The Story
SIALL CERITANYA AMPAS. btw lebih asik kalo bacanya pake dark mode. enjoy!
Seorang gadis tampak memanjati sebuah tangga menuju atap rumahnya. Kendati angin malam saat itu terasa dingin, itu bukanlah masalah baginya.
Sesampainya ia di atap, kedua manik hitamnya menangkap keberadaan seorang remaja laki-laki—yang kira-kira usianya sebaya dengannya.
(Surname) (Name)—gadis tadi—memiringkan kepalanya, bingung. "Kau siapa? Sedang apa di atap rumahku?"
Sang pemuda yang merasa terpanggil pun menoleh. Dia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Kumo."
"Kau berniat jahat?"
"Tidak."
"Oh, baiklah."
Percakapan mereka selesai disitu. (Name) akhirnya mengambil sebuah posisi yang pas untuk duduk, lalu menggelar sebuah tikar tipis yang ia bawa dari bawah dengan tasnya.
(Name) menduduki tikar tersebut, kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa makanan. "Oi Kumo, kau mau?"
Kumo mengangguk. "Ya, boleh," kemudian jemarinya mengambil sebungkus camilan dan memakannya dalam diam.
(Name) membiarkan Kumo memakan camilan yang dipilihnya tersebut. Meski itu adalah salah satu camilan kesukaannya, dia tak ambil pusing. Masih banyak camilan yang seperti itu di lemari, pikirnya.
"Jadi .." (Name) mencoba untuk memulai pembicaraan, "sedang apa kau di atas rumahku?"
"Eh? Ini kan rumahku?" Kumo mengernyitkan dahinya.
"Eh?" (Name) ikut mengernyitkan dahinya. "Maksudmu apa?"
Kumo tampak berpikir sejenak, kemudian dia menutup mulutnya seperti baru saja mengatakan sesuatu yang buruk. "Ah- lupakan."
"Aneh," gumam (Name), namun tak mempermasalahkannya. Dia kembali memakan biskuit yang sejak tadi dimakannya.
"Kau sendiri, sedang apa disini?" tanya Kumo.
"Hanya sedang bosan, aku suka mengamati bulan dan bintang disini," jawab (Name) ringan. "Omong-omong, kau suka melihat bintang juga?"
"Hum," Kumo membalas dengan gumaman kecil, "aku paling suka rasi Ursa Major,"
(Name) ber-oh ria. "Aku lebih suka melihat bulan. Cahayanya jauh lebih terang—meski aku tau itu hanya pantulan cahaya Matahari."
Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara jangkrik yang berderik.
"Orang-orang Yunani kuno seringkali mengaitkan rasi Ursa Major dan Ursa Minor. Mereka mengatakan kedua rasi tersebut berhubungan dengan mitos Callisto," Kumo mulai menceritakan sebuah cerita legenda Yunani sambil menatap langit.
"Callisto adalah seorang bidadari cantik yang disukai oleh Zeus. Mereka pun memiliki seorang anak yang bernama Arcas."
"Karena cemburu, Hera—istri Zeus—pun mengubahnya Callisto menjadi seekor beruang. Selama belasan tahun, Callisto bersembunyi."
Kata-kata Kumo terhenti. Dia berpikir keras, apa lanjutan ceritanya?
"Suatu hari, Arcas yang sudah dewasa pergi ke sebuah hutan," (Name) melanjutkan cerita Kumo "Kau payah, begini saja lupa."
"Callisto yang tak sengaja melihat anaknya itu pun menghampirinya. Arcas tak tahu kalau beruang itu adalah ibunya. Lantas, ia pun berencana untuk membunuhnya."
"Zeus yang tahu akan hal itu, berusaha mencegahnya dengan mengubah Arcas menjadi seekor beruang juga." (Name) menghentikan ucapannya. "Seharusnya kau tahu akhir dari ceritanya."
Kumo mengangguk. "Lalu, Zeus mengangkat Callisto dan Arcas ke langit agar kekal bersama. Akhirnya, mereka pun dikenal dengan nama Ursa major dan Ursa minor. Tamat."
