karena itu kita awet temenan," jawab Dewa datar dan asal.

"Ngaco dasar! Rumus dari mana lagi tuh?!" kata Fara, sewot tapi tergelitik. Dewa tak menjawab. Laki-laki itu tertawa dan tak lama teman seperjalanannya pun ikut terkekeh.

"It just..." di akhir tawa Fara, ia bicara dan kali ini Dewa tampak menyimak, "we're on our mid 30s and you should start thinking about it."

"About what?" tanya Dewa bingung. Fara memanyunkan bibirnya.

"Menikah, Dewa. Pikirin nikah."

Dewa hanya bergumam mendengarnya. Reaksi itu membuat Fara sebal. Daripada perjalanan mereka semakin tak nyaman, perempuan itu memutuskan untuk menyalakan playlist yang tersimpan di audio player mobil Dewa.

Sebuah lagu berkumandang, Can't smile without you.

Baik Fara maupun Dewa tersenyum di detik pertama mereka mendengar intro lagu itu. Selanjutnya mereka diam, membiarkan alunan suara Barry Manilow memenuhi mobil dengan kenangan masa kuliah mereka...

***

Lanjut dulu Heart Healernya, siapa tahu jadi penasaran...

Ditunggu komennyaaa ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top