32. Friends-7

Kedua lengan jatuh menumpu tanah, tubuh dipaksa bertekuk lutut.

Biru terengah-engah, titik-titik peluh menetes dari dahi dan rambut yang kuyup. Pundaknya naik turun, rahang membuka tutup, menentang muka lawan. Tatapan mata cokelat madu itu tidak percaya meratapi kenyataan.

Lawan muda di seberang sana menarik Pokémon-nya lalu berseru senang. Bahkan musik perayaan yang menggema terdengar bagai nyanyian kematian di telinga Biru.

Usai seluruh kegiatan menemui akhirnya, lelaki bermata cokelat madu melangkah cepat-cepat sepanjang koridor sekolah hingga gerbang keluar. Semua orang dilewati begitu saja, sikap acuh tak acuh menerobos kerumunan yang kebanyakan jasa jemput.

Bahkan Brendan yang mengekori dibuat kewalahan olehnya, memanggil berkali-kali pun tak diindahkan.

“Hei, jangan terlalu memikirkannya,” ucap Brendan ketika berhasil menyusul.

“Aku tidak memikirkannya!”

Laki-laki berambut putih menghela napas. Dia tahu kebiasaan Biru ketika merajuk.

“Bukan salahmu kalah di pertengahan babak karena Pokémon-mu lelah, itu saja!”

“Aku tahu. Memang adik kelas itu yang pantas mendapatkan gelarnya.”

“Bukan begitu! Hei, Biru! Tunggu, hei!”

Lagi-lagi Biru harus dikejar. Sungguh kakinya gesit sangat menembus para pedestrian. Si laki-laki rambut putih sampai mencekal pergelangan tangannya, diremas agak jengkel. Orang-orang yang melihat jadi terheran-heran. Biru menanyakan mau dibawa ke mana dia, Brendan malah mengajaknya berhenti di bawah tiang listrik.

“Aku ingin mengakui sesuatu,” ungkap laki-laki berambut putih itu.

Ekspresi begitu serius yang ditunjukkannya sontak membangkitkan rasa ingin tahu di benak Biru.

Maka Biru sabar menanti sampai lelaki yang mematung itu siap mental. Brendan masih tampak berpikir-pikir, dan akhirnya dia mantapkan hati. Perlahan tangan mengepal di dada, lalu terangkat perlahan-lahan, sampai di atas kepala. Benang-benang lembut warna putih kelabu yang melekat di situ diremas, lalu ditarik hingga lepas. Dia genggam gulungan putih tersebut di depan perut.

“Rambutku sebenarnya hitam.”

“Peduli amat.” Biru melengos.

“Ya, siapa tau kau mengira rambutku putih dan saat mencatat di bukumu kau menulisnya ‘laki-laki berambut putih itu’.” Laki-laki berambut hitam itu menatapnya.

Biru terlihat habis akal, tak paham apa-apa lagi. Brendan berkelakar, hanya candaan. Kemudian dia memasang lagi rambut tiruannya. Laki-laki yang balik rambut putih tersebut ingin menemani Biru ke suatu tempat, yah, sebagaimana remaja laki-laki pada umumnya.

“Oke. Pesanan satu hot coffee untuk meja 18.” Wanita kasir menuliskan order kemudian menyerahkan kepada pria pramutama bar. Biru dan Brendan menunggu di depannya.

“Kau tidak beli?” Brendan menoleh.

“Aku tidak doyan kopi pahit.”

“Tambah susu ‘kan bisa?”

Biru hanya berbalik setelah uang kelebihan diberikan lalu masuk dompet. Lelaki berjas biru itu berlenggang sampai di meja pojokan yang terhalangi dua lemari buku. Brendan mendengkus kemudian turut duduk di seberangnya. Sambil membunuh waktu, mereka melangsungkan obrolan santai, ya walau hanya si rambut putih yang berbicara, sementara Biru tampak bermuka masam, membuang muka sambil bertopang dagu.