"Wow, kau tahu banyak soal legenda dibalik rasi bintang, ya," komentar Kumo "Kebanyakan teman perempuanku dulu tidak ada yang bisa kuajak mengobrol tentang ini. Begitupun dengan yang laki-laki."
"Memangnya tak ada seorang pun?" tanya kunimayuu.
"Yah, begitulah. Temanku aneh semua. Ada yang terlalu berisik, ada yang warna rambutnya mencolok—seperti warna api, ada yang hampir tidak pernah bicara, juga ada yang selalu menangis," ujar Kumo "yang perempuan juga sama saja."
(Name) manggut-manggut. "Teman-temanmu unik, ya."
"Tapi mereka menyebalkan, menurutku. Tidak ada yang sebaya denganku, eh ada, deh. Tapi hanya satu-dua orang, namun dia juga tidak tertarik dengan kisah mitologi seperti ini."
"Kita sedang membicarakan apa, sih?" (Name) meneguk sekotak susu cokelatnya. "Random sekali. Awalnya kita membahas tentang rasi bintang, lalu mitologi Yunani, kemudian berubah menjadi cerita tentang teman-temanmu."
"Pembahasan mengenai rasi bintang kan tak jauh-jauh dari mitologi Yunani."
"Hubungannya dengar cerita tentang teman-temanmu?"
"Tidak ada."
"Ngomong-ngomong," Kumo menggeser posisi duduknya, mendekati (Name), "kenapa kau berada di atas atap malam-malam begini?"
"Hm? Aku hanya menyukainya," tanggap (Name) enteng. "Melihat bulan dan bintang-bintang, menikmati semilir angin malam, mendengar suara hewan nokturnal, itu semua seperti narkoba untukku. Membuat candu,"
"Tapi kenapa harus atap rumah? Kau kan bisa melihatnya di teras rumah," tanya Kumo lagi. Sejak tadi, ia terus melihat ke bawah, sehingga ia tahu ada sebuah teras di rumah kecil itu.
"Di teras kurang seru, ah," (Name) mengusap lehernya, "seperti, tidak ada tantangan. Terlalu aman. Aku butuh sesuatu yang berbahaya."
"Kalau kau terjatuh bagaimana?"
"Ini hanya lima meter dari tanah, kau tak perlu khawatir,"
"Sebentar," Kumo memotong perkataan (Name). "Kita sudah mengobrol sejak tadi. Tapi, aku tak tahu siapa namamu."
"Kau bahkan tidak bertanya. Aku (Surname) (Name)," (Name) menjawab dengan muka yang sedikit ditekuk. "Siapa namamu tadi? Gubo?"
"Kumo, (Surname)-san,"
"Panggil saja aku (Name). Aku tak menyukai nama keluarga itu," ucap sang gadis.
"Eh, kenapa?" Kumo bertanya, penasaran.
"Nama itu seringkali mengingatkanku pada hal-hal menjijikkan yang pernah terjadi padaku," (Name) memasang ekspresi kesal bercampur jengkel, "Kalau kau mau tahu detailnya, boleh saja. Tapi besok, ya. Ini sudah malam."
(Name) beranjak, melipat tikar yang sejak tadi didudukinya. Jari-jarinya yang lentik itu juga memasukkan sisa camilan yang belum dimakan ke dalam tas.
Kumo yang sadar kalau dirinya ikut membuat tempat itu berantakan, ikut andil dalam membereskan. Ia mengambil kantung plastik hitam dalam tas (Name), lalu memunguti sampah bungkus makanan mereka.
Seraya bekerja, Kumo menanyakan sesuatu kepada (Name), "Kau tinggal sendiri di rumah ini?"
(Name) hanya menjawab singkat, "Ya. Kalau kau mau menginap, boleh, sih. Kau bisa tidur di ruang tamu, di atas sofa. Akan kuberikan selimut kalau kedinginan."
"Kau tidak takut aku berbuat macam-macam?"
"Kau kan, tidak berniat jahat."
"A-"
Mereka sudah selesai bersih-bersih. (Name) menyandang tas ransel kecilnya itu, lalu berdiri di pinggir atap.
Dia menyiapkan ancang-ancang melompat. Namun, belum sempat kunimayuu melaksanakan niatnya, Kumo meraih tangan sang gadis.
