6. Pallet Town-1

Pallet Town, kota kecil penuh nostalgia.

Embusan awal musim kering bertiup menuju permukiman yang diselimuti hamparan bunga aneka rona. Sebuah mobil kol beradu di tepi jalan tanah kadru yang tampak retak-retak, tak selaras dengan keindahan alam sekitar. Seorang pemuda turun lalu berterima kasih kepada sopir, disusul satu pemuda lain yang membantu berjalan dengan menyangga bahunya. Mereka kemudian berjalan kaki menyusuri setapak panjang, yang mengarah pada deretan rumah sederhana di ujung padang rumput, terpencil dalam rimbunnya pepohonan konifera.

“Maaf, ya, Redo. Sampai merepotkanmu begini.” Biru merujuk pada kondisi pergelangan kaki kanan yang dibarut. Redo hanya terus memapah tanpa suara. “Masih diam seperti biasa, ya … ?”

Sampai kemudian, kicau koloni Pokémon burung mengalihkan pandang mereka. Redo tiba-tiba mematung dan itu dianggap Biru sebagai isyarat untuk menjelaskan.

“Ah, ini gara-gara aku ceroboh saat mencoba mencari Pokémon di tebing. Kau tahu, laki-laki ‘kan memang begitu. Hal yang biasa, bukan?” Ocehannya bertambah lagi ketika dia sibuk mengusir burung-burung yang mengekori.

Selain itu, awan-awan di atas kepala tengah berkelana, sesekali beradu memperhatikan si dua pemuda. Di kanan kiri tampak rerumputan tinggi dan para Pokémon rumput yang bersembunyi, menari-nari seakan mengiringi perjalanan.

Kersik yang berbisik pelan tentang kerinduan, tetapi menyakitkan saat itu, menjelma tanda dimulainya kisah penuh harapan dan keputusasaan.

Semua ini gara-gara Biru, pikirnya. Boleh jadi dalam artian gembira, netral sebagai respons, ataupun justru negatif. Sebelum berangkat pergi dari tempat tinggal tahun-tahun silamnya, Redo melakukan banyak hal, yang tidak dia duga menjadi yang terakhir kalinya.

Biru sempat menanyakan kelengkapan barang-barang selagi menunggu di luar bersama si Pokémon burung raksasa. Redo menyahut dengan berdeham, kembali mengucap perpisahan kepada sekumpulan benda tak portabel, kamar-kamar buatannya, penjaganya, dan kepada hujan es disertai badai salju yang selama ini selalu menemani. 'Sampai jumpa lagi di waktu yang entah kapan tiba', isyaratnya sembari melambai tangan dan tersenyum simpul.

Pemuda itu kemudian mengecek penampilan di depan cermin pada sisi dinding batu. Dia terpaku beberapa detik, mengangguk setuju. Kaus hitam serta jaket merah tanpa lengan, berpadu celana jin biru, tak lupa topi biram melindungi rambut. Menurutnya ini cocok meski setiap saat dikenakan. Redo akui selera pakaian yang dia pilih bagus juga, secara seimbang disesuaikan postur tubuh.

Setelah keluar, mata cokelat hazel itu menangkap Biru tengah berdiri memandang putih gelap horizon yang dipenuhi kabut, lalu dia tersadar, menoleh kepadanya. Redo menatap lekat selagi berjalan, membuat si pemuda bingung dan terheran. Dari terlihatnya, penampilan Biru dengan baju hitam serta celana ungu memberi kesan tersendiri terhadap rambut cokelat madu dan mata yang khas, kulit cerah yang seakan pucat, juga ekspresi wajahnya.

Redo pikir mungkin Biru penasaran sehingga dia merunduk, mendekatkan kepala ke mukanya. Seolah pemuda yang bermimik jahil itu mencari-cari sesuatu meski tahu kesia-siaan belaka yang dia dapat.

