37. Outsider Joins-1
Halaman rumah tidak seluas padang belantara dan sehijau prairi.
Anginnya sama, embusan yang menerbangkan bunga-bunga dan duri kering. Hanya saja suasananya mudah tertebak, membuat Redo langsung mengenali lingkungan sekeliling. Ini di hadapan deret rumah paling sudut, kediaman keluarga Biru. Saat sadar, lelaki berjaket merah itu menggendong bayi Biru di dekapan.
Seharusnya si bayi bisa mandiri, dan memang betul, saat minta diturunkan, bayi Biru mampu berdiri. Dia memakai sepasang sepatu seukuran telapak kaki mungilnya. Tangan pun diganjur, digenggam erat oleh remaja lelaki bertopi.
Entah apa yang sebelumnya mereka lakukan, tak ada yang mafhum. Redo berusaha ingat-ingat pun, tak dapat jawaban pasti. Mungkin saja mereka sehabis latihan rutin, karena tas berisi PokéBall tersampir di pinggangnya. Jika memang betul demikian, tak usah repot-repot memanggil Pokémon. Sehingga gerak tangan yang ingin membuka tas pun diurungkan.
Redo sedikit terheran melihat kondisi rumah Biru yang hening. Walau seperti ada yang mengawasi. Berdiri saja tidak akan membantu, maka dia bersama bayi Biru menghampiri teras. Dari luar, tak ada tanda-tanda orang di ruang tamu. Redo kemudian menuju pintu depan, tangan meraih gagang. Saat tangkai diturunkan, sesuatu menangsel, daun juga tak mau didorong.
Lelaki itu kebingungan, dia teleng kepala dengan pandangan terfokus gagang pintu. Dia rogoh saku celana, kosong. Saku lainnya juga. Saku jaket, sama kiri dan kanan, gawai saja adanya. Kemudian tas dibuka, isinya enam PokéBall.
Lalu dia berputar, mencari-cari sesuatu di teras. Karpet selamat datang disibak, daun tanaman sukulen disisir, jendela, kursi, bagian-bagian lain diperiksa. Namun, semuanya nihil. Redo tidak menemukan apa pun.
Seraya menghela napas, dia tatap bayi Biru yang ikut memasang raut susah. Kalau begini keadaannya, bisa gawat. Harus ada cara mereka masuk, tetapi apa?
Dua titik bergesekan. Opsi pertama, memanggil bantuan, tetapi Redo payah dalam berkomunikasi. Namun, bukankah tetangga Biru berarti rumahnya Redo? Itu bisa jadi pilihan nanti, sebab bakal merepotkan. Opsi kedua, menelepon penghuni rumah, tetapi sayang PokéDex v2 saat dinyalakan tidak bisa, daya baterai tak diisi.
Lantas Redo pun ada ide lain. Terbayang spontan serta tercetus pada masa genting yang tidak perlu pemikiran dua kali.
Bagaimana jika memasukkan bayi Biru lewat jendela, lalu menyuruhnya membuka kunci pintu?
Redo menatap lekat-lekat subjek yang asyik memainkan jari dan meracau. Dia menggeleng, tak mungkin bayi sekecil ini disuruh melakukan hal itu. Lagi pula di dinding teras tidak ada lubang yang muat untuk ukuran tubuhnya.
Lalu dia merasa bodoh, dua titik bergesekan. Mengapa memakai manusia--PokéHuman--ketika ada Pokémon kecil seperti Pikachu? Lagi-lagi Redo menghela napas.
Setelah itu, atas perihal opsi kedua tadi, si laki-laki menengok hunian sebelah. Bangunan dengan eksterior tak jauh berbeda, hanya saja banyak pot-pot tanaman hias di terasnya. Redo berjalan agak waswas, siapa tahu bakal ada bahaya, padahal bukan apa-apa. Pemikiran berlebihannya berhasil membawa sampai teras, tepatnya di depan pintu.
Lalu Redo baru ingat meski daun bisa terbuka, sosok berambut kusut dan baju lusuh setia memelotot dari jendela. Sorot merahnya tertuju padanya, dan dia berusaha pura-pura tidak tahu.
Rumah Redo tidak bisa, harus cari cara lain.
Pada akhirnya, dari kepala canggih itu ketemu juga pilihan bagus. Dua titik bertabrakan. Mula-mula, setelah kembali ke teras rumah Biru, Redo menengok sisi kiri rumah. Dirasa yakin, dia mengajak bayi Biru ke situ.
