7. Pallet Town-2: I'm trying to disappear
Catatan penulis:
Putar musik di multimedia sebagai lagu latar belakang (disarankan memakai earphone).
'-')b
("Last Days" oleh The Lonely Crowd, dalam anime "Ranpo Kitan: Game of Laplace")
Link legalnya: https://www.rampokitan.com/bluray/03.html
((gak bisa bahasa Jepang '-'))
Yap, mari kita mulai....
###
"Siap, Redo? Kau harus biasakan yang satu ini," ujarnya pelan saat tiga kali mengetuk pintu.
Tatapan Redo tidak terlalu paham kala itu, sampai Biru bersiaga melindungi wajah, tangan di depan, badan menggigil. Seketika derap terdengar dan lagi-lagi pintu digebrak, seseorang melompat lalu memberi pelukan seakan melahapnya.
"Biru ... ! Aku merindukanmu!"
Pemudi yang tampak sebaya muncul, dia mendekap erat Biru, pipinya dibelai-belai terhadap wajah Biru. Dan itu membuat Redo tersipu, memalingkan muka agak menunduk.
Si pemuda yang tak bisa kabur tampak kewalahan. Setelah sadar sikap Redo, dia merasa jengah, memperkuat tenaga mendorong. "Aku tau! Aku tau! Jadi lepaskan dulu," desak Biru yang wajahnya semu merah.
Kini semua orang agak tenang, dua pemuda menghadap satu pemudi.
"Daisy, ini Redo." Biru memperkenalkan. Dengan kesal, kialnya menyuruh beri sambutan.
Redo memperhatikan fisik orang yang sudah lama tak dia temui, butuh waktu singkat untuk paham perbedaannya. Pakaian gaun putih selutut yang diikat pada pinggang, jaket jin tanpa lengan yang menampilkan kulit pucat. Pergelangan kedua tangannya dilindungi kain gelang putih. Permukaan betisnya juga disembunyikan memakai stoking wol gelap. Terpasang bando yang hampir senada dengan warna mata dan rambut sepunggungnya, warna cokelat madu.
Redo mengangguk-angguk, untuk menyapa sekaligus memahami bahwa adik-kakak memang banyak persamaan.
"Oh, hai, Redo! Lama tidak jumpa!" Si pemudi yang semampai langsung beralih ke Biru, "Hei, hei!"
Biru menepis. "Sudah, ah!" Lalu dia mengajak, "Redo, ayo masuk."
Daripada terdengar dipersilakan, Redo lebih mengira itu permintaan untuk memapah si pemuda, dan mungkin memang benar. Biru memutar tubuh kemudian mengulur lengan, Redo menerima dan menyangganya. Dua pemuda yang seperti pasangan itu berjalan masuk melalui lorong ruang tamu, sedangkan Daisy tidak hentinya centil berisik, disuruh diam tetap tidak mau.
Biru akhirnya capai, kepala terasa panas akibat perjalanan jauh, dan dia menghendaki istirahat. Dengan nada membentak, dia suruh kakaknya masuk kamar.
Redo yang ikut tersentak masih terhambat di tengah jalan. Lengan ditarik Biru pun dia tak merespons. Maka, karena tak mau merepotkan, Biru pilih melangkah sendiri dengan berpegangan pada tembok dan meja sepanjang koridor, meski butuh usaha lebih.
Redo kemudian tersadar, telinganya dapat mendengar Biru seperti mengatakan sesuatu tentang mencari tongkat bantu jalan milik ayah-milik ayah sialannya?-dan ketika berpapasan dengan seseorang di belakang (mungkin dapur) dia menyapa-ternyata kepada ibunya. Selain Biru, tidak ada suara lain lagi.
Biru pun kembali muncul dengan tangan hampa, tidak menemukan barang yang diinginkan. Di ujung lorong, dia menyuruh ke kamar dahulu, dan batang hidungnya pun lenyap.
Redo berhasil menyusul. Dua ransel bawaan, satu biru terang, satu cokelat, diletakkan di lantai. Biru menghampiri, duduk dengan kaki kanan diselonjorkan menghadap ambang pintu. Mereka pun mengeluarkan barang-barang, memilahnya.
Saat Redo menoleh ke lorong luar kamar, seorang wanita paruh baya lewat. Rambutnya pirang bergelombang, sama kusutnya dengan pakaian serta kerut wajah. Dia berjalan, mata entah fokus ke mana, bak isi pikiran mengawang.
Redo pun berdiri, tetapi tertahan saat posisi masih belum tegak, kepalanya mendongak seakan seluruh saraf motorik berhenti, melihat pandangan ibu Biru yang kosong.
