34. Friends-9

Denting jam dinding kian lama menipiskan waktu bersamaan aliran pasir dalam tabung kaca. Hari ini semuanya tidak boleh berdukacita.

Hari ini segalanya berakhir.

Orang-orang sengaja melemparkan buket-buket bunga ke jalanan, hingga aspal berubah warna dan empuk. Saat sejumlah sepatu dan alas kaki lewat, jalanan jadi basah layu. Di samping itu, para remaja yang pakaiannya rapi seperti pertama kali beli, mereka tersebar pada bauran di sekitar stan foto atau spot dengan pemandangan bagus.

Seperti di barisan papan gabus sintetis dengan ukiran timbul bertuliskan ucapan meriah, berhias rangkaian bunga serta pita aneka rona. Letaknya di samping gedung, agak luas. Bisa dibilang, tak ada tempat lain yang lebih mending dari itu.

Tentang siswa, memang sedikit yang lulus, tetapi tetap sanak saudara dan sanak fiktif ramai ambil gambar sama-sama. Berbareng junior yang sengaja tumpah tangis, bertukar surat, bagi-bagi bingkisan. Fotograf selalu menunjukkan hal yang lumrah: satu sampai tiga orang, mencolok di antara pakaian-pakaian formal, saputangan terlipat pada saku blazer biru, mereka memamerkan gulungan hitam.

Semua saling bertukar salam.

“Selamat atas kelulusannya, Senpai!”

“Senpai, aku akan merindukan kalian!”

“Jangan lupakan kami, ya!”

Sementara Biru sendirian.

Di kelas yang nihil presensi. Ada potongan-potongan pita dan debu jejak sol sepatu pada lantai tegel. Tentu saputangan di saku juga gulungan hitam bersamanya. Lantas mau apa? Sama layaknya lulusan lain bukan berarti dia mendapat perlakuan sama.

Laki-laki itu termenung di bangku pojok kiri belakang dekat kaca, bertopang dagu. Lambat laun hati pun bosan sehingga dia berkeliling di dalam ruangan, bersandar pada papan tulis, atau untuk terakhir kali duduk di atas meja guru. Tak apa, tiada seorang pun yang memarahi.

Awalnya semua remaja di kelas merapikan meja dan kursi, memasang ornamen, dan sebagainya. Lalu seseorang berceletuk, “Mengapa kita harus repot-repot?”

Yang lain menjawab, “Justru karena sekarang itulah.”

Matahari di langit mulai naik. Tas saku dia ambil karena rasanya keramaian di luar sudah reda. Beruntung hari ini cerah, Biru bernapas lega sembari berpaling sehabis menengok jendela. Dia bereskan ketidakrapian di kelas, meja dan kursi yang asimetris, tulisan spidol, proyektor hidup, alat-alat kebersihan dan tempurung kelapa. 

Ada kenangan yang tak ingin dilupakan sekaligus enggan teringat oleh Biru. Bukan sesuatu yang spesial jadi dibiarkan berkeliaran. Melepaskannya sekarang tidak masalah, justru waktu yang tepat, barangkali? Waktu itu, dia mendengar mereka membicarakan tentang Biru. Seru rasanya jika yang dibahas kejelekan seseorang, bahkan anak sekolah dasar pun tahu itu.

Katanya, ‘Ayah Biru-kah … ?’, ‘Ah, bohong … !’, ‘Benarkah? Jangan asal bicara.’

“Betul! Ayah Biru sering datang ke toko orang tuaku. Orang itu mondar-mandir di rak mainan, tapi tak membeli satu pun. Ketika ibuku bertanya, katanya dia ingin menghadiahi anaknya sesuatu, tapi dia tak tau anaknya suka apa, jadi dia tidak jadi beli.”

“Wah …. Enak sekali jadi Biru, ya?”

Mereka angguk-angguk.

Biru kecil yang sembunyi di lorong membatin. ‘Hadiah mainan? Apa, ya, itu? Nanti pulang sekolah aku tanyakan ke Ayah saja, deh.’

Di rumah ketika malam tiba, Biru menghampiri ayahnya di sofa ruang tamu yang tengah membaca koran.

“Ayah, apa Ayah membelikan aku sesuatu?”

Sang ayah pura-pura syok. “Eh? Maaf, ya, Biru. Padahal hari ayah, kenapa Ayah sangat teledor? Biru maunya apa?”

Biru tampak berpikir sejurus. “Sesuatu yang bisa membuat Pokémon menjadi kuat!” Wajahnya tampak bersemangat.

Yang dipinta pun mengangguk dan mengelus mercu kepalanya.