Di antara rumah Redo dan rumah Biru, ada sela yang agak sempit. Tempat itu tidak terawat, barang terlupakan berserakan dan rerumputan tumbuh liar. Meski demikian, Redo cukup menyukainya. Berguna untuk relaksasi, kelembapannya pas dan temperatur udara sejuk. Tidak seperti teras yang pengap serta ada yang mengawasi dari sebelah.
Redo berjongkok di pojok, mengajak bayi Biru yang ragu, lalu ujungnya serempak murung. Sebandung titik bertumbukan. Lelaki itu kembali teringat masa-masa lampau, dan memori tersebut menolongnya berdiri, menemukan bingkai yang agak timbul yang rupanya daun jendela. Jendela yang menyatu warna dengan tembok krem. Diukur dari jarak ke teras, mungkin ini terhubung ke ruang tamu. Redo coba menggaruk, menemukan tepi, lantas menariknya. Namun, itu tidak bergerak, jendela tetap rapat.
Redo pun balik ke posisi turun. Pikirannya lagi-lagi berkelana ke lautan kenangan buram masa silam. Ini berbeda dengan kamar Biru yang terletak lebih di belakang, yang dia tahu jendelanya menghadap pemandangan alam sebelum hutan.
Biasanya Redo kecil berputar terlebih dahulu dari teras depan, ke celah samping, baru sampai di belakang rumah, menyapa Biru yang sibuk membaca buku. Dia ingat setelah itu mereka bermain gim konsol Game Boy bersama di rumahnya. Namun, kebiasaan itu sudah tidak lagi Redo lakukan sejak jalur diblokir atas kesepakatan para orang dewasa karena takut terjadi apa-apa ke anak mereka.
Kini lelaki yang memojokkan diri di antara dua rumah sudah terlalu murung, bersama si bayi, tidak tahu mau apa lagi. Dia melirik bayi Biru yang mondar-mandir di hadapan, kemudian memainkan tanah, jalan-jalan lagi. Anak itu tak masalah dikelilingi rumput dan tumbuhan liar. Seruan pun muncul manakala dia menemukan sesuatu, yang diacungkan tinggi, berkilauan, yakni sebuah kelereng kotor.
Menyaksikan bayi Biru ditambah latar tempat dan suasana, Redo kian ragu akan masa kecilnya. Tentang kenangan ini-itu, abece, tanpa ba-bi-bu, semua campur aduk.
Di lain sisi, bayi Biru yang tidak tahan dengan ekspresi depresif Redo, menghampirinya seraya memanggil dengan bahasa khas, menunjuk kelereng di genggaman. Jengah diabaikan, dia pun mengunjukkan kelereng tepat di depan kelopak Redo, yang langsung membuatnya kemasukan kelilip. Renungan masa kecil buyar sudah.
Dia pun agak tak senang, kemudian terheran. Kelereng comot dia terima, atas dasar jenuh menggesek dua jari hingga lecet. Memang benar seharusnya yang lebih dewasa lebih berpikir rasional.
Redo mendengkus tidak secara harfiah. Tak praktis, lah, otaknya. Seperti baru pertama kali saja dikunci dari luar. Akan tetapi, memang pertama kali, kalau dipikir-pikir. Selama ini dia tinggalnya di gua Mount Silver, tak perlu pintu dan gembok karena sudah ada Pokémon yang menjaga dari ancaman luar.
Lelaki itu tiba-tiba merasa ingin kembali ke sana, rindu dengan kesehariannya.
Ketika bayi Biru meracau, kesadarannya ditarik kembali. Redo mengerjap, aliasnya menukik. Masih ada hal yang perlu diselesaikan di sini sebelum pulang.
Pulang? Dia mengangkat kepala, memandang rumahnya. Bukankah tempat untuk pulang ada di depan mata? Namun, mengapa terdapat rasa sesak di dada dan pedih di muka.
Lelaki itu kembali terkenang Biru, sosok Biru yang hilang.
Saat mendongak ke atas, langit biru membentang luas, ribuan kapas putih berkelana, matahari tampak sekecil kelereng yang dipermainkan.
Lalu matanya terbeliak, matahari tertutupi titik bayangan.
“Yang di bawah! Awas … !”
Seseorang jatuh dari langit.
###
Klaten, 4 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top