13. Dalam Kantor Dewa

Fara melangkah malas masuk ke gedung kantor yang luar biasa megah itu untuk pertama kalinya.

Jika kantor Fara menyewa satu lantai di suatu gedung perkantoran tinggi, maka kantor Dewa adalah sebuah bangunan besar berlantai delapan yang dapat menampung ribuan karyawan di dalamnya.

Tapi suasana hati Fara begitu buruk sehingga ia tak merasa kagum dan terpesona dengan kantor Dewa. Padahal normalnya, orang yang pertama kali datang ke kantor super besar dengan desain interior yang terkesan segar dan dinamis itu pasti akan terkesima.

Resepsionis sudah tidak ada malam itu. Fara melihat beberapa pegawai sekuriti lah yang menjaga meja di lobi utama. Mereka tengah mengobrol dengan beberapa orang yang berpakaian seperti seorang eksekutif.

"Permisi, saya mau ketemu Dewa," ucap Fara setelah sampai ke meja resepsionis.

"Bu Fara ya? Sudah saya tunggu, Bu," kata seorang perempuan yang Fara tebak berada di pertengahan usia 20an. Perempuan itu tersenyum sangat lebar sambil mendekat ke arah Fara.

"Saya Maura, asisten Pak Dewa. Saya disuruh tunggu Bu Fara di sini untuk diantar ke ruangan Pak Dewa di lantai empat," ucap gadis itu.

Rasanya kikuk juga dipanggil Bu oleh perempuan berpenampilan sebaik Maura. Tapi mengingat jabatan Dewa di kantor, Fara pun maklum dan tersenyum.

"Di sini kalau mau ke atas harus pakai tanda pengenal, Bu. Sistem lift-nya baru berjalan kalau ID sudah di scan. Jadi saya harus antar ibu ke atas," Maura menjelaskan sambil mengantar Fara ke lantai tiga menggunakan lift tersebut.

Fara mengangguk paham. Gedung kantornya sendiri sedikit-banyak memakai sistem yang sama. Di gedung ini, ID itu ditempelkan saat masuk lift. Sementara di gedung tempat Fara bekerja, ia tempelkan ID di mesin luar lift sambil memasukkan nomor lantai yang ia tuju. Setelah itu mesin tersebut akan mengarahkan ke lift yang dipanggil.

Di dalam lift, Maura tak berhenti melirik Fara sambil menahan senyumnya.

"Kenapa, Mbaknya?" tanya Fara penasaran. Raut geli Maura membuatnya ingin ikut tersenyum juga.

"Nggak apa-apa, Bu. Tiga tahun saya kerja sama Pak Dewa, baru tadi saya liat dia panik karena ibu mau datang ke sini," kata Maura.

"Emang tadi Pak Dewa paniknya gimana?" tanya Fara semakin ingin tahu. Tanpa sadar kekesalannya mulai memudar.

"Tiap lima menit keluar ruang rapat, ngingetin saya buat nungguin ibu. Pas saya udah turun aja katanya dia nyari saya. Lah, saya kan harus nungguin di bawah, ngapain dia cari lagi kan?! Takut banget saya nggak ketemu sama Bu Fara..." kata Maura. Fara terkekeh mendengarnya. Ia cukup terhibur mendengar Dewa pontang-panting karena kedatangannya.

Sampai di lantai atas, Maura langsung mengantar Fara menuju ruangan Dewa. Saat masuk ke dalam divisi marketing, Fara melihat ada beberapa karyawan yang masih lembur. Mereka yang tadinya sibuk bekerja serempak menatapnya saat ia masuk diiringi Maura.

Entah mengapa Fara merasa menjadi pusat perhatian meskipun semua karyawan di sana diam. Hal ini membuatnya salah tingkah.

"Silakan, Bu..." ucap Maura sopan sambil mempersilakan Fara berjalan menuju ruangan besar di ujung divisi marketing. Fara berusaha tersenyum walaupun perasaannya begitu canggung.

"Wah, istrinya Pak Dewa ya?" Sahut seseorang. Fara berbalik dan ia menangkap salah seorang bawahan Dewa yang datang ke pernikahannya. Fara ingat karena dia adalah salah satu bawahan Dewa yang ia anggap sebagai perempuan yang menarik.

"Apa kabar, Bu?" sapa perempuan itu sambil mengulurkan tangan Dia memang sangat supel dan hangat meskipun mereka tidak begitu mengenal.

"Baik-baik... Mbak Ririn kan ya?" jawab Fara menyambut jabatan tangan yang ditawarkan. Ririn mengangguk membenarkan tebakan Fara tentang namanya.

"Hai kalian warga marketing yang kepo! Ini loh istrinya Pak Dewa..." seru Ririn ke seisi ruangan. Fara cukup terkejut dengan tindakan itu, apalagi ketika akhirnya karyawan yang sedari tadi pura-pura sibuk semua berdiri dan mengantri untuk berkenalan dengan Fara.

Pernikahan Fara dan Dewa memang sederhana tidak mengundang banyak tamu sehingga tak heran kebanyakan karyawan di divisi tersebut tidak mengenalnya.

"Ya ampun... jadi ini yang bikin Pak Dewa kepingin cepet-cepet pulang terus..." ucap seorang karyawati muda.

"Nggak heran sih..." balas karyawati lainnya.

"Kalo orang cakep pasangannya juga harus cantik begini ya? Apalah aku yang hanya serbuk kayu..." keluh karyawati yang berbeda.