"Kau mau bunuh diri?!" tanyanya panik. (Name) mengernyitkan dahi, lalu menjawab.
"Tenanglah, Kumo. Aku tak berniat mati. Lagi pula .."
".. ini hanya lima meter dari permukaan tanah!"
Kumo terdiam, merenungi kebodohannya. Bisa-bisanya ia melupakan fakta sesimpel itu.
Dia melepas genggaman tangannya, membiarkan (Name) melompat.
Sebelum turun ke bawah, (Name) mengucapkan sesuatu, "Kau, hati-hati di jalan, ya."
"Hm."
"Yo."
Kedua insan yang berusia mungkin sebaya itu saling menyapa. (Name) membalas sapaan Kumo dengan anggukan kecil.
(Name) melempar pelan tas ranselnya, "Tolong gelar tikarnya, ya. Aku mau turun sebentar, ada yang tertinggal."
"Oke."
(Name) kembali menuruni tangga. Sementara itu, Kumo menatapi tas (Name) dengan pandangan ragu.
Aku .. membuka tas seorang gadis?
Dengan takut-takut, jemari Kumo bergerak menggeser resleting ransel biru muda (Name), berharap tidak ada benda rahasia di dalamnya.
Sang pemuda menghembuskan napasnya, lega. Tak ada benda aneh-aneh di dalam tas tersebut. Segera, ia mengeluarkan tikar tipis (Name)—yang lagi-lagi biru muda—dan menggelarnya.
Saat Kumo mengibaskan tikar tersebut—memastikan tidak ada kotoran, tiba-tiba ada sehelai kertas yang keluar dari lipatan tikar itu. Kertas itu sempat terbang, namun Kumo dapat menangkapnya dengan mudah.
Ia mengamati kertas tadi—yang ternyata merupakan sebuah foto keluarga. Tampak ada sepasang—mungkin—suami istri dan dua orang anak perempuan di tengah-tengah mereka.
Kumo mengenali anak perempuan dalam foto tersebut. Itu jelas (Name). 'Eh, tapi kok, ada dua?' pikirnya, 'hm, bisa jadi itu kembarannya,' lanjutnya. Dan pasangan itu mungkin orangtuanya, pikir Kumo.
Saat sedang menatapi foto keluarga yang ditemukannya itu, indra pendengaran Kumo menangkap suara langkah kaki. Segera, ia memasukkan foto tersebut ke dalam tas dan bertingkah seolah di tak melihat apa-apa.
(Name) menduduki tikar yang digelar Kumo tadi, dan menyodorkan dua bungkus makanan padanya. "Ini, kau mau es krim vanila? Oh, atau stroberi?"
Kumo mendelik, "E-es krim?!" serunya kaget. "D-dingin begini makan es krim?!"
"Dingin? Mana ada dingin," balas (Name), "intinya, kau mau tidak? Kalau tidak, akan aku makan keduanya,"
"MAKAN DUA ES KRIM MALAM-MALAM DI ATAS ATAP?!"
"Iya. Kau kenapa, sih? Overreacting seperti itu menyebalkan, tahu,"
"SERIUS?!
"IYA! SEKARANG, KAU MAU TIDAK?"
"Hah- ga dulu, ga mau mati kedinginan,"
"Ya sudah," tanggap (Name) tidak peduli. Jemarinya membuka salah satu bungkusan, lantas melahapnya.
Kumo geleng-geleng dibuatnya. "Masa dia tidak kedinginan?" pikirnya.
"Oiya, kau berutang cerita padaku, lho," Sang pemilik surai hitam bergradasi hijau itu mengalihkan pembicaraan.
"Yang mana?" tanya (Name). Area sekitar mulutnya dipenuhi es krim yang belepotan kemana-mana.
"Yang tentang nama keluargamu itu—eh, kalau tidak mau bercerita juga tak apa, kok!"
"Hah? Oh." (Name) mengelap bibirnya dengan lengan sweater yang dikenakannya. "Aku tidak keberatan, sih."
"Ini akan menjadi cerita yang lumayan panjang dan membosankan. Jangan sampai tertidur, awas saja," (Name) merebahkan tubuhnya di atas tikar.
