38. Outsider Joins-2
Debum tercipta kala sosok itu menumbuk tanah dengan kecepatan tinggi. Debu lempung pun beterbangan membentuk semacam asap, membuat kabur pandangan.
Redo yang terkejut duduk mendekap bayi Biru, jaket merahnya ditarik kuat. Belum selesai mereka dibuat tercengang, sosok itu mendadak bangkit, wajah dan pakaian tampak berantakan lagi bergelimang, di punggungnya terdapat tas yang lusuh. Dari fisiknya, dia berperawakan remaja laki-laki sebaya Redo saat ini, mengenakan jaket dan topi yang mirip, hanya saja berkacamata. Laki-laki itu pun membersihkan dan merapikan penampilan hingga kumuh meresap.
Lalu siulan takjub memecah keheningan. “Wow, tadi itu benar-benar menegangkan!” Saat dia menoleh, dua orang yang memandangnya bergidik. “Huh? Ada orang? Siapa di sana?”
Laki-laki itu tahu-tahu bergerak mendekat, mematung di depan Redo seolah-olah tatapannya amat lekat dari balik kilapan kacamata, meneliti tiap jengkal lelaki yang tengah duduk bertelut. Redo mau tak mau balas menatap, hingga penampilan si orang asing kian jelas di benak. Tubuhnya kurus, bentuk wajah bulat, tampang tampak bak bocah bengal, dan gelagat yang tak mau diam membuat semak hati.
Puas meneliti seolah sudah mengonfirmasi, remaja ganjil tersebut berjingkrak-jingkrak seraya memekik sendiri laksana euforia sedang mengudara.
“Oh? Oh! Rusty tidak percaya ini!” Dia memastikan Redo benar-benar seseorang yang diharapkannya, mendekat damping benar bahkan menginvasi ruang pribadi Redo yang lantas menimbulkan rasa tak enak. “Apa Rusty harus minta tanda tangan? Tunggu, Rusty ‘kan sudah punya satu.”
Laki-laki aneh itu melepas tas dari punggung, membuka salah satu ritsleting dan mencari-cari sesuatu. Selepas ketemu, dia berseru kemudian memamerkan selembar kertas ke depan muka Redo yang sungkan. Dahi Redo pun mengernyit.
Di selembar tersebut ialah potret dirinya, memasang pose acungkan jempol, mengedipkan sebelah mata, senyum ke kamera seraya berkata sesuai tulisan di samping paraf: ‘don’t do drugs!’.
Redo mencerling, bibirnya melengkung ke bawah dengan pahit. Kecurigaan mulai timbul pada air muka, serupa isyarat bahwa dia tak pernah tahu tentang foto tersebut, apalagi soal si laki-laki yang kini menyeringai di samping.
Saat tegang merayap sepanjang kuduk, bayi Biru dari sisi kanan tahu-tahu mengulur tangan yang mengepal-melebar, meracaukan bahasa yang sudah biasa bagi telinga Redo. Kurang lebih sepertinya dia tertarik dengan foto itu, tetapi Redo menyingkirkan dari gapaiannya. Lembar kertas pun dikembalikan.
Kehadiran bayi Biru ini lantas menarik perhatiannya. “Apa? Siapa ini? Eh, bukankah ini Biru? Tapi, bayi … ?” Si remaja terheran-heran, matanya berbinar, mulut membulat.
Redo waswas, memasang sikap siaga kalau dikata-katai.
“Wow … ! Ini menakjubkan! Biru bayi … !”
Namun, si aneh malah terkagum-kagum, nada katanya terkesan tinggi lagi bungah.
Redo menghela napas lega, sekaligus asak, tak habis pikir dengan remaja itu.
“Oh, Rusty lupa!” Seruan si aneh menarik perhatian Redo. “Rusty harusnya memperkenalkan diri, bukan? Oke, nama Rusty … Rusty. Salam kenal, Redo! Rusty adalah fan beratmu!”
Laki-laki aneh ini, Rusty, terkekeh-kekeh. Sorotnya berbinar-binar dan hidung kembang kempis. Redo menganggut canggung, tak tahu harus merespons apa.
Lalu ketika teringat persoalan di awal, Redo pun menunjuk langit, jari telunjuknya berkial mengacung lalu menukik cepat.
“Apa Rusty habis jatuh dari langit, tanyamu?” Redo memberi angguk, Rusty membalas sama. “Oh-ho. Jadi? Ada yang salah?”
Pelupuk bawah Redo menegang, tatapannya seakan tak percaya. Mungkin isi kepalanya tengah berperang, atas penentuan siapa dan apa yang benar.
