7 : Resah

Bonne lecture!

Ingin rasanya Makoto meminta senior perempuannya untuk berhenti menjadi baik-baik saja. Ia ingin memberitahu bahwa [Name] berhak lepas dari ketidakpastian dan rasa bersalah. Gadis itu berhak untuk merasakan kebahagiaan.

Si pirang muda itu hanya mampu menggigit jari dengan mata terbelalak lebar tatkala melihat sang senior diamuk oleh wanita yang disebut sebagai sang ibunda. Ia tetap bergeming meskipun rekan satu grupnya mendesis dan menggeram tidak suka dengan tindakan kasar tersebut.

Begitu mobil pembawa sang ibunda melaju pergi, tubuhnya seolah terasa ringan dan bergerak cepat dengan sendirinya.

"[Name]-san!"

Gadis yang ia panggil itu melirik dan mengembangkan senyum tipis. Sang senior menutupi pipi kirinya yang-tentu saja---mendapat jejak merah nan perih. "Yang tadi jangan ditiru, ya," ujar [Name] dengan lembut.

Makoto terdiam di tempat. Dadanya bergemuruh. Ia tak senang ketika [Name] terlihat menunjukkan bahwa gadis itu baik-baik saja. Batinnya menyayangkan sikap sang senior yang terlalu pasrah ketika berhadapan dengan orang yang merendahkannya.

"[Name]-san ..." Makoto terlihat ragu, namun dengan cepat dia menguasai diri dan melanjutkan ucapannya, "... ayo, kutemani ke klinik sekolah."

Senior perempuannya itu tidak menjawab lebih lanjut selain senyuman tipis dan anggukan pelan.

"Itu pasti sakit," tuturnya lirih. Lewat cermin besar di ruang kesehatan itulah Makoto menemukan memar dan luka di wajah [Name]. Gadis itu secara mandiri mengobati luka-lukanya dan melarang Makoto membantunya.

"Ini harga yang kubayar untuk rasa sakit ibuku. Lagipula aku selalu latihan bela diri, jadi ini tidak ada apa-apanya."

"Bagaimana jika nanti diolok-olok Izumi-san? Nanti dia jadi tahu kelemahan [Name]-san."

[Name] terdiam. Kakak kelas itu melirik Makoto lewat cermin. Hanya sebentar, gadis itu kembali sibuk membubuhkan salep pereda nyeri di sekitar memar pipinya.

"Si Uban itu tidak tahu apa-apa. Kau tidak membocorkan apapun, kan?"

Makoto membeku di tempat. Wajahnya kentara panik. Si pirang lugu itu menunduk dengan perasaan bersalah. "A-aku hanya memberi kode bahwa [Name]-san pernah menyukainya-tapi tenang saja! Izumi-san tidak peka, kok!"

"Bagus kalau dia tidak peka. Yang penting kau tidak mengatakannya secara gamblang. Jika kau melanggar ..." [Name] menyeringai. Bungkus obat salep yang sudah habis seketika diremat kuat oleh satu tangannya. Gadis itu meletakkan kepalan tangannya agak keras di meja, kemudian memperlihatkan bungkus seukuran jari tengahnya sudah tak terbentuk lagi.

"... nasib citramu akan seperti obat salep ini."

Seram! Makoto bergidik ngeri. Lantas si pirang itu komat-kamit mengingatkan diri sendiri agar tidak terlibat lebih jauh dengan urusan senior perempuannya.

Di sisi lain, [Name] yang melihat reaksi juniornya itu tertawa geli, "Tenang saja, itu hanya perumpamaan. Lagipula uban cabe itu tidak akan pernah peka. Dia tidak mungkin menyelidiki hal yang bukan urusannya."

"I-iya, kah? Haha, syukurlah," ujar Makoto sembari tertawa canggung. Tangannya terasa dingin, namun bulir keringat terus keluar dari pelipisnya.

"-chan, Mako-chan?"

Makoto terhenyak kala sebuah tangan melambai-lambai tepat di wajahnya. Ia memundurkan langkah saking terkejutnya.

"Y-ya?"

Si pirang lugu itu mencium bau obat yang tajam dari lambaian tangan sang senior. Tangan yang rupanya tadi digunakan untuk meremukkan bungkus obat salep. Lagi-lagi ia bergidik ngeri mengingat seberapa cepat benda tersebut remuk secara mengenaskan di tangan [Name].

"Kau masih takut denganku?" Senior perempuan itu menunjuk tepat dahi Makoto. Untungnya, kuku [Name] tidak seruncing kuku penyihir dalam dongeng.

"Ti-tidak!"

[Name] memiringkan kepala dengan satu alis terangkat heran. Gadis itu kemudian menarik tangannya sendiri. Diam-diam Makoto mengembuskan napas lega. Pemuda itu bertahan dalam diam sepanjang mengamati dan mengikuti sang senior keluar dari klinik kesehatan.

"Bukan salahmu jika mengira diriku menyeramkan. Anak-anak di kelasku juga bilang begitu sampai rasanya sulit mencari teman untuk diajak diskusi atau berkelompok."

Makoto lantas menengok ke arah [Name] dengan raut tercengang. Betapa naif dirinya yang tidak menyadari bahwa senior perempuannya itu tidak pernah mengenalkan siapapun sebagai teman kelas, teman main, atau teman apapun selama ini kepadanya. Gadis itu selalu datang seorang diri, pergi pun tak diketahui ke mana arahnya.

