17. Bicara Tentang Rai

Nara masuk ke rumah dengan wajah sumringah. Ia melompat-lompat kegirangan menghampiri Bu Farida.

"Eyang! Eyang! Nara dibeliin buku cerita baru sama Ayah Dewa!" seru Nara.

"Wah, seru banget... mau baca sama eyang nggak? Eyang kangen nih seharian nggak ketemu Nara," kata Bu Farida sambil memeluk dan mencium kedua pipi cucunya.

"Mauuu..." kata Nara senang.

Bu Farida menatap ke arah Dewa yang sudah berdiri di dekat mereka dan berkata, "Biar ibu yang sekalian bersih-bersihin Nara. Kamu sama Fara mandi terus istirahat dulu."

"Makasih, Bu," ucap Dewa sambil mengangguk. Nenek dan cucunya itu pun bergegas pergi.

Dewa berbalik dan senyumnya langsung kaku melihat wajah marah Fara yang sudah bertolak pinggang.

"Aku bilang apa?! No spoiling!" Kata Fara sambil mengacungkan telunjuknya. Ia maju sampai berada tepat di depan wajah Dewa.

"It's just one book, Far... stop over-reacting," kata Dewa sambil mundur selangkah karena risih dengan kejudesan istrinya. Ucapan Dewa barusan langsung membuat Fara makin naik pitam.

"Over-reacting kamu bilang?! Itu activity book yang tebel, dapet stiker sama spidol! Kamu liat nggak harganya, hah?!" Fara memukul-mukul dan mencubiti Dewa saking kesalnya. Tentu saja tidak ampuh membuat pria itu kesakitan, tapi setidaknya emosinya dapat terlampiaskan.

"What could I do?! She's like a psychic, so persuasive..." respon Dewa sambil terkekeh.

"Weak!" Fara menghentakkan kakinya lalu berjalan menuju tangga.

"Jangan pelit-pelit. Uangku juga buat apalagi kalo bukan buat keluargaku?" Dewa mencuri kecup kepala Fara dan mendahului istrinya menuju lantai dua.

Fara hanya menatap punggung Dewa sambil tersenyum. Laki-laki itu benar-benar sudah menjadi keluarganya. Tidak ada nada canggung ketika Dewa berkata, "keluargaku" tadi.

Apa mungkin Fara juga harus mencoba mengesampingkan kecanggungannya dan lebih membuka diri pada Dewa?

Perempuan itu mendesah, lalu mengikuti suaminya ke atas.

***

Fara berdiri di depan ruang kerja dengan gugup. Setelah menarik nafas beberapa kali, ia pun Fara membuka pintu dengan satu tangan memegang nampan.

"Sibuk, Wa?" tanya Fara ketika melihat sosok pria itu sedang duduk sambil menatap layar laptop. Dewa langsung mengalihkan perhatiannya kepada Fara dan memberikan senyum yang sangat menawan.

"Lumayan. Tapi sejak kamu rapihin berkas-berkas aku, review report yang harus ditanda-tangan tuh jadi jauh lebih gampang," jawab Dewa.

"Not my first time handling files, Wa," kata Fara sambil meletakkan nampan berisi puding roti saus kurma dan teh hangat.

Di luar dugaan, Dewa langsung meninggalkan pekerjaannya dan menarik nampan itu. Fara spontan duduk di hadapan suaminya karena tertarik melihat reaksi Dewa setelah memakan camilan buatannya.

Wajah Dewa terlihat penuh semangat setelah memakan sesuap puding roti itu, "Enak banget!"

"Suka? Aku simpenin buat besok sarapan..." kata Fara.

"Suka banget! Manis gurih gini... bikinnya banyak nggak?"

"Lumayan. Jaga-jaga kalo Nara mau makan besok sore."

"Hmm... ada jatah buat aku bawa besok ke kantor nggak?"

"Kamu suka?" Fara semakin terlihat antusias. Hatinya terasa lebih senang saat Dewa mengangguk dan menjawab, "Banget."

"Besok aku siapin untuk sekalian dibawa sama bekal kamu ya," ucap Fara.

Perempuan itu lalu diam sambil memandangi Dewa menghabisi camilan buatannya. Lalu Fara pun teringat percakapan saat makan siang tadi.

Fara bingung bagaimana harus memulai, tapi ia tahu bahwa dirinya ingin membicarakan hal yang mengganjal di hatinya dengan Dewa.

"Sebelum nikah, Nara pernah bilang kalau kamu sering cerita tentang Rai..." Fara membuka percakapan yang membuat Dewa berhenti mengunyah sesaat.

