36. Lyra-2

Sebuah emporium yang ramai dibicarakan orang-orang. Banyak kios yang buka bahkan sebelum waktu belanja tiba. Pada emperan, barang-barang yang disusun mampu menarik minat para calon pengunjung. Dari sekian yang berjajar, ada satu toko yang mendagangkan barang-barang khas wilayah timur. Terdapat plang besar di atapnya dan tidak bisa dibaca jika dalam bahasa sendiri. Toko besar yang terletak di pojokan itu dominan merah pekat serta kilau emas.

Tidak terlalu ramai, jika dibandingkan. Hanya, yang jadi daya tarik ialah eksklusivitasnya. Bagi pembeli yang mengaku datang jauh-jauh, mereka mencari barang yang ditemukan di toko semacam ini.

“Saya sudah berkeliling dari kota ke kota, baru kali sekarang mendapat pesanan yang seratus persen sesuai keinginan,” tutur satu pengunjung ke pengunjung sementara pemilik toko melayani di lain bagian. Mereka tampak menilik barang keramik, pada pot-pot besar serta jambangan.

Debu beterbangan. Redo mendarat di halaman luas depan PokéCenter, bangunan putih beratap merah dengan tulisan ‘P.C.’ di dinding luar. Lelaki itu langsung mengembalikan Charizard ke PokéBall lalu berbaur dengan lalu-lalang pedestrian walau kentara dari pakaiannya yang PokéTrainer.

Menjadi wisatawan tak ada buruk, mengingat Pewter City tak terlalu besar seperti Celadon yang ada mal atau lain-lain. Daripada membahas trivial, Redo terus berjalan ke tempat tujuan sesuai arahan ingatan.

Mula-mula dari PokéCenter bergerak ke timur, lurus terus ikuti keramaian. Begitu sampai di perlimaan, ambil simpangan yang besar, masuklah ke kompleks emporium. Untuk mencapai toko yang dimaksud, masih perlu melalui jalur panjang, mungkin bakal bertemu banyak perempatan di gang sempit itu, atau kios-kios yang mencuri mata. Hingga ada belokan, ke kanan dan lurus sampai di ujung. Di sanalah toko yang dicari berada. Etalase yang memamerkan benda-benda mainan, kombinasi merah pekat dan emas berkilau.

Ketika hendak masuk ke toko besar lebih dalam, Redo hampir bertabrakan dengan seorang pria tua yang bersama gadis muda. ‘Ayah-anak?’ Redo bertanya-tanya. Bahasa obrolan mereka pun sulit dimengerti. Ya, yang pasti mereka pelanggan. Yang keluar membawa beberapa benda menggembung terbuat dari kertas, lampion.

Redo akhirnya bisa masuk sekarang. Lebih dekat ke pemilik toko, tampak dari kaca tembus pandang. Berdiri di meja kasir, seorang kakek berbaju seperti piyama, tetapi modis dan kinclong, putih senada uban di kepala dan bauknya. Serta di seberang, perempuan seumuran Daisy yang sibuk menata barang. Kurang lebih pakaiannya sama, warna merah terang. Keduanya tinggi badan hampir mirip. Sebelum diperhatikan, Redo sudah sempat mendengar percakapan mereka.

Kurang lebih dari si perempuan, “Akhir-akhir ini banyak yang pesan lampion, ya?”

Dan, dibalas, “Oh, itu untuk acara festival akhir tahun. Sebentar lagi, bukan?”

Apa yang mereka bicarakan? Ya, di samping itu, kalau dilihat dari dekat, si perempuan lebih mirip seseorang, dan memang itu orangnya. Respons Redo bisa mengenali, agak canggung rasa hati.

Rambut hitam lebat yang dikucir kuda, panjang ekornya menyentuh punggung nan ramping. Lekuk tubuh yang pas ke baju merah panjang, paha yang langsing. Dari mata kaki ke mercu kepala, semampai betul dia. Wajah putih bersih dengan bulu mata lentik nan elok. Karismatik, ada aura tertentu ketika datang menghampiri.

“Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” tawarnya.

Redo pun mendapat petunjuk bahwa plang dibaca Toko Antik Lyra. Ah, jadi itu.

“Hm?”

Setelah tahu maksud si lelaki berjaket merah yang datang bukan sebagai pembeli, melainkan berkunjung sebagai tamu, Redo pun dipersilakan ke ruangan yang banyak sofa bermotif ulir bunga. Sebelum itu, Lyra--tahu sekarang namanya memang demikian--bersih-bersih bangku dan meja. Saat Redo duduk, perempuan tersebut justru beranjak keluar.

“Tunggu sebentar, ya?” izinnya. Lyra pun ke ruangan lain yang terpisah kaca tembus, jadi Redo bisa melihat lakunya melepas apron, mengelap tangan dengan saputangan, merapikan pakaian dan rambut di depan cermin.

Baru selepas mantap, Lyra duduk di sebelah sambil membenarkan posisi, menumpangkan kaki.

“Jadi?” tanyanya dengan ekspresi ramah. “Ada urusan bisnis apa?”

Redo pun memberi isyarat gerak kepala bahwa tujuannya kemari bukan persoalan bisnis. Lalu dengan tangan dia tunjukkan selembar kertas bertulis ‘Biru’ dan pelengkap.

“Oh ….” Ada raut kecewa pada mukanya. “Kau mau bertanya soal Biru? Uh--” Lalu air mukanya berubah jadi kurang mengerti. “Siapa itu Biru? Biru yang mana, ya?”

