30. Friends-5
Ada satu hal yang Biru temukan hari ini. Diskoveri yang mengalahkan ilmuwan terhebat sedunia (termasuk Pak Tua).
Saat Biru bangun di kamar asramanya, dia belum menyadari. Penyeberangan melewati kapal pecah menuju cermin nakas, baru merasakan kejanggalan. Lelaki itu mengecek keberadaan flek di wajah, berputar di depan kaca sambil terpaku ke baju tidur, menepuk sana-sini. Lalu matanya membulat.
‘Apa aku tambah tinggi?’
Tangan terangkat ke kepala, menyugar rambut cokelat madu. Oh, rambutnya yang bertambah tinggi.
Biru berdesah pelan.
Pada pagi hari, para siswa dengan seragamnya berbangga diri menuju sekolah khusus PokéTrainer. Begitu pun Biru, senyum-senyum sepanjang kaki lima, semangat yang berkali lipat hari-hari biasa. Walau kedua pelupuk mata agak kelabu.
Tibalah jadwalnya dalam pertarungan Pokémon resmi sekolah. Lelaki berjas biru itu menepuk tas yang terikat di sisi pinggang, mengepal tangan di depan dada. Lalu buku catatan dikeluarkan dan hendak dibaca, tetapi raut Biru tertegun.
Teringatlah akan kejadian beberapa hari silam. Ketika Geng Biru berkeliaran di trotoar kota. Para remaja di persilangan jalan mengeluhkan berbulan-bulan di sekolah sudah merasa siswa abadi. Sementara Biru yang abai, saat hendak menyeberang lampu merah masih hijau, dia sibuk membaca buku catatan sambil terus melangkah.
Klakson dan teriakan dari jauh tak sampai di telinga. Baru saat sikunya dicekal, Biru bisa berhenti. Dia menoleh ke belakang serasa tanpa dosa, heran memandangi Brendan yang nyata mendidih darah. “Bakero! Hati-hati jalannya!”
Biru akhirnya menyadari kesalahan. Lantas buku dimasukkan dan kepala dipukulkan ke tiang listrik. Si lelaki rambut putih menyetop sebelum batok kepalanya bocor.
“Kau ini aneh. Kenapa baca buku terus di saat waktunya santai-santai?”
Biru menyeka dahi yang lecet serta memerah. “Belajar.”
Dia membuat Brendan ingat ujian semester telah dekat, dan hari itu tiba dalam sekejap.
Manik matanya menyapu sekeliling. Di kelas ini tidak ada Brendan, Lyra, maupun May. Artinya, Biru tidak akan melawan mereka. Meski begitu, kelas ini, ai. Ada yang memelotot tajam, mengetuk meja serta lantai, gigit jari sambil lirik sana-sini, juga memakai masker-topi-kacamata--mirip selebritas kena skandal.
Suasanya begitu mencekam lagi tegang.
Biru menghela napas kasar. Ya, wajar saja, namanya juga ujian. Ranking paralel ditentukan dari tahapan ini.
Pengawas memberi aba-aba dari depan, semua bersiap di bangku. Biru gelagapan mencari nomor urut dan akhirnya ketemu. Tas ditarik ke samping agar nyaman duduknya. Dia agak mudah susah.
Bagian pertama ialah ujian tertulis. Lembar kertas diberikan, setelah bel berdentang semua sigap mengerjakan. Biru lancar mengisi sebab dalam kepalanya penuh akan Pokémon. Di saat memepet ada yang hitung kancing, putar penghapus, dan berselawat. Waktu pun habis, pengawas menarik lembar jawab.
Sehabis itu adalah praktik lapangan. Sebelum ke sana, para peserta ujian diberikan pengarahan singkat, sekaligus pembagian plot pertarungan Pokémon antarsiswa, yang digambar di papan tulis proyeksi serta pada selembaran yang dibagikan.
Inilah yang Biru tunggu-tunggu.
Peraturannya, tiap peserta hanya boleh menggunakan tiga Pokémon terbaik dalam pertarungan tunggal, tidak diizinkan menggunakan barang selama pertandingan, dan semua Pokémon akan diset ke level 50. Peserta yang dapat menyisihkan ketiga Pokémon lawan adalah pemenangnya, berhak lanjut ke babak berikut hingga menjadi kandidat PokéTrainer terbaik tahun ini.