Pria itu menatap istrinya dan baru menyadari bahwa ternyata sejak tadi seolah menahan gelisah sendirian.

"Nggak boleh ya, Far? Sorry... aku kasihan sama dia. Dia rindu ayahnya..." jelas Dewa dengan nada menyesal.

Fara menatapnya dengan wajah seperti ingin menangis, tapi senyum perempuan itu terukir manis.

"Wa... karena Nara bilang gitu aku jadi setuju buat nikah sama kamu," kata Fara. Dewa tersenyum lega dan bersandar di kursinya. Ia menatap ke atas, mengingat-ingat lagi masa muda mereka. Masa ketika Rai masih ada.

"Kamu... Rai... cuma kalian yang pernah begitu percaya sama aku. Duet jodoh jadul yang persistent dan susah banget dihindarin..."

Fara dan Dewa tertawa sesaat. Dewa kembali menatap ke arah perempuan di hadapannya dan jantungnya berdebar tak keruan melihat air mata Fara sudah nyaris jatuh.

"Hey..." Dewa segera berdiri dan menuju kursi Fara, lalu memeluk sang istri erat-erat. Fara menerima pelukan itu, seolah hanya itu yang dibutuhkan saat ini.

"Dia terlalu baik sih, makanya cepet dipanggil Tuhan!" Fara terisak dalam dekapan Dewa, mencoba meredam pilunya yang selalu muncul tiap mengingat Rai.

"He is, indeed..." jawab Dewa dengan suara yang rendah dan meneduhkan.

"Aku udah suruh dia untuk nggak terlalu baik. Egois sedikiiit aja... ngeselin sedikiiiittt... jangan terus berusaha ngertiin aku, ngertiin orang lain. Kalo Tuhan udah sayang ya gitu tuh, cepet dipanggilnya..."

"Fara..."

Dewa nyaris ingin menghentikan luapan perasaan istrinya. Tapi mungkin ini yang dibutuhkan Fara. Lima tahun ia hidup tanpa membicarakan Rai pada siapapun sama sekali. Mungkin ini saatnya ia menyalurkan segala hal yang ia pendam selama ini.

"Akhirnya aku kan jadi ditinggalin sendirian!" seru Fara.

"Iya..." Dewa mengusap-usap punggung Fara, berusaha membuat perempuan itu merasa lebih baik.

"Akhirnya aku jadi nggak bisa liat dia lagi..." Fara meremas kaus Dewa erat-erat sementara menahan tubuhnya yang bergetar. Tangisnya pecah. Meskipun Fara masih menahan suaranya agar tidak menjadi histeris, tapi isakan perempuan itu mampu membuat jantung Dewa ngilu.

Rai, cinta pertama Fara. Laki-laki pertama yang memilih dan dipilih Fara sejak mereka masih berseragam SMA.

Rai, kekasih pertama dan terakhir Fara yang melewati belasan tahun berada di sisi perempuan itu.

Rai yang dulu selalu ada, kini begitu tak terjangkau.

"He truly was an annoying-warmhearted guy," Dewa melepas tawanya singkat. Entah kenapa itulah yang terbesit di kepalanya.

"He was my annoying-warmhearted guy..." Fara mengadah mencari tatapan Dewa. Wajahnya sudah basah dan lengket oleh air mata.

"He still is, Far... he still is..." Dewa mengusap-usap wajah Fara, mengeringkannya dari perih yang keluar lewat buliran-buliran tangis itu.

Dewa memasukkan Fara kembali dalam dekapannya agat perempuan itu puas menangis.

Dalam dekapan Dewa, Fara seperti menemukan tempat peristirahatan. Ia melampiaskan lelah dan gundahnya di sana. Dengan sabar suaminya itu memberi waktu sebanyak yang Fara butuhkan sampai ia tenang.

Setelah tangisnya reda, Fara menatap Dewa. Pria itu tersenyum padanya dan mengecup dahinya perlahan.

"Jangan sedih, Far... nanti aku dimarahin Rai karena nggak bisa bikin kamu ketawa."

Fara melepaskan tawanya, "Kalian lucu banget kalo lagi berantem."

"Ketawanya harus sambil inget aku sama dia berantem ya?"

Fara pun terkekeh kecil sambil mendekap Dewa erat. Perempuan itu memejamkan mata. Untuk pertama kalinya ia tidak merasa sakit saat mengingat Rai.

Untuk pertama kalinya Fara lega ketika Rai berada dalam benaknya.

***

Seperti yang udah dijanjikan... semoga suka sama bab ini yaaa 😊

Komen2 boleh looohhh... biar ga sepi-sepi amat lapakku 😝

Sampe jumpa di bab selanjutnyaa~ ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top