“Jangan tatap aku dengan wajah itu, Redo! Kau harus sesekali menemui ibumu!” ajaknya.

Biru pun naik ke punggung Pidgeot.

"Ada apa?"

Redo hanya menoleh sesaat, tersadar dari lamunan, kemudian menunduk kembali, seakan menyembunyikan ekspresi dengan topi biramnya saat Biru memanggil. Bagian penutup kepala yang menjorok ke depan di dahi menjadi pelindung dari keganasan baskara yang mencorong di atas, meski demikian kegiatan menyusur menuju rumah tetap amat melelahkan dan tenaga hampir terkuras habis, begitulah pikir mereka.

Sampai kemudian Redo berhenti mendadak, meminta permisi untuk menurun. Dia bercangkung dengan kaki kanan agak ke depan, kedua lengan terlipat seakan memeluk lutut.

“A-ada apa? Jadi ternyata kau tidak mau pulang, ya?” Biru merapatkan tubuh, mendekatkan kepala. “Hei, halo? Kau dengar, tidak?”

Biru menampak tas di punggung Redo, postur bahu yang seakan memikul beban lebih dari itu. Sepoi-sepoi membawa debu serta partikel debris, menyayat kulit sekaligus apa-apa yang berada dalam pikiran seseorang yang tidak peka semacam Biru.

Biru pun menoleh serupa orang kikuk, mendukung Redo yang masih bercangkung.

“Hei, aku tahu, pasti sulit rasanya kembali ke tempat asalmu yang ingin kaulupakan, setelah berbagai kejadian menyakitkan yang sudah terjadi dahulu. Pasti sangat sulit rasanya kembali mengingat-ingat kejadian yang menyakitkan itu. Tapi, aku tahu, kau pasti kuat. Kau bisa melalui segala rintangan. Aku yakin kau pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Maka dari itu, ayo, kita bersama-sama melangkah, menghadapi permasalahan itu. Sehingga kau bisa terbebas—"

Mukanya tergemap ketika mengetahui Redo tengah membenarkan tali sepatu.

Redo mendongak heran, seperti tak mendengarkan apa yang terucap dari mulut Biru. "Ti-tidak ada apa-apa," kilahnya salah tingkah saat melihat raut muka Redo yang bertanya-tanya. Telapak terangkat di udara, tangan satunya menggaruk tengkuk, tawa kikuk pun keluar. Akan tetapi, air mukanya berubah kaku serta dagu agak terlonjak ketika mendapati Redo menggeleng cepat, dan Biru langsung tahu itu merupakan percakapan terakhir mereka.

Sampai perjalanan pun berlanjut dan kini keduanya berdiri di hadapan sebuah rumah bercat merah di sisi paling kiri dari deretan bangunan, menelaah keadaan dalam yang seakan tak berpenghuni. Suasana sekeliling pun hening, lagi pula tidak ada seorang pun yang keluar pada siang hari yang memanggang, apalagi angin kering seakan membawa hawa membakar.

Tiba-tiba, Redo dan Biru sama-sama terkejut. Seorang wanita paruh baya muncul selepas pintu membuka ke dalam. Badannya yang mengenakan pakaian longgar terkesan bungkuk saat dia berjalan mendekat sambil mengernyitkan dahi dan mengelus rambut nan kusut. Tangan kurusnya bersama ekspresi yang muram tak ayal memberikan hawa tekanan tertentu kepada dua pemuda itu.

Akan tetapi, seketika raut keriput diliputi keramahan, berujar dengan nada riang, “Wah, lihat siapa ini! Biru! Lama tidak berjumpa! Kau masih saja ceking, ya!” sapanya, menepuk kedua tangan dan menempelkan ke pipi kanan.

Mata yang juling sebelah, senyum yang tidak semestinya, raut yang berubah-ubah kentara ganjil, tiada paham maksudnya. Biru saja tak tahu harus merespons bagaimana selain mengangguk dan tertawa gagu, apalagi Redo yang berdiri bagaikan patung, menatap kosong, hanya diam mengamati.

