1 : Pandangan

Happy reading~

Saat terburuk Makoto adalah ketika dua kakak kelas yang ia kenali muncul dengan menyangkut-pautkannya sepersekian detik setelah bel istirahat berbunyi. Ia heran dengan kecepatan lari yang mereka gunakan hingga masih sempat menyambut Sagami-sensei keluar sebelum mulai bertingkah.

Yang pasti, saat itulah ia akan menjelma sebagai tali tambang yang ditarik oleh dua kubu berlawanan jika bertemu mereka.

"[Name]-san, sudahlah."

"Ini tidak bisa dibiarkan, Mako-chan! Uban cabe ini harus kusingkirkan!"

"Hah, uban cabe katamu?!"

"Bah! Tampang saja yang rupawan, tapi mulutnya pedes!"

Meski keduanya bisa masuk golongan kurang waras, setidaknya gadis bernama [Surname] [Name] lebih baik daripada Sena Izumi dalam hal seperti obsesi, mungkin?

"Izumi-san, tolong kembali ke unitmu," usir Makoto. Ia langsung menyembunyikan diri di balik punggung [Name] ketika melihat kilatan pada sepasang manik biru muda itu.

"Kau lebih memilih papan cucian itu, Yuu-kun?!"

"Aku telah berjanji dengan Makoto kemarin. Dan apa-apaan sebutan itu?! Ngajak gelut?"

"Situ ngaca! Apa maksudmu memanggilku dengan uban cabe, hah?!"

Makoto mendengar [Name] mendecak sebal. Ia hanya berdoa adu mulut itu cepat selesai dan ia bisa makan siang dengan tenang.

"Ayo pergi, Mako-chan."

Pemuda berkacamata itu pasrah saja ditarik senior perempuannya pergi. Toh ia sendiri yang mengajak gadis berdasi hijau itu tadi malam. Malah kini berganti Makoto yang menarik [Name].Lebih cepat pergi lebih cepat terhindar dari amukan si kelabu yang membara.

"Hoi, kau bawa ke mana Yuu-kun ku?!"

"Berisik, uban cabe!"

"Kembalikan Yuu-kun, dasar papan cucian!"

Bahkan dalam pengejaran pun masih sempat-sempatnya melontarkan julukan-julukan lain.

Dalam belokan di pintu keluar gedung, Makoto tiba-tiba ditarik hingga terjatuh menggelinding dibalik pagar tanaman. Belum sempat ia beranjak bangkit, pundaknya langsung ditahan agar tetap di atas tanah.

[Name] ... di atasnya ...

Di atasnya!!

Rona merah merekah di wajah Makoto, bahkan hingga menjalar ke telinga. Wajah serius kakak kelasnya itu bahkan lebih menawan dari biasanya. Dahi yang berkerut, alis yang nyaris bertaut, pandangan fokus yang terkesan menyelidik ... seperti agen rahasia di film laga saja!

Beruntung rambut [Name] sedang dicepol sehingga tidak menusuk matanya, yang mana sialnya malah menunjukkan leher jenjang yang mulus, bersih, kinclong! Pemandangan langka, bung!

Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?

Wajah Makoto kepalang merah saking malunya. Ia bahkan lupa cara bernapas dengan benar.

"[N-Name]-san-"

Mulut Makoto dibekap sementara [Name] semakin menurunkan tubuhnya, bersembunyi. Langkah kaki terdengar dekat, bersama suara memanggil yang dikenal keduanya.

"Cih, ke mana dua makhluk itu?"

Pada akhirnya langkah kaki itu bergerak menjauh. [Name] menghela napas lega lalu melepaskan bekapannya. Gadis itu beranjak duduk dan memeriksa kotak bekal yang sempat terjatuh.

"Susah sekali berurusan dengan uban itu."

[Name] berniat memperlihatkan isi kotak bekal bawaannya, namun keadaan Makoto kali ini terbilang ... gawat!

"Mako-chan!"

"Aku benar-benar yakin kalau [Name]-san menyukainya."

Sang senior seketika tersedak makanan. Gadis itu mendelik kesal pada Makoto yang menciut takut. Tapi itu hanya sebentar. [Name] berusaha mengendalikan diri untuk tidak membuat takut adik kelas kesayangannya.

"Menyukai siapa maksudmu?"

"Izumi-san," Makoto langsung membekap mulutnya. Keceplosan.

Alis gadis di hadapannya bertaut, sontak membuat Makoto kembali menciut. Walau tempramen [Name] sedikit lebih stabil dari si uban mulut cabe itu, tetapi mode ngamuk [Name] jauh lebih ganas.

Bisa-bisa dirinya tinggal nama.

"Aish, lagu lama." [Name] mengibas-kibaskan tangannya, berusaha tak menghiraukan hal tersebut. "Jangan mengungkitnya. Aku sampai bosan mendengarnya."

