5 : Reaksi
Oke, bagian ini bakal cheesy ala-ala sinetron kebanggaan buibu. Tidak untuk ditiru, dipraktekan, diterapkan, dan sejenisnya dalam kehidupan sehari-hari
Warning : harsh words
[Name] kecil awalnya belum mengetahui bahwa hidupnya sebagian besar tidak seperti anak perempuan pada usianya.
Ia belum mengerti bahwa waktu senggang anak-anak lainnya adalah waktu bermain. Berbeda jauh dengannya yang menjadikan—sebetulnya diperintahkan—waktu senggang sebagai waktu mempelajari banyak hal yang seharusnya digeluti ketika usianya sudah lebih matang.
Ia belum memahami bagaimana orang dewasa, terlebih orang tua, memberikan kasih sayang kepada anaknya. Tangan orang tua jauh tergapai, makin jauh lagi ketika tangan—yang katanya—wali asuhnya menarik pergi dan membuat bentangan jarak bagi [Name] kecil dan keluarga.
Orang di sekitarnya saat itu tak mengajarkannya untuk berbagi cerita ketika ada sesuatu yang mengusik pikiran. Mereka berpegang teguh pada kepercayaan diri mengatasi masalah sendiri tanpa bantuan orang lain. Maka [Name], yang waktu itu masih mendekap erat buku dongeng bergambar miliknya, ikut tersugesti.
Punggung dingin orang lain merupakan gambaran yang dilihatnya sehari-hari. Atau ketika berbalik, kedua tangan mereka membawa tumpukan buku tebal maupun benda tumpul sebagai gertakan agar gadis kecil itu patuh.
Suatu hal ironis yang membentuk kepribadian [Name] hingga seperti sekarang.
"Kuharap kau tidak mengeluh karena diam terus di sini."
Gadis itu tetap bergeming di dekat troli meskipun figur sang adik kelas telah menghilang di balik rak supermarket. Ia beralih memandangi Izumi yang rupanya tengah menatapnya tajam.
"Apa motifmu mendekati Yuu-kun?"
[Name] mendengus. Ia menarik senyum tipis dan menggeleng pelan. "Tidak ada keuntungan yang kudapatkan jika aku berbuat jahat pada orang yang sudah kuanggap adikku sendiri."
[Name] sebetulnya tidak suka ketika kedekatannya pada orang lain disalahpahami. Ayolah, ia berusaha hidup sebagai siswi biasa di permukaan dan membuat batas tinggi antara kehidupan kelamnya dengan kesehariannya.
"Aku tidak percaya dengan hal itu."
"Dan aku tidak menuntutmu untuk percaya."
Alis si kelabu bertaut tak senang. [Name] memberikan gestur tengah menyembunyikan sesuatu secara terang-terangan, bagaimana Izumi tidak curiga?
"Sebetulnya agak tidak etis membicarakan ini di tempat umum," [Name] menggaruk belakang telinganya, bingung dan ragu ingin menjelaskan apa. "Aku hanya tidak ingin Mako-chan berakhir sama sepertiku yang terjebak diseret ombak."
Diam-diam, kepalan tangan si gadis mengerat. Keputusannya membicarakan hal ini lebih cepat nyatanya membuat posisinya di mata orang lain menjadi lebih riskan. Namun, ia juga tidak tahu kapan lagi waktu yang tepat untuk mengatakannya.
"Karena itu, sebelum aku benar-benar pergi, aku ingin melihatnya merentangkan sayapnya dan terbang bebas menuju langit penuh bintang."
"Sampai berkata seperti itu, memang—"
Suara Izumi teredam oleh kegaduhan pengunjung lain. Pemuda itu memberengut ketika tanggapan lawan bicaranya hanyalah mengerutkan dahi. "Lupakan saja. Sana ambil kebutuhanmu."
Jawaban [Name] juga teredam oleh suara dari asal yang sama. Ia kemudian memberi gestur mengiyakan dengan tangannya dan berbalik menuju salah satu rak. Gadis itu sempat mengintip apa yang terjadi di balik celak rak supermarket tersebut, penasaran.
Entah sedang sial atau buah karma karena menguping masalah orang lain, rak yang ada di hadapannya ini terdorong miring ke arahnya. [Name] memang latihan fisik setiap hari, namun refleknya tetap saja sedikit kalah cepat. Gadis itu berbalik dan menahan rak besi menggunakan bagian belakang tubuhnya, dimeriahkan teriakan pengunjung lain yang syok oleh tingkahnya. Beberapa kali kepalanya tertimpuk barang-barang dari rak paling atas yang jatuh, namun untungnya tidak menyenggol rak di sebelah.