Redo pun balik, menoleh ke bawah. Tampak Biru berlagak repot, tangan sibuk mengeluarkan barang dari tas dan merapikannya di lantai.
Redo menarik ujung topi entah karena suatu sebab, kerlingan yang tak senang, rautnya menyembunyikan perasaannya.
Tiba-tiba, dua pemuda di dalam kaget terperangah. Daisy masuk tersenyum cerah dengan mata menyipit. Di tangannya sebuah tongkat bantu jalan terpaut.
"Daisy, di mana kau temukan itu?" tanya Biru sambil menatap benda tersebut.
"Oh, ini? Tongkat ini ... entahlah, aku menemukannya di dekat pintu, jadi aku bawa masuk saja." Dia terkekeh-kekeh.
Biru amat senang, berterima kasih, begitu tulus. Itu membuat si pemudi terlalu senang, kemudian baik Redo maupun Biru membeliak tatkala cairan merah menetes-netes, mengenai tongkat.
"Ah, aku tidak apa-apa." Dia menaruh tongkat di lantai. "Aku naik dulu, ya." Kemudian pemudi itu berjalan keluar pelan-pelan sembari menekan hidung.
Biru mengaduh, mengembus napas panjang nan lelah.
Tak ada tindakan lain, Redo kembali membereskan barang-barangnya. Lagi pula, Biru tidak mengatakan apa pun tentang ini. Ya, Biru tidak ingin memberi tahu apa pun tentang ini.
***
Lampu-lampu dalam rumah bersinar terang. Di wastafel dapur, terlihat ibu Biru tengah mencuci piring dan alat makan kotor yang menumpuk. Sementara di teras, Biru menunggu Redo yang bersiap-siap-membenarkan posisi sepatu merah-putih bertali. Keduanya kemudian melangkah menuju rumah di sebelah yang sama nadanya dengan langit hitam pekat.
Rumah Redo.
"Relaks, Redo." Biru menepuk kedua pundaknya, dibalas helaan napas serta anggukan. Dia kemudian mengambil tongkat bantu jalan, mundur beberapa langkah guna memberikan ruang kepadanya.
Redo, dengan tingkah canggung yang nyata kelihatan, saat ini yang dia inginkan hanya terpaku selamanya di tempat. Namun, yang dia butuhkan adalah langkah maju, tindakan pasti guna menyudahi semua persoalan.
Maka, pemuda yang menetapkan hati itu bergerak. Tangannya meraih daun pintu, menembus gelap, memberi ketukan yang dirasa pas. Lalu, suara halus wanita menyahut, menanyakan nomina seseorang yang mengunjungi rumahnya, kemudian dia mematung beberapa lama setelah pintu dibuka.
"Re-do ... ?" panggilnya, patah-patah.
Tak ada yang perlu dikatakan lagi. Air mata haru mengalir menuruni sisi muka, menetes-netes seakan tidak mau berhenti. Wanita itu meraihnya ke dalam dekapan kedua tangan yang dilingkarkan, terisak, meracau tentang perasaan yang bagai menggebu-gebu. Redo membalas pelukan itu, agak ragu tersenyum, lalu mengejam mata.
Aku pulang, Ibu.
Di belakang kedua orang tersebut, Biru turut senang. Senyum pahit pemuda itu telah memahami, betapa harunya melepas sebuah kerinduan.
***
Redo menoleh ke kiri dan kanan, tampak kebingungan seolah mencari sesuatu. Raut mukanya berubah berseri-seri tatkala menjumpai pemuda berbaju hitam tengah berdiri bungkuk di tepi jembatan kecil, kedua tangan ditumpangkan di atas pagar kayu, digunakan untuk menopang kepala yang menjulur.
Dia menoleh, tersenyum dan menyapanya. Redo pun berjalan menghampiri, ikut memandang pantulan awan putih bersama bulan sabit pada kolam yang beriak tenang. Di sekitar, Pokémon kumbang laksana mengadakan konser malam, ditemani nyanyian katak biru dan anak-anaknya, juga sahutan burung malam di puncak dahan-dahan pohon.
"Kau masih ingat dengan janji kita?"
Redo memalingkan muka, alisnya naik. Kilas balik masa pertarungan terakhir terlintas, ketika hujan es disertai badai salju mengamuk. Di balik topengnya, Redo menampak raut serius penuh keyakinan milik Biru.
Meski keadaannya begitu pun, Biru masih tetap percaya, mempertaruhkan semuanya dengan janji yang tak pernah dia duga sebelumnya.
Yang diakhiri, "Lalu, ikutlah bersamaku pulang ke Pallet Town!"
Redo mengangguk, pemuda yang menatapnya mengerising puas.