"Jadi, ini terjadi ketika aku berusia sepuluh tahun ..."
"Kau sudah keterlaluan!"
Prang! Suara vas kaca yang dibanting menggema dalam ruangan itu.
"Kau selingkuh dariku dengan seorang jalang yang kau temui di bar! Dasar biadab!" Seorang wanita berseru marah.
Lawan bicaranya menyanggah, "Itu juga salahmu! Kalau kau tidak sibuk dengan segala urusan pekerjaan anehmu itu, aku tidak akan main belakang dengan perempuan lain."
"Hah? Apa maksudmu? Aku yang mencari uang untuk segala keperluan kita! Kau ini memang sinting, ya!"
"Jaga bicaramu!"
Plak! Sang pria menampar wajah sang wanita.
Di pojok ruangan, terdapat sepasang anak perempuan kembar. Satu diantaranya menatap pertengkaran dua orang dewasa di hadapannya itu dengan tatapan kosong. Dia benar-benar tidak paham apa yang sedang terjadi saat ini.
Sedang yang satunya lagi, berusaha menarik saudara kembarnya, menjauh dari kejadian perkara.
Dia bergumam panik, "Amaya, ayo kita pergi! Disini tidak aman!"
Mata Amaya hanya berkedip perlahan, tidak mengerti. Hingga akhirnya (Name) menyambar kerah pakaian Amaya, pergi keluar dari ruangan itu.
Kaki-kaki kecilnya melangkah cepat. Peluh menetes perlahan dari keningnya. Sesekali ia berbicara, "Amaya jalan sendiri, ya? Bisa, kan?" Meski akhirnya dia tetap menyeret saudara kembarnya itu.
Sesampainya mereka di luar, (Name) segera mencari kursi roda yang biasa dipakai oleh Amaya. Dengan segenap tenaganya, dia menaikkan Amaya ke atas kursi, lalu mendorongnya perlahan menuju ruangan lain.
Ruangan tersebut merupakan sebuah kamar yang berisi dua ranjang besar dengan sehelai gorden di tengah ruangan sebagai pembatas.
(Name) membaringkan tubuh Amaya perlahan. Meski mereka adalah saudari kembar, Amaya tampak lebih kecil darinya. Itu karena sang kakak kembar mengidap down syndrome, sebuah sindrom yang membuat pengidapnya memiliki tingkat kecerdasan yang rendah, juga kelainan fisik yang khas.
Sejak dulu, (Name) sudah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan kakak satu-satunya itu. Hingga akhirnya, dia melihat selembar kertas berisi diagnosis dokter yang menyatakan bahwa sang kakak mengidap down syndrome. Dari situ (Name) sadar, dirinya harus melindungi kakaknya. Karena, tak ada seorang pun yang bisa melakukannya, selain dia.
Orang tuanya? Jangan harap. Setiap hari, pasangan itu selalu saja bertengkar. Sedikit-sedikit teriak, sedikit-sedikit melempar barang. Suasana hening nan tenang sudah seperti mitos di atas rumah itu.
Setiap hari pula, (Name) harus mengurus kakaknya, dibantu oleh seorang perawat pribadi keluarganya. Memberi makan, menemani ke kamar mandi, dan hal-hal lainnya. Dia juga selalu memastikan tidak ada benda yang sekiranya dapat melukai kakaknya di dalam kamar mereka berdua.
Ada kalanya (Name) merasa lelah. Rasa ingin kabur, pergi sejauh-jauhnya, sudah pasti ada. Sehari saja dia ingin istirahat dengan tenang, tanpa semua keributan itu.
Sebenarnya, (Name) bisa saja kabur sejak lama. Namun, dia tidak tega meninggalkan kakak kesayangannya sendirian di neraka itu. Dia juga tidak akan mampu membiayai kebutuhannya dan kakaknya. Maka dari itu, (Name) tidak memiliki pilihan lain selain bertahan dan berharap keajaiban datang.
Itulah rutinitasnya sehari-hari. Memang berat, tapi sejauh ini tidak ada perubahan. Tidak menjadi lebih buruk, tidak juga berubah menjadi lebih baik.