Lewat ekor matanya, ia melihat sekelebat bayangan menjauh dari balik rak. Gadis itu turut melihat si kelabu mematung tegak dengan wajah yang memucat.
[Name] menarik napas, "Kejar pelakunya, bodoh!"
Lengkingan tersebut rupanya menyadarkan si pemuda. Namun, bukannya mengikuti apa yang diucapkan [Name], si kelabu ini mendekatinya. Izumi dan pengunjung lainnya membantu [Name] memposisikan kembali rak besar itu.
[Name] mendesis begitu tubuhnya terbebas dari beban berat yang menimpanya. Punggungnya yang terbentur pembatas rak rupanya meninggalkan jejak panas nan perih. Gadis itu berusaha mengontrol raut wajahnya agar tidak menimbulkan rasa cemas dari orang-orang di sekitarnya. Terlebih keramaian di depannya ini tidak sebanyak di balik rak sana.
Tertatih-tatih menuju kerumunan yang lebih padat, [Name] berusaha mencari penyebab dari kesialannya itu. Samar-samar ia mendengar permintaan-permintaan yang kiranya familiar. Sehingga, tanpa sadar gadis itu menyerukan pendapatnya.
"A-aku mengenalnya!"
"Ternyata membebaskanmu tanpa pengawasan malah jadi berdampak buruk."
[Name] meringis kikuk kala dengar sindiran yang menusuk tepat ke hatinya. Si pirang di hadapannya ini masih menunjukkan keramah-tamahannya meskipun kilat matanya menyorot tajam.
"Itu di luar perkiraan kami." Makoto, si adik kelas baik itu memberi pembelaan.
Sang lawan bicara mengibas tangannya bosan. "Benar juga, kejadian itu tidak bisa diprediksi," terdapat jeda beberapa saat sebelum ia melanjutkan ucapannya, "Untungnya kerabat dari orang yang [Name] tolong punya hubungan bisnis denganku, jadi aku tidak merasa terlalu rugi."
"Iya, iya, aku dengar. Terima kasih atas kesediaannya membantu saya yang rendah ini, Yang Mulia Baginda Kaisar nan Agung, Tuan Tenshouin Eichi, bintang terbesar dari Kota Yumenosaki. Puas? Apa aku perlu bersimpuh?" [Name] menimpali dengan air muka tersenyum, namun kentara menahan kesal.
Punggungnya benar-benar sakit untuk sekedar diluruskan. Terlentang tidak bisa, bertelungkup pun malah membuatnya sesak napas. Sehingga, ia terpaksa duduk di atas ranjang pasien sambil mendengarkan celotehan dua pemuda berambut pirang di depannya. Tidak lupa di pangkuannya terdapat sepiring beraneka potongan buah segar.
Ngomong-ngomong, si kelabu bermulut pedas itu entah mengapa malah duduk diam menopang dagu di kursi penjenguk dan mengabaikan perbincangan di tengah ruangan. Meskipun raganya berpose ngganteng di kursi empuk sana, namun pikirannya seolah berkelana jauh entah ke mana.
"Eichi, aku ingin kurang ajar sedikit," ujar [Name] kembali membuka suara.
Eichi menarik senyumnya lebar, "Tentu. Ada apa?"
"Aku lapar. Sangat lapar. Tolong belikan makanan dua porsi untukku."
Walaupun [Name] lega keinginannya akan dituruti, ia tetap was-was ketika Eichi dengan akrab merangkul adik kelas mereka, Yuuki Makoto. Seperti bukan Eichi saja.
"Hei, Sena-kun, tukar penjagaan, ya!"
Di tempat duduknya, Izumi baru menyadari situasi dan berniat menyela. Sungguh disayangkan, adik kelas kesayangannya sudah keburu menghilang di balik pintu. Menyisakan dirinya dengan dara muda yang menikmati potongan buah.
[Name] menoleh ke Izumi seraya menyodorkan piring buah, "Mau? Tidak ada racun, tidak begitu manis." Gadis itu juga turut mengambil sepotong apel dan memakannya seperti biasa. Ia berinisiatif menunggu jawaban Izumi meski tangannya sudah pegal karena terus mengangkat piring.
Kunyahannya melambat seiring lamanya durasi tatapan si kelabu itu pada dirinya. [Name] mengerutkan dahinya, tolehkan kepala ke kanan dan kiri untuk memastikan sesuatu.
"Tidak ada yang ... mengganduliku, kan? Sena?"
Si kelabu itu tak merespon. Izumi hanya memiringkan sedikit tubuhnya hingga bisa bertopang dagu di sofa. Pandangannya lurus pada [Name], namun sorotnya kentara memikirkan sesuatu.