"Apa [Name]-san tidak ingin pindah ke jurusan idol?"

[Name] malah menatap Makoto dengan raut muka seolah tidak percaya. Makoto ikut kaget melihat wajah sang senior yang seperti berniat memecahkan kepalanya.

"Itu sudah sangat terlambat, Mako-chan. Sangat terlambat."

Entah mengapa, Makoto merasakan nada yang sendu pada kalimat yang dilontarkan senior perempuannya itu. Ia membuka mulutnya, ingin mengutarakan hal yang selama ini ada di dalam kepalanya. Sayangnya, tenggorokannya tak jua melepaskan suara.

Tepukan pelan di pundak mengejutkannya. "Kau kenapa? Kerasukan?"

"Bu-bukan! Duh, kenapa [Name]-san selalu mengagetkanku?"

Gadis di hadapannya itu malah terkikik geli. [Name] mengulurkan tangannya pada lorong yang tak lain merupakan jalan menuju kelas Makoto, mempersilakan. Pada pintu yang diketahui menjadi ruang kelas Makoto, sudah berdiri sosok penunggunya-Sena Izumi.

Makoto tidak lagi melanjutkan langkahnya. Tangannya tiba-tiba meraih lengan [Name] dan menarik gadis itu hingga keduanya berhadapan dengan Izumi. Perlu diketahui bahwa jantungnya berdentum tidak karuan karena mempertemukan dua pihak yang sejak awal berada dalam paham yang berbeda.

"[Name]-san, Izumi-san," Makoto menarik napas panjang dan hendak melanjutkan ucapannya, akan tetapi lidahnya mendadak kelu. Hanya sepasang matanya yang bergerak melihat kedua seniornya yang tengah menatap bingung. Ia merasa tenggorokannya begitu sulit untuk mengeluarkan suara. Sesuatu seolah menahannya untuk mengutarakan solusi dari perang yang selama ini tersulut di antara dua seniornya itu.

Hingga pada akhirnya ia baru tersadar ketika genggaman tangannya pada [Name] dilepas.

"Sudah, ya. Aku hanya mengantar sampai di sini. Sampai nanti lagi," pamit gadis itu padanya dan bergegas balik badan. Tiada waktu untuk menyapa si kelabu, lagipula pemuda yang berdiri di samping Makoto pun tidak jua berbicara. Diam mengamati punggung sang dara yang makin jauh dari pandangan.

"Aku yakin Izumi-san pasti melihat penyebab memar di wajah [Name]-san."

Makoto melirik seniornya itu. Ia sedikit merasa lega ketika kalimatnya itu tidak menjadi pemantik dari sumbu amarah Izumi.

"[Name]-san orangnya baik. Seharusnya Izumi-san tidak asal ambil kesimpulan pendek hanya karena [Name]-san sering berada di gedung ini. Kuharap Iz—"

"Memangnya apa pedulimu?"

Makoto terbungkam sejenak ketika ucapannya dipotong. Wajahnya sedikit masam, akan tetapi juga tidak ingin asal berucap dan membuat perjanjian tak tertulisnya dengan [Name] terlanggar. Ancaman gadis itu masih terngiang di kepala.
"A-aku mengatakan hal ini demi kebaikannya. Memangnya pada siapa lagi [Name]-san akan bercerita tentang masalahnya? Tidak mungkin kepadamu, Izumi-san,"

Dan tidak mungkin juga kau mau mendengar seluruh keluh kesahnya sekalipun perasaan [Name]-san terbalas, lanjutnya dalam hati.

Sungguh, jika Makoto mau, ia bisa saja berusaha menggantikan figur cinta sepihak [Name]. Cahaya bintang tidak hanya satu, tetapi jutaan. Bukankah lebih baik beralih pada bintang lain yang lebih menerimanya daripada fokus pada suatu bintang bercahaya terang namun dingin tak tersentuh itu? Mengapa memilih bertahan dengan rasa sakit yang mampu menggerogoti kewarasannya?

"Karena itulah, Izumi-san tidak tahu apa-apa. Tolong jangan katakan apapun terkait masalah [Name]-san ketika bertemu dengannya. Aku permisi."

Dengan begitu Makoto kembali ke kelas dan meninggalkan sang senior di lorong seorang diri. Sampai di kelas, ia langsung dikerumuni rekan satu unitnya beserta Anzu. Mereka bertanya mengenai kondisi [Name] dengan wajah panik dan cemas.

"[Name]-san sudah baik-baik saja," begitu jawabnya, dengan nada yang berbanding terbalik dari ucapannya.

Tiga bulan setengah haha :"

Maafkan Shin yang baru update karena selama mode [On Hold] ku lagi beradaptasi dengan lingkungan baru dan tentunya "materi baru" (ノTwT)ノ /nangisin jawaban uts/

Ada yang mikir Makoto agak ooc? YAK TEPAT SEKALI HAHAHAY karena sikonnya bikin dia jadi begitu

Shin berusaha nyicil ini di tengah gempuran tugas esai & makalah yang ga habis-habis dari setiap matkul, doakan tida mangkrak karena yang mangkrak alias balik jadi draft udah banyak :"D

Shin,
27 Oct. 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top