Hingga akhirnya, sesuatu terjadi.
Kakaknya tewas di tangan kedua orang tuanya. Saat itu, mereka sedang bertengkar di ruang tengah, menggunakan hiasan dari beling dan lampu sebagai senjata.
Amaya yang saat itu sedang tidak diawasi (Name) hendak pergi ke dapur, mengambil air minum. Dia merasa haus, namun (Name) lupa mengisi botol minum di kamar mereka. Karena Amaya tidak ingin mengganggu (Name) yang sedang beristirahat, pergilah dia ke dapur seorang diri.
(Name) seringkali mewanti-wanti Amaya untuk tidak pergi keluar kamar sendirian, apalagi jika terdengar suara berisik. Dikarenakan rasa dahaga yang sudah tidak tertahankan, Amaya pun pergi ke dapur.
Ketika dirinya melintasi ruang tengah tempat perkelahian sedang berlangsung, dia melihat orang tuanya bertengkar. Amaya tak ambil pusing dengan hal itu, dia terus memutar kursi rodanya ke arah tujuan.
Setiap kali ada benda yang mendekatinya, Amaya langsung memundurkan kursi rodanya. Awalnya sih, aman-aman saja. Sampai salah satu dari mereka berlari ke arah Amaya, menghindari serangan yang lain.
Ayahnya yang saat itu sedang menggenggam lampu tidur di tangannya mendekati dinding, menghimpit Amaya yang sudah tidak bisa kemana-mana.
Amaya berseru tertahan, "A—" Dadanya tertekan oleh tangannya yang terhimpit, membuatnya kesulitan bernapas.
Ibunya mengejar si Ayah seraya mengayunkan sebuah pot beling. Sontak, pria tersebut menghindar, meninggalkan sang gadis yang masih berusaha mengatur napasnya.
PTANG! Pot tersebut menghantam telak kepala Amaya, membuat darah mengalir dari kepalanya.
Ibu (Name) dan Amaya berteriak marah karena serangannya meleset. Dia langsung kembali mengejar Ayah mereka, melanjutkan pertengkaran.
Amaya yang kini terjatuh dari kursi roda, meraba kepalanya yang terasa perih. Matanya memburam, penglihatannya tertutupi dengan cairan merah asing yang tidak dikenalinya.
Sementara itu, di dalam kamar, (Name) sudah terbangun dari tidurnya. Dia mendengar teriakan dari luar kamar, menyebabkan dirinya kaget.
Segera, dia berlari menuju ranjang Amaya, memastikan kakaknya baik-baik saja. Perasaan tidak enak menyelimuti dirinya saat melihat ranjang kosong milik sang kakak.
Dengan tergesa-gesa, dia berlari keluar kamar, menuju sumber dari segala keributan. Betapa hancur hatinya melihat semua yang terjadi di ruang tengah.
Ayah dan Ibunya yang saling menyerang tanpa belas kasih seperti hewan, pecahan beling di mana-mana, dan satu yang paling menarik atensinya.
Amaya yang bersimbah darah.
"Jadi, seperti itu, ya .." Kumo mengusap lehernya canggung, 'Sial, aku membuka luka lama orang,' batinnya. "Lalu setelah itu, kau pergi dan berakhir di sini?"
"Kurang lebih, ya," (Name) menanggapi asal, "ngomong-ngomong, tidak usah merasa bersalah juga, kali. Masa lalu biarlah jadi masa lalu."
"Pokoknya setelah itu, aku kabur dari rumah karena aku tidak tau harus apa. Aku sendiri bahkan tidak terlalu sadar dengan yang kulakukan saat itu. Yah, mungkin itu sejenis insting bertahan hidup," ujar (Name), "sebelum pergi, aku sempat mengendap-endap ke kamar orangtuaku untuk mengambil sejumlah uang. Namanya memang mencuri, sih. Tapi kalau tidak begitu, bagaimana aku bisa survive ke depannya?"
Kumo menyimak tanpa menyela. Dia memperhatikan cerita (Name) dengan baik. Entah mengapa, Kumo mulai merasa kisah ini mirip dengan hidup seseorang.