"Perasaanku saat itu sangat campur aduk. Bisa kurasakan jantungku berdetak kencang dan kepalaku berasap. Bahkan sampai sekarang pun samar-samar aku masih merasakannya."
Perasaan Redo saat itu, dia teringat kenangan-kenangannya yang telah lama tersimpan. Tentang ketika usia sepuluh tahun sama-sama mendapat Pokémon pertama mereka, saat pertarungan awal mereka, kala perebutan status juara yang amat sengit, tentang perpisahan yang tak terelakkan.
Meski sudah beberapa lamanya berlalu, sensasi itu tetap terasa, terbukti dari tangan kiri yang meremas dada.
Biru menanap. "Eh, kau juga?"
Redo mengangguk, matanya tak berkedip menatap lekat, pipi pun bersemu merah.
"Wah ...." Ikut tersipu.
Biru pun tersadar, balik fokus. Ekspresinya antara ingin mengucap sesuatu dan enggan mengutarakan, butuh jeda sejumlah detik sampai akhirnya dia memutuskan rangkaian kata-kata.
"Aku selama ini selalu mengejarmu, selalu ingin menjadi kuat melebihimu. Aku juga ingin mendapat pengakuan dari Pak Tua, dia yang selama ini mengajariku. Tapi, sekarang aku sudah tahu batasanku."
Nada yang rendah itu mendorong Redo berpikir yang tidak-tidak. Mungkin saja Biru ingin berhenti.
"Tidak juga, bukannya aku menang melawanmu?" Dia terkekeh-kekeh atas ucapannya sendiri.
Lalu tawa itu berhenti.
"Pagi besok, pastikan kau mengunjungi Pak Tua, ya."
Redo menoleh sesaat, beralih memandang badan air.
Angguk dia berikan. Senyum balasan dia dapatkan.
Biru meraih tongkatnya. "Mari kita pulang."
***
Ini kamar Biru, yang lebih bagus daripada cerminan tempat tinggal seorang bujang dewasa, karena dia sangatlah rapi dan disiplin. Semua furnitur berbaris rapi menempel tembok, benda-benda tertata di atas meja, yang tidak digunakan disimpan baik-baik. Bahkan kasur yang cukup untuk berdua pun hanya ada sepasang bantal, satu guling, serta selimut.
Biru membuka lemari besar, mengeluarkan guling juga selimut, tentu dicek dengan indra penciuman dahulu.
Sementara itu, Redo sudah di ranjang. Namun, pikirannya terngiang-ngiang akan siluet gelap sosok wanita, yang bisa jadi dengan tangan-tangan bayangannya meliuk-liuk, melingkari lehernya sampai tercekik. Redo menggeleng, menepis gambaran barusan. Dia pun tersadar saat Biru memberikannya guling dan selimut.
"Kau tidurlah dahulu. Aku mau menulis jurnal," suruh Biru.
Padahal Redo telah berbaring di sisi kiri, melebarkan selimut. Pandangannya yang menghadap jendela dapat melihat Biru bangkit, berjalan menuju meja belajar dengan tongkat bantu jalan.
Redo khawatir, tetapi tiba-tiba perasaan capai lebih kuat mengalahkan kesadarannya. Semacam musik latar belakang menyerupai ninabobo terputar di telinga, nada-nada menenangkan yang biasa dia senandungkan di kala kecil.
Pada latar yang bersamaan, pemandangan di luar berubah terang, Biru yang membuka buku dan mulai menulis dengan pena tampak begitu familier, tetapi jauh terlupakan. Punggung yang ceking itu, tangan yang kurus itu, Redo seperti pernah melihatnya.
Visual pun pecah menjadi kumpulan keping teka-teki, berhamburan ke segala tempat.
***
Lonceng angin pada jendela kamar terkena tiupan. Tali berujung kertas harapan menghasilkan denting terhadap mangkok terbalik. Siang itu, Redo kecil yang sibuk menggoreskan pena ke buku tulis, terkejut tatkala seseorang menjulurkan kepala dari jendela yang terbuka. Biru kecil mengerising, tampak jelas mengajak anak itu bermain.
Di dalam rumah, Redo kecil menempelkan kepala dan lipatan tangan ke tembok, menutup mata seraya menghitung dengan dehaman. Setelah selesai, dia menoleh ke kiri-kanan, mencari-cari. Anak itu berlari menyusuri lorong, terlihat amat bersemangat.
Namun, mendadak langkah cepatnya berhenti, ekspresinya kebingungan, manakala seorang pemuda dewasa muncul dari balik pintu ruangan. Seorang Redo yang membeliakkan mata.
###
Klaten, 30 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top