3. Biru-3

"Maju, Arcanine!"

Desir meniup rerumputan hijau tinggi. Patung trofi kelabu berbentuk Pokémon berbaris rapi sepanjang pintu masuk. Seekor Pokémon liar mini wujud balon merah muda muncul, terdapat semacam kipas di kepalanya. Arcanine maju dan mengintimidasi, level mereka beda jauh.

Aku tahu apa yang harus kulakukan. Sambil menyelam minum air, menangkap Pokémon liar sekalian melengkapi PokéDex.

Kulempar Ultra Ball, mengenai wajahnya yang mungil. Pokémon liar itu membelasut, lalu dirinya ditarik ke dalam bola yang terbuka. Bola pun bergetar, sekali, dua kali, diam sebentar, dan meledak. Pokémon itu membebaskan diri. Ia kemudian melayangkan serangan hipnosis, seketika Arcanine tertidur.

"Arcanine, kembali! Maju, Blastoise!" Arcanine pun masuk ke PokéBall.

Aku mengganti ke Blastoise, dan lawan lagi-lagi menggunakan hipnosis, tetapi untung memeleset. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk mengeluarkan Ultra Ball lagi, bersiap melemparnya bak seorang pitcher, tetapi aku terhenti.

Pandanganku berair, memerah. Lenganku menggigil, punggung lemas, lutut gemetar, kaki kanan berdenyut. Napas tersekat serta jantung berdetak tidak seperti biasanya. Blastoise yang menunggu ordi pun bingung, tak kuindahkan.

Aku terduduk, menunduk, tangan kiri ditekuk di atas paha kiri, lengan kanan menahan tanah. Beberapa saat pikiranku terpaku, macet. Selanjutnya, visual di depan berubah menjadi abstrak, langitnya, tanahnya. Pundakku naik turun, napas tersengal-sengal, pelupuk basah, lalu butir-butir air menetes.

Aku bisa tahu Blastoise memanggilku, tetapi aku tak merespons. Pokémon liar juga tampaknya hilang melarikan diri. Kusembunyikan kepala, kupeluk lutut, mulut meracau dan terisak. Hanya kata-kata tidak terdengar selain suara desir serta kersik.

Aku tidak tahu apa-apa lagi. Badan limbung ke samping, meringkuk di antara rerumputan tinggi.

"Bagaimana ini? Bagaimana cara melakukannya? Aku tidak tahu. Siapa pun beri tahu aku ...."

Perlu bagiku menguasai diri, bangkit meluruskan lengan dengan badan tertelungkup, mengangkatnya. Aku pun terduduk, dengan mata menyipit memandang horizon selagi angin segar bertiup. Kedua telapak tangan terkatup di depan muka, jari saling menempel, mulut sesekali meniupnya.

"Tunggulah sebentar, Blastoise. Jangan ke mana-mana. Diam di sana. Aku butuh waktu sendiri."

Blastoise berdengus, nadanya sedih. Kepala ia julurkan ke arahku. Aku tertawa kecil, mengelus ubun-ubunnya, tersenyum dengan suara pelan.

"Aku tidak apa-apa."

Aku pun berdiri, agak kesusahan, mengambil tongkat bantu jalan, kemudian berbalik dan melangkah menuju pintu masuk taman. Blastoise mengekori, kami melalui trofi-trofi berwujud patung Pokémon.

Di tempat ini, kalau tidak salah seorang pria borjuis pemilik rumah besar berkata bahwa dia mengetahui informasi tentang Manaphy. Aku bertanya-tanya, dari mana dia mendapatkannya, ya? Sayang dia pelit sekali, memang orang borjuis begitu. Hanya gambar yang dia berikan, tetapi aku sudah tahu.

Manaphy memang tidak bisa ditemukan.

"Manaphy, ya? Nama Pokémon yang bagus," gumamku.

Cahaya kemerah-merahan bersemburat menghapus kegelapan di langit timur. Tiupan sepoi-sepoi dan dedaunan menemani langkah yang dibantu tongkat jalan. Akhirnya aku tiba, terbawa sampai tepi tebing bersama Blastoise—pendamping petualangan. Sepatu hitam bertali memijak rerumputan hijau.

"Tidak apa-apa. Ini tidak apa-apa." Tangan kiri mengepal di dada, perlahan meremas baju, menggenggam kalung.

Aku memejam mata, menarik napas panjang, lalu mendongak dan membuka mata. Tampak panorama garis-garis angkasa bercampur rona merah, oranye, biru, dan ungu, menyempurnakan atmosfer awal pagi yang damai. Hutan belantara membentang di depan sana, amat luas hingga kaki langit, terlihat pegunungan di ujung yang diselimuti kabut tebal. Sementara itu, jurang gelap siap menerkam tepat di bawah.

"Pak Tua, maaf. Kakak, maaf. Ibu, maaf. Ayah sialan ..., maaf. Kau ... aku minta maaf karena aku hanya bisa sampai sini saja ...."

Aku memasang wajah kesal, sedih, kecewa, menyesal, frustrasi, semua bercampur aduk. Aku membuang muka entah kepada siapa. Mungkin kepada langit yang melukiskan raut Pak Tua yang marah dan sakit hati, Kak Daisy yang bermuka masam, Ibu yang berbalik pergi, Ayah sialan yang matanya tercoret-coret, dan siluetmu yang amatlah buram.