"Hari pertama kabur, aku pergi ke rumah Paman dan Bibi yang satu distrik dengan rumahku dulu. Di situ, mereka memperlakukanku dengan kurang ramah. Tetap diberi makan, sih. Tapi tetap saja, aku kurang nyaman. Jadi setelah tinggal kurang lebih setahun di sana, aku pamit pergi. Untunglah, mereka memberiku sedikit bekal uang,"
"Dengan uang yang mereka beri ditambah sedikit uang hasil kerja paruh waktu-ku, aku berhasil membeli rumah ini. Agak sulit di bagian administrasinya, mengingat usiaku waktu membeli rumah ini masih tiga belas tahun."
"Kadang aku masih merasa sedih kalau mengingat kakakku yang sudah meninggal itu. Seharusnya waktu itu aku jangan tidur. Ah, sial!" (Name) menendang kotak susu di depan kakinya.
"Tenanglah, ini sama sekali bukan salahmu," Kumo menimpali pelan. Dia sama sekali tidak tau harus apa jika sedang berhadapan dengan seseorang yang sedang marah seperti ini.
"Ah sudahlah, lupakan saja kisah menyebalkan itu. Ngomong-ngomong, kau tahu serial komik Demon Slayer?" Sang gadis mengalihkan pembicaraan.
"Apa itu?" Kumo membalas.
"Serius tidak tau?" (Name) memastikan. Si lawan bicara membalas dengan sebuah gelengan. (Name) ikut menggeleng, "Bisa-bisanya .. itu serial komik yang sedang naik daun, loh!"
"Nih, aku bawa salah satunya," (Name) membongkar tasnya, dan mengeluarkan sebuah komik bertuliskan Demon Slayer 12 di sampul depannya. Kumo mengernyitkan dahinya. 'Itu bukannya ..'
"Karakter yang ada di sampul depan ini kesukaanku, Tokitou Muichirou. Ah, sifatnya keren! Lalu teknik pernapasan Kabut-nya, kisah masa lalunya ..."
"S-siapa komikusnya?" Kumo bertanya cepat, membuat (Name) sedikit terlonjak kaget.
"E-ehm .. Yamamoto Yushirou,"
"Serius dia?!"
"Iya. Kamu kenapa, sih?"
"Sini komiknya sebentar!" Kumo merampas komik di tangan (Name), dan membuka halamannya dengan gusar. Dia membacanya dengan cepat, lalu matanya membelalak.
"Eh, i-ini..!" Sang pemuda berseru tertahan.
"Kenapa?"
"Yushi- maksudku Yamamoto-san masih hidup?"
"Tentu, dong. Kalau sudah mati, mana bisa dia menggambar?"
"Kau tahu di mana dia?!"
"Mana kutahu! Sini bukunya, kau bisa merobeknya!" (Name) berusaha meraih komik di tangan Kumo.
"Nanti! Ada hal aneh di sini!" Kumo mengelak.
"Apa, sih?!" (Name) ikut kesal.
"Nama karakternya .. alur ceritanya ... Bahkan ada aku!" Kumo menunjuk tokoh Muichirou di salah satu panel komik.
"Apa maksudmu? Kembalikan!" (Name) berhasil merampas balik komiknya, lalu memasukannya dengan cepat ke dalam ransel kecilnya. "Dasar bodoh! Semua tokoh yang ada di komik ini hanyalah karakter fiksi, loh! Lagi pula, apa maksudmu kalau pacar kesayanganku itu dirimu?"
"P-PACAR?!" Wajah Kumo memerah, "Maksudmu?"
"IYA PACAR! MASALAH BUATMU?!" (Name) balas berteriak. "Sudahlah, aku mau turun saja. Kau jadi aneh."
"Tunggu! Semua karakter komik ini nyata!"
(Name) terhenti, "Hah?"
Kumo meyakinkan, "Iya! Tanjirou, Muichirou, iblis gentong, mereka semua nyata! Asli!"
"Dengar aku," Kumo menarik tangan (Name), membuatnya terduduk. "Scene ini, ketika mereka bertarung di desa Penempa Pedang, itu bukan karangan belaka. Kau pernah dengar legenda iblis di era Taisho? Itu semua benar! Terlebih lagi, Muichirou itu aku! Aku bisa membuktikannya!"
