4 : Dugaan
Baiklah, keputusan Makoto menggabungkan dua kucing garong dalam kegiatan akhir pekan sepertinya tidak bagus. Keduanya kembali menunjukkan taring dan menyebarkan aura permusuhan hingga beberapa kali diperhatikan orang-orang.
"Mako-chan harus belajar memberanikan diri!"
"Tidak ada wahana yang aman untuk Yuu-kun di sini!"
Sungguh, kali ini Makoto seperti bocah kecil yang menonton orang tuanya bertengkar. Kedua seniornya lagi-lagi berselisih pendapat masalah wahana taman bermain.
Sembari menunggu kesepakatan yang akan diambil, ia memilih membuka bungkus gulali dan memakannya.
"Ya sudah, kalian berdua di sini saja! Terserah deh, aku akan naik sendirian."
Makoto terperangah. Ia segera meraih ujung pakaian atas [Name] dan menahannya. "[Name]-san, aku ingin ikut."
"Itu bahaya, Yuu-kun!" sahut Izumi memberi peringatan.
[Name] berusaha menahan pekikannya dengan mendesis, "Apanya yang bahaya dari komedi putar?!"
Dan berdebat lagi.
Makoto geleng-geleng kepala. Ia heran mengapa dirinya bisa memiliki kakak kelas semacam mereka. Saran temannya soal mengakrabkan keduanya seolah menjadi misi mustahil kala melihat sejoli itu adu mulut tanpa putus di depan mata.
Mau tak mau, Makoto bergerak menyempil di antara keduanya untuk melerai. "Anu, begini saja. Kita bertiga naik wahana yang [Name]-san pilih, lalu yang dipilih Izumi-san, bagaimana? Kalau bergantian pasti semua wahana bisa dinaiki, kan?"
Dua seniornya itu menanggapi dengan respon yang bertolak belakang. [Name] manggut-manggut setuju sedangkan Izumi memberengut kesal. Menyadari hal tersebut Makoto melirik si gadis agar menyuarakan sesuatu yang kiranya bisa mengurangi kerutan tajam di wajah si kelabu.
"Kalian saja yang pilih wahananya," putus Izumi kemudian, membuahkan tatapan bingung dari dua yang lain.
Seorang seperti Izumi-san mengalah?
Makoto melirik kedua seniornya penuh kecurigaan. Beberapa hari yang lalu ia sempat menangkap interaksi mereka dari balik jendela kelas. Pemuda pirang itu melihat pemandangan langka sepasang siswa akhir tahun yang jalan beriringan dan mengobrol barang sebentar sebelum berpisah. Bahkan Makoto ingat dengan jelas salah satu seniornya ini masih bergeming di tempat meski punggung sang lawan bicara sudah tidak terlihat.
"Jangan menggerakkan matamu seperti bandul lonceng jam besar, Mako-chan. Nanti pusing," tutur [Name] segera menyadarkan Makoto dari lamunannya.
Pemuda berkacamata itu mengerjap beberapa kali dan baru paham. "A-aku hanya ... heran?"
"Ck, tidak ada yang aneh di sini," sahut Izumi menimpali.
Tepukan tangan menginterupsi. [Name] menarik senyum lebar. "Baiklah, kalau begini sudah diputuskan kalau aku dan Mako-chan yang akan memilih wahananya. Aku berusaha mencari permainan yang aman untuk jiwa dan raga adik kelas kesayanganmu ini."
Akhir pekan pun dilewati dengan ... cukup lancar, bagi Makoto. Meski masih saja berdebat, [Name] dan Izumi tidak sekeras kepala seperti tadi yang mempertahankan opini masing-masing. Jika Izumi bisa memberikan alasan yang masuk akal maka [Name] akan mencari wahana lain atau mengajak beristirahat dan menghabiskan jajanan.
Sesederhana itu, tapi tetap saja Makoto merasa aneh. Jikalau keduanya bisa akur seperti itu bukankah artinya mereka bisa saja berteman akrab di belakangnya? Bisa jadi keduanya membuat rencana dengan menjadi musuh bebuyutan di hadapan Makoto agar ia memiliki tugas mulia, yaitu mendamaikan mereka.
"Bisa jadi, bisa jadi ..."
"Apanya?"
Makoto terkesiap ketika gumaman rancunya ditanggapi. Ia meringis kikuk sembari menggaruk pipinya dengan jari. Dua pasang mata mengarah tepat padanya dengan sorot ekspresi yang sama.
"Kita sudahi saja. Yuu-kun sudah melantur begitu."
"A-aku tidak melantur!"
[Name] sempat memandang Makoto sebelum kembali ke arah Izumi. Gadis itu berniat mengatakan sesuatu, melihat matanya berkali-kali melirik sang adik kelas seperti mempertimbangkan sesuatu.