"Rukun dengan mantan ... rasanya seperti apa?"
Di posisinya, [Name] berjengit kaget dan nyaris tersedak. Matanya mengedip-ngedip bingung sebelum kemudian manggut-manggut mengerti. Diletakkannya nampan buah di atas nakas, kemudian memijat lengannya yang pegal karena terlalu lama menggantung di udara.
"Biasa saja. Kau dan mantanmu tidak rukun, ya?" kelakarnya sembari tertawa. Namun tak lama, gadis itu meringis perih. Luka-lukanya terasa panas, baik fisik maupun banitiah. Ia merutuki dirinya yang mengoceh tidak jelas.
Sejak kapan Izumi pacaran? Uban cabe itu, kan, kejar-kejaran dengan Mako-chan terus, Begitu batinnya menghibur.
Si kelabu itu mengalihkan atensinya pada jendela dengan tirai yang menutup setengah bagiannya. "Iya."
Kunyahan [Name] terhadap buah apel berhenti total. Ia tidak lagi meresapi manisnya; hanya asam. Dengan terpaksa gadis itu menelan makanannya untuk kemudian mengembangkan senyum.
"Mulut julid sepertimu ternyata punya mantan, eh?"
"Kepo."
Tawa kembali menggelegar. [Name] memilih menghabiskan apel yang sudah berubah asam begitu potongan buah itu menyapa rongga mulut. Entahlah, tapi isi kepalanya menyebut buah yang dipotong pengawal Eichi itu asam.
"Tidak heran, sih. Mana ada perempuan yang tahan berhadapan dengan orang sepertimu. Makan ati terus yang ada."
"Kau meremehkanku?!"
"Apa? Mau ribut? Sini, kuladeni!"
Si kelabu itu dengan cepat beranjak bangkit dan menghampiri ranjang pasien. Alisnya menukik disetai pandangan memicing. Namun, sang lawan adu mulutnya itu dengan nekat menaikkan dagu seolah menantang dirinya.
"Kau ini banyak bicara."
[Name] mengira Izumi akan mencubit maupun menarik telinganya. Gadis itu sudah antisipasi dengan mengepalkan tangan dan memposisikannya agar siap meninju. Dibanding cubitan pedas yang belum pernah ia terima dari si kelabu, rasa sakit ketika tertimpa rak besi jauh lebih perih. Bahkan kedua hal tersebut kalah mengerikan dari yang ia alami selama ini.
Sayangnya, [Name] terkadang melupakan suatu hal.
Pergerakan Izumi yang sebenarnya. Ia melupakan hal tersebut.
Hingga ketika pandangannya menggelap gulita, [Name] masih bergelut menentukan momentum yang tepat untuk membalas kelakuan si kelabu. Dadanya mencelos begitu sesuatu mendarat lembut di salah satu bagian wajahnya. Perutnya mulas dan terasa sangat penuh. Higungnya terasa geli ketika sentuhan seringan bulu di sana menciptakan jejak asing ke dalam pikirannya.
Yang pasti, wajahnya panas.
Panas!
Tangan yang menghalangi pandangannya pun lepas, menunjukkan wajah si kelabu yang sudah beralih ke samping dengan tangan lain yang membungkam mulutnya.
Hening berputar-putar dengan riang di ruangan tersebut. Jika benda mati bisa bicara, mungkin mereka akan mengoceh seberapa nekatnya seorang pemuda seperti Izumi Sena. Atau malah menertawai sikap keduanya.
Suasana sunyi itu terpecah oleh bunyi benturan keras dari tinjuan manis tangan [Name]. Sukses menciptakan jarak di antara keduanya. Teriakan memekik pun berkumandang, walaupun terdengar sedikit gemetar.
"Brengsek!"
Gadis manis itu langsung membentangkan selimut, menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik helai kain yang lebar itu. Ingin rasanya [Name] terjun ke lautan untuk mendinginkan kepala. Saat ini seluruh badannya menggigil, namun bukan karena kedinginan. Gadis itu menyentuh hidungnya dengan tangan yang gemetaran. Tanpa mengambil kaca pun [Name] yakin wajahnya pasti merah seperti buah ceri matang.
Sekali lagi, [Name] terkadang melupakan suatu hal.
Korban tinjuan tangannya sama-sama syok. Tentu saja, mana ada orang yang biasa-biasa saja ketika aset berharganya dihantam sedemikian rupa dengan tangan kosong. Bekas kepalan tangan itu memang menciptakan memar di rahang, namun warnanya tidak ada bedanya dengan wajah—bahkan telinganya.
Merah padam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top