Biru pikir, alasan sang ayah hanya memberikan Redo bingkisan hari itu karena dia sudah tidak dianggap, ayahnya pilih kasih. Ternyata bukan. Ayahnya juga memikirkannya. Namun juga, menjadi pimpinan Tim R merupakan salah satu bentuk pengkhianatan kepada keluarga.

Kurang lebih memang sebuah ingatan yang tidak terlalu penting.

Yang penting ialah, ke mana Geng Biru sekarang?

Brendan tidak ada di dekat mesin minuman biasa dia mencari harta karun jus kesukaan. Lyra tidak ada di perpustakaan biasa dia membaca novel favorit. May tidak ada di lorong sekolah biasa dia menyapa lalu-lalang.

Biru kelimpungan. Mereka pergi saat dicari, datang saat tak dicari. Seperti Shuppet saja. Padahal harus segera ketemu sekarang. Besok adalah hari sang ayah bebas, tepat sehari setelah kelulusannya, jadi dia perlu bergegas.

Barulah Biru sadar akan kesalahan dalam pencariannya. Yang harusnya dengan intelek, malah animo. Mondar-mandir di dalam-luar sekolah hanya membuat Biru terlihat semacam orang hilang akal. Oke. Biasanya, apa yang mereka bertiga lakukan ketika hilang? Mungkinkah menyiapkan kejutan untuk Biru? Hm, itu terlalu norak. Atau, menahan di jalan pulang ke asrama? Ah, sulit memang. Lagi pula, aneh juga.

Saat di lorong dekat loker rak sepatu, mata Biru menangkap sesuatu yang berkilau dari sana. Dia pun menghampirinya, lantas menemukan sepucuk surat dengan segel merah, juga terikat benda logam perak. Kalungnya.

Biru, kami senang telah menjadi temanmu, dan kami sangat menghargai pertemanan kita. Terima kasih atas waktu yang menyenangkan, dan segala alasan lainnya. Saatnya melepaskan’.

Melepaskan? Ini aneh. Bukankah mereka berempat selalu sukaria bahkan ketika melakukan hal-hal tidak penting di waktu bosan, bersama-sama? Brendan dengan gurauan yang disengajanya, Lyra dengan perhatian khususnya, dan May dengan energi positif.

Mengapa harus berpisah? Mengapa harus sekarang? Bukankah selama ini mereka berempat selalu bersenang-senang?

Justru karena sekarang itulah.”

Ah, begitu, ya? Biru sudah paham. Ada hal yang tidak ingin dikenang kembali karena sudah lama berlalu.

Seperti saat sekolah dasar, tiga teman itu menjauh dan terlupakan. Masa sekolah senior di waktu yang kebetulan, Biru berpapasan ketiganya pada kesempatan berbeda. Brendan tampak lebih gentleman daripada kecil dahulu. Lyra pun berusaha jadi perempuan yang suka berbaur dan ramah. Sementara May berkebalikan, dia suka merundung yang lemah dan mengacau fasilitas umum. Merekalah yang menjadi kepompong teman Biru.

Biru tahu itu. Sebenarnya tahu itu. Namun, apa yang dia lakukan?

Manakala hari lulus tiba, Biru harus melepaskan teman-temannya. Detik ketika Biru bertemu teman sekolah dasarnya yang sudah berbeda, Biru pun sadar. Dia sendirian. Mereka berbeda dengan teman yang dikenalnya. Itulah definisi dari melepaskan.

***

Remaja laki-laki berblazer biru yang duduk di kursi depan kelas itu bertopang dagu dengan posisi kedua tangan saling bertaut. Layar proyektor yang terproyeksi bersalin statis. Gabungan titik-titik dan gelombang zig-zag berkerumun bagaikan serangga. Ruangan kelas temaram, langit di luar beralih petang, lembayung bersama jingga yang penuh teka-teki. 

Biru yang terdiam, amat lama, menghabiskan waktu di sana. Raut mukanya menjadi sendu, ucapannya berulang-ulang membenci diri sendiri, air mata mengalir dari kedua pelupuk, terus menunduk.

Kala itulah, terdengar suara tiga kursi didorong, disusul langkah sepatu bersamaan.

Tiga orang bergabung memeluk Biru yang terduduk di kursi, menunduk, tangan bertautan.

"Dirimu berharga, Biru," ujar Lyra.

"Kami menyayangimu, Biru," tutur May.

"Kami akan selalu bersamamu meski kami melupakanmu dan kamu melupakan kami," ungkap Brendan.

Redo melihat dari ambang pintu, tersenyum getir, tetapi tersirat sedikit kelegaan. Tatapannya masam. Mata menyipit menekuri lantai, bibir melengkung ke bawah.

###

Kudus, 23 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top