"Apa, sih?" (Name) bertanya gusar, "Kau terkena chuunibyou, ya?"
"Ih, aku tidak bercanda! Aduh, bagaimana, ya. Pokoknya gitu, deh!"
"Dasar aneh!"
"Saking membingungkannya fakta ini, author buku ini alias Kuni-sama pun tidak tau bagaimana mengatakannya,"
"Aku betul-betul Muichirou. Aku punya kakak kembar, persis sepertimu. Namanya Yuichirou. Keluargaku dihabisi oleh iblis, dan kakakku satu-satunya itu mati karena membelaku. Lalu, aku ditemukan oleh Oyakata-sama, dan aku pun diangkat menjadi salah satu pilar di usia dua belas tahun."
"Kau .. bagaimana kau bisa tahu kehidupan Muichirou? Kau bahkan belum pernah membaca ceritanya!"
"Karena dia itu aku! Aku Tokitou Muichirou!"
"Ini semua membingungkan!" (Name) menggaruk kepalanya kuat-kuat, "Kalaupun kau benar dia, kenapa kau ada di sini? Kau seharusnya sudah mati karena Kokushibou, kan?!"
"Itulah yang aneh," Kumo--aslinya Muichirou--menambahi, "Aku tiba-tiba hidup lagi. Semacam .. reinkarnasi. Saat aku membuka mata, aku sudah ada di depan rumahmu. Sepertinya, ini ada hubungannya denganmu,"
Muichirou menyingkapkan lengan pakaiannya yang amat longgar itu. Lengannya yang berubah menjadi debu sedikit demi sedikit pun tampak. "Ini misiku. Membuatmu tersenyum lagi. Dan kurasa, misiku sudah selesai. Waktuku di sini habis, aku harus kembali ke tempatku yang seharusnya, seperti yang kau bilang,"
"Jadi, (Name)-san .." Muichirou berucap, "jangan bersedih lagi, ya? Komikmu itu mau kuberi tanda tangan? Lumayan kan, tanda tangan langsung dari tokohnya yang katamu fiksi itu."
"Tunggu, aku masih belum mengerti!" (Name) menyela, "Kau Muichirou? Dihidupkan lagi hanya untuk aku? Membuatku tersenyum?"
"Begitulah. Cepat sini bukumu. Saat awan yang menutupi bulan purnama menghilang, aku juga akan ikut menghilang."
"Peduli setan dengan tanda tangan! Jadi kau akan menghilang?"
"Ya."
"... terima kasih." ujar (Name) pelan. Seutas senyum manis terukir di wajahnya yang berkulit putih pucat. "Misimu berhasil. Rasanya, hatiku sangat lega sekarang. Tapi aku pasti merindukanmu,"
"Sama-sama. Ngomong-ngomong, tanda tangannya jadi, tidak?"
"Tidak usah. Bolehkah .. bolehkan aku memegang tanganmu untuk terakhir kali?" pinta (Name) ragu-ragu. Muichirou tersenyum, kemudian menarik tubuh (Name) dalam pelukannya.
"Tidak apa kan, kalau aku memelukmu saja?" tanyanya. Sang gadis tidak menjawab, dia hanya membalas pelukan yang diberikan padanya secara mendadak.
Belum selesai tangan (Name) melingkari Muichirou yang sedikit lebih tinggi darinya, tubuh Muichirou menghilang tiba-tiba. Seperti ada suara 'plop!' kecil terdengar. Kalau dalam anime, ada garis putus-putus di tempat sang pemuda berdiri tadi.
"Dasar, menghilangnya tidak dramatis sekali," (Name) tertawa pelan, air mata perlahan menetes. "Sial, aku ditinggal lagi .."
Dia menengadahkan kepalanya ke langit, lalu bergumam. "Terima kasih, Muichirou. Kau memang aneh, tapi aku bertaruh, aku pasti akan merasa rindu padamu. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, cobalah berkenalan dengan Kak Amaya, ya? Sekali lagi, selamat tinggal."
-fin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top