Intinya Brendan memberi selamat atas capaian Biru hari ini, usaha keras selama ini. Pramusaji pun menyiapkan servis spesial karena seragam yang dikenakan Biru. Espreso panas campur susu dengan garnis bubuk cokelat tertulis ‘Congrats!’ di busa susu.

Biru tergemap dan langsung menyela, “Tapi, saya tidak memesan kapucino--”

Pramusaji mengangkat tapak tangan seraya tersenyum. “Servis.”

Setelah keluar, Biru memasukkan beberapa lembar uang ke dompet. Saat kantung kulit membuka, terlihat sebuah foto--yang mencuat, tetapi tak diambil. Potret itu menceritakan kilasan kejadian masa pernikahan penuh kebahagiaan, orang-orang berbaris di panggung dan bersukacita. Pengantin wanita yang dikenali, tampak jelita.

Biru tersenyum agak pahit. Lalu dia menoleh ketika dipanggil.

Brendan menatapnya lekat-lekat, tangan terulur seakan berpinta sesuatu. “Apa pun yang terjadi, Biru, jangan sampai melupakan tujuan hidup.”

Remaja yang dimaksud terkesan seketika, dia tak tahu harus berkata apa.

“Janji kelingking?” Jari-jemarinya membentuk genggaman, selain kelingking yang teguh.

Biru mengernyih. “Lelaki tidak melakukan itu.” Dengan tangan kiri, dia tolak lengan Brendan. “Begini.” Kemudian tangannya mengepal, mengarah kepadanya.

Brendan pun menyeringai, ikut mengepalkan. Kemudian dua tangan itu beradu di udara.

“Aku janji,” ucap Biru, dengan sorot mata penuh keyakinan.

Namun, benaknya tiba-tiba tergemap, atas ingatan di tempat yang berlainan pada masa lampau, ketika dua remaja saling hadap, satu dengan jari tergenggam, satu mematung dengan bibir tertarik ke bawah. Mereka berpisah, dan Biru memilih diam atas apa yang terjadi, seakan cuma bisa menerimanya.

Ketika Brendan lesap dari pandangan, yang dia lakukan hanyalah tidak lagi dengan ekspresi berseri.

***

Memasuki semester baru bagaikan segala persoalan berlalu dalam sekejap. Para siswa di sekolah PokéTrainer tampak cerah. Bukan untuk dikeruhkan kembali oleh hal-hal tak diinginkan. Lagi pula, semua sudah melindungi hati masing-masing ke dalam sangkar emas.

Perpustakaan biasanya penuh akan keheningan dan ketiadaan, tetapi hari ini sejumlah siswa menempatinya. Bukan tanpa alasan guru mereka menyuruh belajar mandiri karena beliau ada acara. Kabar baiknya remaja-remaja itu bebas melakukan kesukaan. Tidur di karpet yang tergelar di lantai atas, yang lain sibuk bergumul di meja lebar dengan buku-buku tebal, sisanya mengelompok sambil berbisik-bisik.

Brendan masih memilih novel genre favoritnya di rak khusus, sedangkan May menebar energi plus ke udara perpustakaan. Sementara Lyra bersandar memperhatikan mereka, fokusnya tahu-tahu teralihkan pada hal tidak beres dari arah lain. Perempuan tinggi itu pun menuju ke sana, lantas memergoki Biru sendirian di pojok perpustakaan.

Lyra melangkah tanpa bunyi, mengendap-endap. Punggung laki-laki berjas biru kian dekat, yang rambutnya berantakan itu--saking inginnya merapikan, Lyra sulit menahan keinginan lengan yang bersilang. Maka Lyra mengelus rambut kucir kudanya sendiri.

Perempuan tersebut mengernyitkan alis lantaran menangkap sesuatu yang janggal dari aura Biru.

“Hei, ada apa?”

Pundak Biru terperanjat lalu dia cepat menoleh. “Tidak ada apa-apa,” balasnya.

Ada kesan buru-buru serta panik dari raut lelaki itu. Biru kelabakan memasukkan sesuatu ke saku celana, memungut kain gelang dan menempelkan ke pergelangan tangan kiri yang tercetak garis-garis merah. Lyra sempat melihatnya.