"T-tapi apa tidak apa-apa?"

Alis [Name] kembali bertaut, tetapi kali ini karena heran. Gadis itu kemudian menunduk, memainkan sumpitnya pada isi bento yang tinggal setengah. "Percuma kalau diungkapkan, yang ada malah makin sakit hati. Belajar membencinya adalah jalan paling cepat untuk melenyapkan perasaan ini." Ia mengangkat kepalanya dan berusaha tersenyum.

Makoto menurunkan pandangannya, memandang isi kotak bekal yang tinggal sedikit. Masih sama seperti tadi, bersembunyi di balik pagar tanaman. Mendengarkan kisah [Name] adalah kebiasaannya sejak mengenal senior cantik itu.

"Bukannya itu juga sama sakitnya, [Name]-san?"

Bukannya tersinggung, [Name] malah tertawa. Tawa pahit yang menyayat hati.

"Itu benar. Tapi daripada memiliki kenangan dipermalukan karena confess? Hell no." Gelengan kepala mengakhiri ucapan senior kelas tiga itu.

"Aku sadar diri. Anak jurusan reguler sepertiku mana bisa bersama dengannya yang jurusan idol. Dekat denganmu, Trickstar, serta Anzu-chan saja aku sudah bersyukur," lanjut [Name] dengan pandangan menerawang.

Mengapa jalan cintamu serumit itu, [Name]-san? batin Makoto tersenyum getir. Ia beruntung hanya pernah ditipu oleh iming-iming cinta, bukan menjalani hal itu selama bertahun-tahun seorang diri.

Mengenal [Name] sendiri juga merupakan keberuntungannya. Makoto tak perlu lagi merengek ditemani unitnya ketika siswi kelas tiga itu sudah siap pasang badan. [Name] pun tak masalah menyelamatkan Makoto berkali-kali dari terkaman ganas Izumi.

Malahan gadis itu yang rela merasakan sakit hati berlipat daripada Makoto tidak dalam penjagaannya.

"Oh iya, kemarin aku ditawari bernyanyi dengan musisi jalanan, loh!"

Dengan cepat seniornya itu mengganti topik.

"Sungguh?"

[Name] mengangguk antusias. "Mau ikut ke tempatnya? Kita bisa melihat pertunjukkan mereka bersama."

Makoto dengan cepat menganggukkan kepala. Tetapi ia langsung murung."Ah, jadwalku sedang padat. Gomen," sesalnya.

"Itu bisa diatur! Haha," [Name] tertawa, diikuti Makoto kemudian.

Lebih baik diutarakan saja perasaanmu, [Name]-san, ujar Makoto dalam hati. Ia tak sanggup mengatakan hal itu dan membuat kakak kelasnya sedih. Ujung-ujungnya pun kalimat itu terlibas oleh canda tawa mereka hingga waktu istirahat hampir habis.

"Kau senang?"

Makoto terdiam, tak berniat menjawab. Si kelabu menghadang jalannya ke kelas, menyebarkan aura ketidaksukaannya. Makoto bahkan tanpa sadar menarik lengan jas [Name] untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Hei, beri dia waktu untuk merasakan damainya masa sekolah," tegur [Name]. Gadis itu menyuruh Makoto masuk ke kelas dengan isyarat tangannya.

Awalnya Makoto ragu. [Name] selalu menjadi tamengnya sejak gadis itu pindah kemari. Menghadang Izumi sambil menahan emosi ketika Izumi melontarkan kalimat pedas menusuk hati. Bagaimana bisa hati rapuh itu mampu berdiri tegak meski beribu kali ditikam kenyataan?

"Aku harus kembali ke gedungku. Nah, Mako-chan, tetap bersama teman-temanmu."

"Um." Makoto hanya mampu mengangguk mendengar tuturan halus itu.

"Jika kau ingin mengajaknya pergi, seharusnya kau membuat janji dulu dengannya. Paksaan tidak akan membuat impianmu menjadi kenyataan dalam jangka panjang, Sena Izumi-san."

Yah, tetap saja [Name] akan berlaku tegas terhadap siapapun yang mengganggunya. Mau bersyukur merasa tak enak hati, mau prihatin takutnya salah paham lagi.

Gadis berdasi hijau itu pamit pergi. Makoto mundur selangkah, takut-takut Izumi akan menariknya dan menculiknya ke tempat yang tidak diketahui orang lain. Namun, kali ini ia sangat beruntung.

Izumi hanya berdecak kesal dan berbalik, tidak berminat memberikannya salam perpisahan menjijikan seperti biasanya. Makoto melihat punggung dua seniornya berulang kali, kemudian menghela napas panjang.

"Aku beruntung kisah cintaku tidak serumit mereka."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top