Biru angguk-angguk paham. Brendan pernah memberinya tips bahwa jika mendapat lawan yang kuat, jangan pernah gunakan kartu as di awal. Jadi dia menempatkan Blastoise di depan. Dua Pokémon lainnya tentu dengan tipe saling mendukung dan set empat jurus berbeda.
Sesudah penjelasan, semua peserta dipersilakan keluar dan berbaris menuju tempat khusus yang letaknya agak jauh. Barisan Biru sempat berpapasan dengan kelas lain, tetapi dia tak menemukan Brendan kawan-kawan. Dia pun memasuki sebuah lapangan yang dikelilingi pagar serta atapnya terbuka otomatis. Mereka duduk di tribune dengan bangku-bangku ternaungi baja ringan, menunggu giliran sesuai plot.
Saat waktu Biru tiba, dia berdiri mantap dengan tatapan penuh percaya diri.
“Biru Oak, peserta nomor 615, siap memasuki pertarungan!”
Lawan yang dia hadapi tampak lemah tersenyum tegang, yang membuat Biru merendahkannya. Betul saja, Blastoise dapat dengan mudah mengalahkan tiga Pokémon lawan. Laga babak pertama berakhir dalam hitungan menit. Kemenangan berada di tangan Biru.
Pertarungan seterusnya berlangsung sengit bahkan beda tipis, Biru nyaris kalah jika tidak cepat-cepat mengubah strategi. Yang namanya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Diam-diam selama ini Biru rutin melatih tim Pokémon-nya sampai kuat. Hingga tahu-tahu sekarang dia sampai di babak final kelas.
Laki-laki berjas biru itu menyeringai congkak selagi melangkah pasti menuju posisi. Lapangan persegi panjang dengan garis putih dan simbol bola besar di tengah. Matanya tajam menentang lawan--meremehkan. PokéBall pada genggaman dimainkan dengan ditolak secara vertikal di udara beberapa kali.
Lawan yang dia tandingi terlihat kuat, dari posturnya yang tegap, bekas garis di kulit dan wajah, serta tatapan awas lagi misterius. Namanya Dore, dia tidak memperkenalkan diri melainkan diwakilkan mik pengawas. Dia memakai masker juga topi bisbol warna biru dongker, sarung tangan hijau, juga seragam sama seperti Biru.
Biru cukup tergemap. Benaknya sempat mengira laki-laki di hadapan mirip kenalannya, tetapi bukan. Sebab, kenalan yang dia tahu bereda sekali dengan laki-laki itu.
Kepalanya menggeleng.
Dia kemudian menyeringai lebar, tangan kanan melempar bola kemudian terulur ke atas berpose membanggakan diri. Dari PokéBall, keluar Blastoise yang mengaum. Lawan pun turut melontar bola, keluar Pokémon tikus mondok, Raticate, yang mencicit.
Layar lebar di tepi lapangan menyala lalu berbunyi keras, menampilkan PokéTrainer Biru versus PokéTrainer Dore, tiga Pokémon melawan tiga Pokémon dalam pertandingan tunggal. Para penonton berteriak gaduh. Pengawas pun menyilakan kedua peserta. Lawan menganggut, Biru berseru melengking.
Pertarungan sengit pun dimulai.
***
Ruangan kelas saat itu bagaikan tanur kubus. Lantai beralih tembikar yang membara, dinding-dinding menghantar energi entalpi, langit-langit memantulkan kalor ke sana kemari. Apalagi kipas tidak menyala, sinar silau lagi terik menembus jendela. Semua siswa amat gerah, gelisah mengipas tubuh dengan tangan atau buku. Beberapa kewalahan menahan kantuk, sisanya menyerah.
Seperti Biru yang melepaskan lelah jasmani ke meja. Tangan terulur, kepala sembunyi, leher terasa panjang. Sampai Sensei berkumis tebal dan kacamata memanggil namanya, tetapi tak dia sahut. Alhasil Sensei mengomel panjang lebar hingga seisi kelas menonton mereka kesal.
Dari daun telinga terbuka, tentu Biru mendengarnya. Mata mencelik sipit, sayup-sayup pancaran terang memenuhi kornea. Rasanya tak ingin mengangkat wajah.
Saat batang tubuh menggeliat di atas meja, rusuk tak sengaja menyikut buku, sontak jatuh ke atas lantai. Biru masih bisa menangkap Sensei mengomelinya, tetapi dia lebih menaruh perhatian pada halaman yang tersingkap.
Tangannya refleks mengambil benda itu. Ada gambar dua anak laki-laki yang dioret-oret.
###
Kudus, 7 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top