Banyaknya karyawati yang sedang lembur membuat suasana riuh dengan celetukan-celetukan ramai khas perempuan. Fara merasa geli melihat dua karyawan laki-laki hanya mengangguk-angguk dan ikut tertawa tanpa suara.

"Di sini Pak Dewa tuh banyak fans-nya," bisik Maura cepat pada Fara di tengah riuh ramai para karyawati yang asyik merumpi. Seketika sang istri bos idola itu mengangguk sambil tersenyum lebar.

Dewa yang kalem dan penyendiri kini telah menemukan panggungnya.

Sebenarnya Fara bisa menebak kepopuleran Dewa. Fisik pria itu kini memang sangat menarik. Ditambah kharisma saat sedang bicara serius, Dewa memang mampu membuat jantung perempuan manapun berdebar tak keruan saat menghadapinya.

Apalagi Dewa memang jarang membuka diri dan memperlihatkan sisi aslinya yang terkadang bisa menjadi sangat menyebalkan.

Kini, laki-laki itu telah menjadi suami Fara. Milik Fara seutuhnya.

"Ayo ayo, udah! Balik kerja lagi, guys..." seru Ririn setelah semua karyawan yang ada selesai berkenalan dengan Fara. Ia lalu menatap istri bos-nya itu, "Maaf ya, Bu. Aku tahu mereka pada penasaran sama Bu fara, jadi aku kenalin sekalian aja."

Fara tertawa geli. Kelihatannya lingkungan kerja Dewa sangat menyenangkan. Ia menjadi merasa lebih santai dan tidak bosan karena suasana yang amat bersahabat ini.

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku seneng kok bisa kenalan sama temen-temen kerjanya Dewa," kata Fara.

Beberapa karyawati terkekeh mendengar ucapan Fara tadi.

"Seneng ya dibilang temennya Pak Dewa?" tanya Ririn.

"Huu... jangan berharap lo!" seru seorang karyawati kepada temannya yang terkekeh barusan. Seisi ruangan itu pun tertawa lagi.

"Ya udah, Ra, Bu Fara biar istirahat di ruangan Pak Dewa aja. Sekalian nungguin suaminya. Saya duluan ya. Harus lanjut meeting-nya. Ini lagi kabur buat refreshing sebentar. Hehehe..." kata Ririn. Perempuan itu melambaikan tangannya pada Fara dan bergegas pergi.

Maura kembali menggiring Fara ke suatu ruangan dalam divisi tersebut.

Betapa terkejutnya Fara ketika mendapati ruangan yang sangat besar. Sulit menebak seberapa luas ruangan itu dari luar karena permukaan sisi-nya rata. Tapi memang ternyata luasnya sedikit di atas ekspektasi Fara.

Terdapat tiga rak buku yang sangat besar, dua sofa single dan satu sofa memanjang, lalu meja kerja yang sangat besar dan kursi yang nyaman di balik meja itu.

Desain interiornya tidak mencirikan Dewa yang cenderung sederhana. Banyak ornamen unik di dalamnya. Tapi semuanya memanjakan mata Fara.

"Istirahat dulu, Bu. Saya tinggal ya..." ucap Maura.

"Makasih banyak ya, Ra," balas Fara. Maura mengangguk dan beranjak.

Fara tersenyum. Ia melupakan kemarahannya pada Dewa saat itu juga. Dengan semangat ia duduk di sofa empuk itu. Dirinya pun mencoba berbaring di sana.

"Ampuuunnn... pewe banget!!" Seru Fara. Ia menatap langit-langit ruangan Dewa, angannya pun perlahan melambung.

Fara pikir ia yang paling tahu segala tentang Dewa. Ia pikir dirinya adalah sosok terdekat laki-laki itu. Tapi setelah menikah perempuan itu baru sadar bahwa banyak yang tidak ia ketahui tentang suaminya.

Dewa yang dulu cuek kini berubah posesif, yang dulu kasar kini begitu lembut dan perhatian. Bahkan secara penampilan pun kucing liar itu kini telah berubah menjadi pangeran.

Semua hal itu membuat Fara pusing. Termasuk malam ini, perempuan itu semakin bingung dengan batas antara dirinya dan Dewa. Apakah mereka masih sahabat? Tapi sahabat mana mungkin melarang-larang untuk sekadar pulang?

Kenyataannya mereka belum menjadi suami dan istri seutuhnya dan Fara tak nyaman dengan rasa bersalahnya akan hal itu.

Apakah kini dia harus melihat Dewa sebagai seorang laki-laki? Sebagai suami yang diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang lebih dari sekadar berangkulan dan mengacak-acak rambut?

Mata Fara terasa semakin berat saat memikirkan Dewa. Perlahan tapi pasti, mata itu menutup seiring dengan perginya kesadaran perempuan itu.

***

Setahuku, marketing itu biasanya divisi yang kaku karena selalu menghadapi dengan target dan angka-angka penjualan.

Ralat dari anak marketing: justru nggak boleh kaku biar nggak susah ngadepin customer. Jadi biar dikejar target, kerja harus tetep have fun. Semangat buat para marketers!!

Rasanya seru juga kalau buat suasana kerja marketing yang fun. Biar pekerjaannya tidak se-fun itu, setidaknya team di dalamnya bisa saling menghibur agar suasana kerja tidak terlalu berat.

Gitu deh. Hehehee...

See you on next chapter ❤

Btw, follow IG-ku juga yuukk.. @sacchan_sasa yaaa.. ditunggu mampirnyaa 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top