"Blastoise, selamat tinggal."

Berlatar horizon matahari terbit, tongkat kulempar sembarang, kedua lengan terentang, memberi tatapan yang seakan berkata bahwa ini sudah berakhir. Badanku menentang Blastoise, lalu berbalik menghadapi jurang gelap yang dalam. Seluruh beban di pundak kulepaskan, semua tekanan serasa terbang, aku mengejam mata, tas beserta isinya terlucut, aku turun.

Saat membuka mata, visual yang terpampang ialah hutan belantara. Aku menoleh ke belakang. Tangan yang besar mencekal pergelanganku. Tangan biru bengkak dengan tiga kuku tajam.

Aku menggeram. Blastoise terdiam.

"Apa yang kau lakukan? Lepas! Lepaskan!" Kutarik-tarik lenganku, berteriak, memukul tangan biru itu berulang kali sampai kepalanku memar. "Lepas, kau! Cepat lepaskan! Biarkan aku terjun!"

Namun, Blastoise masih mematung.

Aku menatap marah. "Kenapa kau ini? Cepat lepaskan! Kau bahkan tidak mengerti apa yang kualami! Kau tidak mengerti perasaanku! Kau hanyalah Pokémon, tidak mungkin kau paham penderitaanku selama ini! Tidak ada yang paham, baik Pak Tua itu, Ibu, Kakak, Ayah sialan, orang itu .... Semuanya tidak akan pernah mengerti!"

Terdengar suara kecil seolah sedu. Aku tergemap, pukulan kuhentikan, tarikan kustop. Mata Pokémon kura-kura raksasa itu berkaca-kaca, air membasahi pelupuk, mengalir, membentuk dua anak sungai.

"Blastoise, kau ...." Aku bingung, kemudian berseru kaget saat badanku ditarik menjauhi tepi tebing.

Blastoise menyambutku dalam dekapannya, memeluk erat. Dapat kudengar isak tangis yang tertahan-tahan. Entah apa yang terjadi dengannya, aku pun bertanya-tanya walau tak dijawab. Air mata Pokémon itu menetes-netes, membasahi pipiku, pundakku, dan seketika aku tersadar.

Jalinan memori bergulir deras, saat pertemuan pertama kali di Lab Pak Tua bersama orang itu ketika aku sepuluh tahun, saat aku dan Pokémon memulai petualangan menjelajahi dunia, saat kami bertarung bersama, dan saat ia masih Squirtle hingga menjadi Blastoise yang kuat macam sekarang.

Aku membalas dekapan itu, memeluk erat tempurungnya, tahu-tahu air mata mengalir begitu saja, kuusap ke perutnya. Aku pun turut terisak, meratap, mengangkat kepala dengan mata terpejam dan kemudian berteriak meracau. Blastoise juga ikut meraung penuh sendu.

"Maaf, Blastoise. Maaf, aku memang bodoh. Selama ini kau sudah peduli ...."

Kami duduk berdua di naungan pohon terdekat, saling peluk, menghabiskan air mata dan ingus yang tersisa sambil menikmati matahari pagi, biru cerah bersama oranye. Blastoise mengelus-elus kepalaku, menepuk bahuku. Ia menyenandungkan musik menenangkan yang pernah kudengar sebelumnya.

"Aku akan berjuang sekali lagi," ujarku, masih lemah, memberi senyuman saat menatapnya.

Tiba-tiba terdengar sesuatu di sekitar, aku menoleh menemukan tas pinggang yang tergeletak di tanah. Blastoise juga turut penasaran. Di sana terdapat kotak hitam yang entah bagaimana sudah terbuka, ada tutup yang terlepas. Dari dalamnya keluar sesosok Pokémon kecil yang umum diketahui.

Aku mengerjap, mengernyitkan dahi. "Pidgey ... ?"

Isi kotak hitam itu adalah Pigdey. Aku seperti menemukan suatu hal, tetapi tidak tahu persisnya apa. Aku masih linglung. Blastoise berdiri, berjalan memungut tongkatku. Kuterima itu, kemudian aku mendekati kotak hitam.

Bagaikan tersambar petir, aku buru-buru membuka PokéDex.

PokéDex nomor 16:

Pidgey
Pokémon Burung Kecil

Pidgey memiliki kemampuan mengenal arah yang sangat tajam. Ia mampu pulang ke sarangnya dengan pasti, sejauh apa pun ia dipindahkan dari lingkungan yang dikenalnya.

"Ini dia .... Ternyata ... ! Ternyata selama ini ... !"

Aku merasa dibodohi. Tawa ganjil lepas begitu saja dan telapak tangan refleks menepuk dahi. Aku tergelak senang keras-keras, diliputi kelegaan, kegelian, amarah. Blastoise menjulurkan muka, terheran. Aku berkata bahwa aku baik-baik, hanya fakta yang baru saja kudapat sangatlah tidak terduga bagiku. Aku benar-benar ... ah, perasaanku sudah tidak bisa digambarkan lagi.

Tawa aneh belaka yang mampu menunjukkan bagaimana suasana hatiku sekarang.

Setelah puas, kilat mataku mantap, menatap penuh keyakinan. "Aku bisa menemukan orang itu!"

###

Klaten, 24 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top