41. Peanutbutter-3
Saat itu adalah masa-masa kosong ketika tidak ada yang tahu mau melakukan apa.
“PB, tahu tidak apa bukti jus beri baik untuk kesehatan mata?” tanya si aneh.
Kemudian si besar menjawab, “Setahu ana jus beri digemari karena mengandung banyak vitamin A, takiya. Tapi, tidak mungkin Father tahu itu, jadi apa memang buktinya?”
“Pernah lihat Shuckle memakai kacamata? Tidak, kan? Karena mereka sering minum jus beri! Logika adalah permen paling langka yang pernah ada!”
“Wah, Father, anta sudah makin dekat dengan kepribadian anta, takiya!”
Percakapan absurd lagi. Baru saja mereka habis berdebat tentang pelafalan yang benar dari ‘Pyukyumyukyu’, tetapi tidak ada faedahnya karena menurut Rusty bukan nama legal Pokémon. Memang logika itu permen terlangka di dunia.
Sementara Redo yang terpencil duduk di sofa, yang berdasar keadaan sejatinya tidak diperlukan, tetap tak mau angkat kaki. Mulut berdeham kesekian kali, menurutnya tak ingin berakhir begitu saja. Masih banyak hal yang perlu Redo ketahui, harus Redo tanyakan, dan dia tidak rela kesempatan di depan mata berlalu sia-sia.
Syaknya juga belum hilang. Dia merasa PB sedang mengujinya, akankah termakan umpannya atau tidak? Akankah Redo memilih tertipu dan dengan bodohnya pergi, atau menyadari dengan otak pintarnya--yang kata si genius Rusty demikian--kejanggalan demi kejanggalan, dan kemudian menyerang balik PB?
Redo mematung di tempat, kedua tangan meremas lutut. Mulut yang gemetar berbarengan pundak yang menegang, sampai PB menyuruh Rusty untuk berhenti menakut-nakuti ‘Aa Redo’ dengan bahasa klasik.
“Inikah yang dinamakan thinking out loud? Wow, bukankah Rusty benar-benar hebat?”
Lirikan intens sejajar mengarah pada remaja yang terlindungi kacamata itu. Ini pertama kalinya Redo dibuat naik pitam sejak keluar dari Mount Silver. PB geleng-geleng kepala, mencuil potongan PokéBlock lalu memberikannya kepada bayi Biru yang bersorak senang.
“Sepertinya masih banyak hal yang perlu kita diskusikan di sini, takiya. Baiklah, ana akan jelaskan sampai semuanya puas, Aa Redo,” tutur PB. Lelaki yang diajak bicara mendongak, pertama-tama pinta menghentikan panggilan itu.
Lagi pula, tatapan khas mata rodensial itu, yang hitam bulat seluruhnya dan minim kedipan meski berbulu, makin memperkecil kredibilitas ucapan untuk diikuti. Namun, Redo tetap mengikuti arahan yang ada walau tahu hal tersebut akan menyeretnya.
Sementara Rusty diminta bermain sejenak dengan bayi Biru, PB memberikan buku catatan bersampul tebal motif batik ungu, serta pulpen yang ujungnya bisa berbunyi klik. Redo menganjurkan badan untuk menerimanya, kemudian membenarkan posisi duduk.
Tangan mengesat permukaan kertas yang langsung bersih, pulpen di genggaman mengeset ide demi ide, menari-nari, menggores, menghasilkan kata demi kata. Dia tuang segenap hal yang hendak ditanyakan.
Sesudah selesai menulis dan memastikan tidak ada yang terlewat via baca ulang, Redo menyerahkan buku dengan halaman terbuka, yang tulisannya rapi serta enak dipandang itu.
Si sosok emas berjas lab yang sedari tadi berdiri di samping, mengambil guna menjawab tiap lis pertanyaan. Dia juga menjelaskan nanti PB bakal bersoal lagi buat konfirmasi. ‘Aa’ Redo cukup angguk dan geleng saja, dan untuk uji coba, tanyanya, apakah dia paham, lalu Redo menganggut.
Kelopak mata si sosok besar menyipit, mencermati tulisan besar yang ditoreh dengan huruf kapital. Dia eja suku kata demi suku kata, “Heal Order .…”
Buku di tangan diturunkan, perhatian tertuju pada Redo. Lelaki yang ditatap gugup mendadak, bibir dikulum dan tatapan menekuri lantai.
PB tidak mengindahkan itu. Dengan aktifnya kemampuan analitik, dari pertanyaan-pertanyaan yang tersaji, ditarik garis-garis biru terang khayal yang berkelok-kelok, tetapi tidak saling menabrak. Biru, Tuan Hoothoot, Pokémon, PokéHuman, bayi Biru, keping memori, teleportasi, oportunistik, penyelamatan, level 100--seluruhnya bergerak terejawantah labirin yang mengarah satu titik, menuju sebuah kesimpulan. PB membuka matanya.
“Heal Order … mungkin memiliki konsep menyerupai dunia paralel. Tiap kali dodekagon hitam aktif, tubuh Aa akan dipindahkan ke cabang dunia lain--dunia yang sama, tetapi berbeda. Itulah mengapa ada hal-hal yang berubah walaupun sepele. Tapi, siapa tahu itu bisa memberikan dampak besar ke depannya.