Biru pun tahu sehingga tak ada yang harus disembunyikan. Justru dia heran atas respons si perempuan. “Kau … tidak terkejut?”

Lyra yang membeku kemudian menghela napas. “Kalau boleh, jujur, iya. Tapi, pasti ada alasannya sampai kau melakukan itu.”

Dengan santai, Biru memasang kembali kain gelang warna ungu gelap tersebut sambil mendengarkan. Sesaat akan membalas, tatapannya berubah. “Kakakku, Daisy, saat tahu dia langsung panik mencari kotak P3K. Memang dia benar-benar kakak yang terlalu sayang ke adiknya.”

Lelaki itu mengusap-usap pergelangan tangan selagi berbicara, pandangannya tak lepas dari bekas guratan.

Lyra mendekati Biru, hampir menyandar ke bahunya. Orang-orang bilang dia adalah pendengar yang baik, dan baru kali ini ada keinginan untuk mematahkan kebohongan orang-orang itu.

“Hei, ada apa?” tanya si perempuan untuk kedua kalinya.

Biru meraup muka, jari-jari gemetar di depan kerlingan mata yang terbeliak menembus celah-celah. Dengan napas yang tersekat pendek-pendek, denyut nadi bertahap meningkat sampai hampir pecah. Mulut yang menggigil pun membuka patah-patah.

“Sensei itu …. mengingatkan seseorang ….” Sekujur tubuh Biru mengejang, bibir terbata-bata. “Ruangan … gelap … terikat … minta tolong--”

Ketika anak itu terjaga pada keadaan gelita meski mata berhenti mengerjap, dia mendapati dirinya duduk di kursi. Tangan terlipat ke belakang, tak dapat ditarik. Kaki di bawah pun seperti ada yang menahan. Barulah si anak sadar sebuah kain menutupi indra penglihatnya. Saat ini mulut tidak ada yang menyelubungi, tetapi dia tak yakin harus memilih apa.

Derap kaki tertangkap liang pendengaran, sehingga benaknya terperanjat, bertanya-tanya, siapakah gerangan? Akan diapakan dirinya? Jantung di dada mencelus, berbagai pikiran memenuhi kepala, ingin rasanya segera lepas. Namun, suara yang familier membuatnya sedikit lega, kepercayaan akan diselamatkan.

Akan tetapi, tangan yang mengelus dagunya, menelusup masuk ke bajunya, tindakan yang menyebabkan dia berteriak dan meronta-ronta, yang langsung dibungkam selagi tangan bagai ular terus bergerak. 

Biru keluar dari lamunan saat lengan mendekapnya. “Jangan diingat lagi kalau menyakitkan.”

Lelaki itu memberi anggukan. Hanya isak kecil di selanya mengatur napas dan denyut jantung, memejamkan mata terdiam.

Setelah beberapa saat, keduanya duduk menyandar tembok. Lyra melirik lengan Biru. “Kebiasaan itu … sejak kapan kau melakukannya?”

“SD.”

Lyra kaget. “Sampai sekarang?”

Biru mendengkus ketus. “Kau ‘kan tahu sudah berapa lama aku di sini? Tidak lulus SD, sekolah dojo, magang PokéTrainer, sampai di sekolah PokéTrainer. Bertahun-tahun.”

“Begitu, ya ….”

Reaksi itu seketika menghilangkan beban di dada. Biru menganggut lega saat rasa tulus memenuhi kepalanya, hingga dia mengucapkan kata ajaib itu.

Pipi Lyra jadi semu merah. “Ke-kenapa?”

“Bukan apa-apa,” katanya. Kurang lebih Lyra bisa menebak alasan dia berterima kasih dan sepertinya itu bukan berarti bagian dari miliknya.

###

Kudus, 10 Februari 2022

Sebenernya mau di-pub 8 Feb pas ultahnya adikku tapi gak jadi :'v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top