Sementara Rusty, memiliki prasangka baru akan peningkatan kedekatan. Tak diberi tahu pun, dia pikir kini gilirannya bertanya. Mata terpatri pada diri Redo, berkedip bangga. Namun, kemudian pandangan beredar ke sekeliling, celingukan karena gelisah.
“Ngomong-ngomong, apa yang kalian lakukan di luar, di tempat penuh sampah ini? Apa di dalam rumah ada monster?” Mendapat pertanyaan demikian, Redo bingung untuk menjawab. Jadi dia menempelkan jemari ke dagu, tampak berpikir.
Namun, Rusty tak sabaran menunggu. Dia mengajak berpindah tempat, secara verbal memberi tahu di sini berbau seperti kakeknya saat dimakamkan. Meski demikian, Redo tak acuh dan masih memikirkan jawaban.
Lama waktu menanti, Rusty terlupa sesuatu, mungkin. Dari gumam yang pelan, tetapi masih terdengar, Redo pun menoleh. “Ah, Rusty harus kembali. PB pasti menantikan ulasan memuaskanku,” bisik Rusty.
Alis Redo berkerut seolah merasa sesuatu.
“Oh!” seru Rusty tiba-tiba.
Bulu roma seketika bergidik.
Seakan-akan mendapat ide, lengan Rusty mendepang, badan menggeliat, lalu lengan satu memutar di depan dada. Tangannya menunjuk-nunjuk seraya kepala terangkat, rahang membuka lebar.
“Oh! Oh! Rusty tau! Rusty harus mengajak kalian ke Lab supaya kita makin dekat dan bisa melakukan mutual di Pokétwit--jika kau punya, karena biasanya hanya kaum elite yang memakainya. Sekalian juga kalian kukenalkan dengan PB, siapa tahu dia bisa membukakan pintu rumah ini,” tuturnya.
Redo menanap, lalu berpikir. Selama ini dia belum mengunjungi Lab Prof. Oak karena masih tidak mencoba. Terdapat sejumlah hal yang belum siap dan tidak bisa dipaksakan. Akan tetapi, tidak ada salahnya mencoba sekarang. Mungkin saja orang-orang di Lab bisa membantu permasalahannya.
Lelaki itu bangkit, menepuk-nepuk celana, lalu menggandeng bayi Biru. Tangan satunya mengisyaratkan hendak mengajak pergi. Redo kemudian mengangguk kepada Rusty.
Si laki-laki berkacamata bersorak riang gembira, berjalan dahulu meninggalkan apit di antara dua rumah. Redo membimbing bayi Biru--anak itu bersenandung--terbebas dari pengawasan. Di kala memimpin, Rusty terus bercerita tentang kehebatan PB, meski sejatinya tidak diindahkan, tentang kegeniusan, keahlian, multitalenta.
Saat berada di jalanan hutan sehabis halaman rumah, sesuatu yang berkilau mencuri perhatian Rusty. Redo juga berhenti karena ikut penasaran. Setelah dicermati, itu ialah benda hitam pekat ganjil, berbentuk bangun ruang dengan rusuk segi lima banyak. Cahaya kehitaman berpendar dan berdesis bak uap menguar.
Redo seketika memasang sikap waspada, menggenggam erat tangan bayi Biru, tak melepaskan pandangan dari benda tersebut. Namun, tiba-tiba dia terbelalak.
Rusty berlari menendangnya, terlempar melambung cukup jauh melewati pepohonan, hingga lenyap di balik langit. Redo tercengang, rahangnya menganga, mata tak berkedip. Untuk beberapa saat dia mematung. Ketika Rusty berbalik dan memanggil, dia balik ke kenyataan.
“Apa? Rusty kira itu bola karena bentuknya bola? Bola hitam,” dalihnya.
Lagaknya cukup berpretensi. Sungguh, itu tindakan yang tidak pernah terpikirkan.
###
Klaten, 4 Maret 2022
Pojokan Story #5
“Super Deal Pokémon”
Di sebuah acara "Super Deal", Redo berdiri di pusat perhatian penonton.
PB: Baik, isi tirai mana yang bakal Tuan selamatkan?
Ada tirai 1, isinya Biru yang ditangkap Heal Order (figur stuntmen bayangan).
Pada tirai 2, isinya Jer yang dilahap skripsi.
Pada tirai 3, isinya Pikachu yang makan beri.
Redo: *tunjuk salah satu tirai
PB: Baiklah! Hadiahnya untuk Tuan!
Pikachu melompat ke dekapan Redo.
Biru & Jer: *melongo tercengang
Rusty: Dibayar berapa Rusty jadi kamerawan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top