“Siapa yang menciptakan Heal Order, dan mengapa Heal Order diciptakan, ana pun tak tahu. Ini pertama kalinya ana mendengar organisasi di balik layar seperti itu, takiya. Mungkin saja mereka bertindak di luar sepengetahuan kita.”
Redo menyimak lebih saksama.
“Aa harus curiga di sini.” PB menunjuk satu baris kalimat pada halaman. “Sepertinya seseorang bernama Biru inilah yang menguji Aa. Mungkin saja dia ada hubungan dengan Tuan Hoothoot--tidak, dia sedang menyamar menjadi Tuan Hoothoot. Biru memiliki urusan dengan Heal Order yang tak dapat ana pahami alasannya, takiya.”
Pernyataan itu, tuduhan yang tanpa pikir ulang memang benar, saat ini tepat terpelesat menusuk dada Redo. Lelaki yang terpaku duduk, bak patung gemetar, membuang muka tak berani menentang lawan bicara. Sosok supresif kian dekat kian kuat aura intimidatifnya.
Si lelaki yang tertekan meneguk ludah dan keringat pun mengucur deras. Detak jantung bertalu-talu, napas tak beraturan, bibir menggigil, kulit memucat. Semua kacau ketika PB menatap represif dari damping.
“Ah, Aa sudah tahu?”
Redo ragu menjawab, tetapi kemudian mengiakan, dia beri anggukan mantap. Sebuah keputusan memberi tahu yang tidak semudah di bayangan orang-orang. PB pun melunak karena lega.
Sosok besar itu kemudian mengambil dodekagon hitam di atas meja. Dia angkat dan putar-putar benda itu, seakan mencari-cari sesuatu. Mari kita coba, ajaknya, tetapi memencet acak tiap sisi secara sembarangan, tak mungkin berhasil.
“Pasti dibutuhkan beberapa keadaan tertentu supaya benda ini bisa aktif, takiya. Tapi, apa?” tanya PB.
Redo yang ditatap menggeleng. PB mengernyitkan dahi, seakan-akan membatin, selama ini remaja itu mengapakan situasi yang dialaminya, tetapi entah dari perangai Redo tidak terdeteksi kebohongan. Heal Order memang mengandung banyak misteri yang sukar disingkap.
PB melirik Rusty tajam. Lalu mulutnya menghela napas, segan menatap si orang-yang-kesusahan.
“Sejujurnya ana tidak mau mengatakan ini, tetapi ana cuma bisa membantu sampai sini saja, Aa Redo.”
Redo balas menentang, lalu menunduk seraya menghelas napas. Yang bisa dia lakukan hanyalah berdiri hormat sebagai rasa terima kasih atas bantuan PB. Karena sudah habis dan tak ada urusan, mereka menyudahi soal jawab. Lain waktu, di masa mendatang yang mereka tidak akan tahu, jika bertemu lagi pasti akan beranggar pikiran kembali.
Hari pun larut dengan tanda-tanda kantung mata bertambah lapisan dan mata berkunang-kunang. PB berkata ini hari terakhir mereka, juga kemas-kemas sudah, siap dan rapi, dicek sekali lagi supaya tidak ada yang tertinggal. Tentu saja para staf lab sudah dikembalikan sedia kala sehingga sesaat PB dan Rusty pergi, para pekerja bisa lanjut beraktivitas seolah tidak terjadi apa-apa.
Di saat berpamitan, PB memberikan sebuah kartu nama, lengkap dengan foto (Profesor) PB dan nomor teleponnya.
“Simpan itu di PokéDevice Aa dan hubungi kami kapan pun jika butuh bantuan, takiya.”
“Jagan lupa ikuti balik PokéTweet Rusty!”
Redo mengangguk datar. Padahal Redo tidak punya, lalu siapa yang remaja aneh ini ikuti? Dasar aneh. Dengan mengiakan saja cukup, tidak akan ada yang tahu bahwa kepura-puraan tertutup sempurna. Lantas kelopak mata beriris cokelat hazel itu memelotot.
“Berhenti membaca pikiran orang lain, Father. Itu tidak sopan.”
“Ya, ya.” Rusty masih dengan pembelaan diri yang menjerumuskan.
Si sosok besar dan remaja mirip Redo melambai di ambang sembari tersenyum, berakhir ketika pintu lab tertutup.
Suasana ruangan menjadi hening, Redo menyapu sekeliling. Remaja itu menghampiri bayi Biru yang terlelap, lalu menggendongnya seperti biasa, agak terasa berat.
Dia beranjak ke kamar tamu di samping lab, beristirahat di sana. Bayi Biru dibaringkan di kasur lumayan besar, diberi selimut hingga terlihat nyaman. Redo melepas sepatu anak itu dan miliknya juga topi merah-putih. Gawai serta dodekagon hitam diletakkan di atas nakas. Di situ pula terdapat pigura berdiri. Kacanya silau sampai siluet pria di gambar tak tampak wajah.
Saat Redo hampir tenggelam ke dalam alam mimpi, di sanalah dia bertemu sang siluet yang menceritakan suatu kisah.
###
Klaten, 15 Maret 2022
Catatan penulis:
Shuckle
Pyukumuku
(dibaca ‘pyukyumyukyu’, probably?)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top