"Baiklah, ki—"
"Bagaimana kalau berbelanja? [Name] tadi bilang mau belanja bulanan, kan?" Makoto segera mengajukan usulannya. Petang saja belum datang, bagaimana bisa kedua kakak kelasnya itu memutuskan pulang? Walaupun keduanya merepotkan, Makoto tidak ingin akhir pekannya berakhir begitu saja.
"Kau tidak perlu repot-repot, aku bisa melakukannya sendiri."
Makoto berniat membantah hal tersebut, namun si kelabu sudah lebih dulu angkat bicara, "Benar katanya. Kita pulang saja, Yuu-kun."
Pemuda pirang itu jelas lebih menentang usulan Izumi. Ia bergeser mendekati tubuh sang dara yang sempat kebingungan sebelum akhirnya paham dan memberi perlindungan. "Dia tidak mau—dan jangan berniat memaksanya. Kalau sebegitunya ingin pulang, kau lakukan saja sendiri."
"Hah, mana bisa begitu?!"
[Name] menyilangkan lengan di depan dada dan menaikkan dagunya angkuh. "Tentu saja. Apa biaya taksinya harus aku yang bayar? Boleh."
Makoto dapat mendengar geraman kesal dari Izumi. Namun, ia tidak akan menyangka kalimat yang selanjutnya keluar di mulut pedas si kelabu itu.
"Aku ikut!"
Jujur, perkembangan hubungan dua kakak kelas itu terlihat lebih signifikan daripada sebelumnya. Mereka mulai berbagi informasi sepele seperti warna bayam yang bagus walaupun tetap berdebat di sebelah rak bahan makanan. Makoto yang bertugas mendorong troli pun diam-diam mengembuskan napas leganya.
Sampai di rak jajanan, [Name] memutar bola matanya bosan menanggapi ceramahan Izumi tentang buruknya kebiasaan ngemil makanan tanpa kenal waktu. Gadis itu akhirnya mengambil sebungkus makanan ringan dan melayangkannya ke bibir si kelabu agar pemuda itu diam.
"Apapun makananku itu bukan urusanmu. Ayo, Mako-chan, kita ke rak yang lain," ajaknya setelah menaruh jajanan tersebut pada troli yang dibawa.
Gadis itu melenggang pergi dan tak menghiraukan panggilan Izumi. Makoto sempat melirik keduanya bergantian sebelum mengikuti jejak senior perempuannya. Ia cukup heran dan bingung bagaimana [Name] bisa bertingkah seperti biasanya walaupun yang dihadapi adalah orang yang disukai. Jujur, Makoto tidak akan sekuat itu mempertahankan perasaannya.
Makoto membatin akan berguru pada [Name] begitu ia menemukan orang yang ia sukai diam-diam. Barangkali caranya berhasil, ia bisa membuka seminar dengan mengundang kakak kelasnya itu sebagai narasumber.
"Oh ya, berhenti di sini. Aku ada urusan."
Troli belanja berhenti di depan rak barang promo, menyebabkan kebingungan bagi Makoto yang dari awal mendorongnya.
"Kau bahkan belum membawanya ke kasir. Urusan apa lagi?" Bukan Makoto, namun Izumi yang melayangkan protes.
Si gadis mengembuskan napas panjang. "Akan sangat lucu jika aku meminta pendapat kalian tentang itu," tunjuknya pada rak besar menggunakan ibu jari, tepatnya pada kemasan barang yang diperuntukkan kaum hawa dalam menjalani bulan berdarah mereka.
Merah merebak di wajah Makoto. [Name] memang mengatakannya dengan nada datar, namun membayangkan seorang gadis sedang memilih kebutuhan khususnya sambil ditemani dua remaja laki-laki pastinya akan membuahkan keheranan dan prasangka aneh dari pengunjung lain.
Dan tentu saja Makoto ingin menghindar dari tatapan orang-orang.
"A-aku ingin mencari jajanan lagi. Izumi-san mau ikut?" tukasnya menawarkan.
"Malas. Aku jaga troli saja."
Baik Makoto maupun [Name] bertukar pandang kebingungan. Si gadis menaikkan kedua alisnya seolah bertanya apa yang tengah terjadi dengan si kelabu. Si kacamata menjawab dengan wajah berkerut dan menggeleng kecil, tidak tahu apa yang mengubah pikiran senior lelakinya hingga menjadi seperti ini.
"Kuharap kau tidak mengeluh karena diam di sini."
Setelah itu Makoto memutar tumit agar kembali pada rak sebelumnya. Tidak banyak yang ia ambil; sebetulnya adalah makanan yang diambil Izumi karena katanya tidak lolos sebagai camilan.
Pemuda berkacamata itu baru saja berjalan kembali pada dua seniornya ketika telinganya menangkap suara-suara keributan. Baru setengah perjalanan, kakinya seolah membeku saat gema suara benda jatuh mengudara.
Hal tersebut berasal dari rak rubuh di dekat trolinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top