Sang tamu mendorong dia untuk menggali-gali, Lyra berusaha ingat-ingat pun masih tak mafhum. Akhirnya dia minta bantuan kakek di kasir, agak berteriak, menanyakan apakah sang ayah kenal Biru atau tidak. Katanya, dengan ‘oh’ seru, orang dengan nama itu ialah temannya sewaktu sekolah.

“Ah, Biru Oak! Teman sekelas saat sekolah dasar. Aku ingat sekarang,” tandasnya, diirngi tawa kecil yang malu-malu ditutupi telapak tangan.

Lelaki bertopi mengangguk-angguk dan seketika antusiasme bangkit. Kepalanya menjulur guna dengar lebih lanjut mengenai subjek yang dibicarakan.

“Biru, ya ….” Lyra berpikir relaks. “Kau serius ingin tahu?” Redo menganggut sungguh-sungguh. “Oke, hmm …. Biru dan aku adalah teman sekelas saat sekolah dasar, kami sering bermain bersama yang lainnya, kau tahu seperti anak-anak biasanya, kerja kelompok, belajar, bercanda tawa. Setelah lulus, kami tidak saling kontak lagi. Itu saja, kurasa?”

Alis Redo mengernyit. Bukan begitu jawaban yang diharapkan. Diam sejenang, beberapa lamanya hening dalam suasana canggung. Lyra tersenyum kikuk menungu respons lelaki tersebut.

Tak ada cara lain. Maka pikir Redo, saatnya mengeluarkan sesuatu dari saku jaket yang sedari tadi dia remas. Sebuah kertas amplop cokelat, dianjurkan kepada si perempuan. Ada tulisan ‘untuk Lyra’ di bagian atas. Yang dituju tentu heran, ragu untuk percaya. Meski pada akhirnya diterima juga, dia buka. Ternyata isinya selembar surat yang kemudian ditarik keluar.

Ditumpuk lembar kertas di atas amplop, sempat tertangkap di akhir surat tertera ‘dari Biru’. Lyra senyum-senyum sendiri seiring membaca paragraf demi paragraf dalam satu halaman tersebut. Lalu mendadak dia katup mulut dengan tapak tangan, napasnya tersekat. Tak dirasa air tangis mengalir dari pelupuk mata.

Sebelum perhatian berada di akhir surat, jari-jari Lyra sudah spontan bergerak melipat lembar kertas. Cukup, isyarat gesturnya. Dia kembalikan benda tersebut kepada Redo.

Kenangan masa silam yang menyalahartikan bahwa janji anak kecil adalah omong kosong, tetapi tertanam lekat dalam memori. Kilas balik pengkhianatan, persahabatan semu, kepolosan yang tak bisa membedakan baik-buruk. “Kita akan selalu bersama!” ujar anak laki-laki itu menggandeng tangan-tangan temannya dalam lingkaran di bawah naungan pohon ek. Memang ada hari yang tidak bisa dimaafkan dan itu tidak dapat dihilangkan bekasnya bahkan ketika kau tumbuh dewasa.

Setelah menenangkan diri barang mengusap air mata dan mengisap air hidung, Lyra bercerita, walau masih sesak.

“Aku dan Biru dulu berkawan baik, bersama dua teman lainnya. Dia berjanji kepada kami setelah lulus nanti akan selalu bersama-sama. Tapi, suatu hari ada kabar yang mengatakan bahwa kepala keluarga Oak adalah teroris, dan saat itu juga Biru keluar dari sekolah. Teman-temanku merasa dikhianati dan sejak itulah aku tidak mau berurusan lagi dengan Biru. Ya, aku melupakannya.”

Dia berkial menyudahinya, menepuk tangan sekali, meminta maaf.

“Jadi begitu saja. Selamat tinggal, aku tidak ingin bertemu lagi …. Bertemu denganmu mengingatkan tentang Biru dan mengingatnya itu menyakitkan.”

Ya, itu benar. Yang hilang kontak bertahun-tahun pun tak tahu-menahu keberadaan Biru, apalagi dirinya sendiri.

Masih di tempat, Lyra menuntaskan sisa sendunya, ketika sang ayah menghampiri lalu menenangkannya. Sementara Redo minta diri, membungkuk dengan wajah datar. Dia pun meninggalkan ruangan, melangkah hingga keluar dari toko. Di emperan, masih ada sisa langit biru kala dia mendongak.

Redo pun mencari tempat yang terbilang luas, yakni lahan parkir nihil kendaraan. PokéBall dikeluarkan dan Charizard dipanggil. Mereka terbang dari sana, memelesat menuju angkasa.

Perjalanan udara itu membawa sampai sebuah kota di balik tebing, suasana ungu tua dengan menara tinggi berdiri kukuh di tepi. Charizard pun mendarat perlahan di depan PokéCenter, menggulung sayap reptilianya. Redo berjalan ke salah satu bangunan rumah besar, setelah masuk dan saling angguk dengan seorang pria, dia menuju salah satu pusara, berdoa di depannya sembari memberi dupa.

Selepas itu, Charizard terbang lagi, membawa Redo. Dari sayap lebarnya, kilau kelip-kelip beterbangan turun, menyebar ke udara bebas, jatuh ke daratan. Pada langit biru bercampur ungu, awan-awan berkelana, angin terbelah, matahari bertengger di ufuk barat.

Terdengar dering dari saku jaket. Gawai pun diangkat dan berbunyi klik.

“Halo? Redo? Ini aku. Bayi Biru? Uh …. Iya, aku sudah menghabisinya … !”

###

Kudus, 23 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top