Manik pun bergulir kembali, tertuju pada Redo yang kemudian tersentak. Figur yang tidak seakrab dahulu, perawakan yang tidak sebaik dahulu itu, memandang ke arahnya, laksana pertama kali mengetahui orang sepertinya, yang makin membuat Redo tak tahu mesti berbuat apa. Bibir gemetar, pelupuk lembap, ingin sekali mengatakan sesuatu, tetapi ucapan yang seru telah mendahului Redo.

“Wah, siapa laki-laki di belakangmu itu, Biru? Oh! Dia tinggi, ya! Lebih tinggi dan besar darimu, hihi!”

Terang-terangan si wanita menekuk punggung, memiringkan bahu, kepalanya terteleng melirik Redo. Biru pun sadar dia harus mencairkan suasana tegang ini dengan masuk obrolan meskipun itu sekadar ba-bi-bu.

“Oh, halo, Bibi! Ini teman Biru—pst!” Dia pura-pura berbisik dengan si pemuda yang gamam ibarat habis ditegur. “Namanya Redo! Dia teman lamaku yang tinggal di luar pulau. Pekerjaannya di sana menjadi tukang masak warung makan. Bibi harus mencoba masakannya nanti!”

Kelopak yang memelotot, gigi yang bergemeletuk. Ekspresi merah padam yang kentara, membuat baik Biru maupun Redo merasa mampus, napas tersekat, lutut gemetar.

“Wah, kalau begitu saya tidak sabar menantinya!" Wanita itu secepat kilat bergerak masuk.

Saat ini ingin sekali Redo menghilang, mungkin bersama Biru setelah dia mengatakannya barusan. Pintu yang dibanting tadi hampir membuat jantung berhenti. Biru menatap dengan rasa kasihan kepada Redo. Dia menunduk termenung, diam seribu basa, bak menyesali segala perbuatannya, kesal dengan tindakannya, tidak paham lagi mana hal yang benar dan baik dilakukan.

Lagi pula, Redo sudah tahu.

Hasilnya justru seperti ini.

Redo mengerti, ketika pertumbuhannya belum sepesat sekarang, pada masa yang tak terlalu jauh, ibunya mengatakan suatu hal yang tak pernah dia pikirkan selama hidup.

"Ayah telah kembali, Redo." Untaian kalimat yang tak akan pernah terlupakan selama mimpi buruknya terus berlangsung.

Namun, kesampingkan itu, Redo sebenarnya sudah terlampaui senang ketika Biru menghadiahinya pembunuh kebosanan saat perjalanan tadi.

Uh-uh, ibumu sepertinya tidak dalam keadaannya sekarang. Bagaimana kalau kita ke rumahku saja dan istirahat terlebih dulu? Mungkin kau bisa ke rumahmu nanti malam ketika ibumu sudah mendingan.”

Biru menunjuk ke sebelah, menggaruk pipi lalu mengusap peluh di dahi. Redo menatap sejenak, anggukannya pertanda mengiakan. Dia pun memapah Biru guna beralih dari situ.

Di pintu rumah selanjutnya, seseorang yang lebih tidak masuk akal tengah mengintip dari jendela, diam laksana menanti mangsa.

###

Klaten, 29 Desember 2021

Pojokan Story #2
"Kenapa Biru Pendek dan Ceking?"

Di suatu kafe, empat orang duduk mengitari meja.

Billy: Baik, kita mulai saja permainan ToD kali ini. Pertama-tama, Biru. Biru memilih truth.

Prof. Juniper: Kenapa kau kurus sekali, Biru? Apa makanmu kurang? Laki-laki di umurmu biasanya tumbuh pesat, lo.

Mira: Ah, Mira juga ingin tahu!

Biru: (mengerising) Itu karena aku punya depresi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top