26. Friends-1

Berkas cahaya yang menembus jendela mati menarik perhatiannya. Begitu masuk ke ruangan kelas dengan lantai keramik dan dinding putih, benda-benda familier tertangkap dalam pandangan. Meja guru, kursinya, vas bunga imitasi serta taplak bermotif unik. Papan tulis hitam dan putih, papan presensi, papan kecil berisi pengumuman. Bangku-bangku yang berbaris rapi untuk duduk para murid. Lemari penyimpanan di pojok belakang. Berbagai hiasan yang terpampang pada tembok, pigura-pigura tokoh bersejarah.

Terdapat lagi dua kursi yang saling hadap di depan kelas, terpisah meja panjang. Seorang siswa berseragam khusus duduk pada bangku yang membelakangi papan tulis, sikapnya seolah tengah melakukan konsultasi. Di seberang, terdapat seseorang menyerupai pria yang disapa Sensei.

Siswa tadi berperawakan kurus, lengannya panjang walau tidak dengan betisnya. Wajah yang murah senyum terbilang suka menebar pesona. Alis bertaut serta iris cokelat madu yang menatap lekat. Rambut tinggi dengan ujung yang berantakan. Boleh dikatakan, fisiknya lumayan juga.

Dia mengernyih percaya diri tatkala memejamkan mata. Tangan kiri bertumpu pada paha dengan siku membuka, sedangkan telapak kanan menengadah, lengan terangkat sedikit. 

Siswa itu bernama Biru Oak.

Pada plafon ruangan, kipas angin berputar. Aroma relaks nan natural menguar dari pengharum ruangan berbentuk mesin tabung, menyemprot tiap selang waktu tertentu. Di langit-langit juga menggantung proyektor yang menyala, menyorot pada layar di papan tulis. Tampak tampilan berupa kotak-kotak kompilasi video yang semuanya memutar tentang keseruan Biru sebagai siswa di sekolah khusus, bersama teman-teman dan guru, kegiatan di kelas maupun luar kelas, serta ekstrakurikuler olahraga.

“Eh? Hal yang ingin kulakukan?” Biru menoleh kemudian tampak berpikir. “Etto, apa, ya?”

Dia sekadar mengobrol hal-hal mengenai sekolah, berkonsultasi dengan Sensei yang siap memberi nasihat. Tentang pertanyaan tadi, Biru bisa menjawab apa saja. Boleh itu hobi, daftar keinginannya tahun ini, atau apa pun. Biru pun mengangguk.

“Sejujurnya tidak ada hal khusus yang begitu penting. Aku hanya ingin hidupku senang-senang saja.”

Sensei tidak langsung menanggapi, karena tahu Biru bakal menyebutkan keinginannya.

“Ah, kalau diingat lagi, aku tahu apa keinginanku. Aku ingin menjadi PokéTrainer terhebat di dunia!”

Biru bergaya seolah-olah perkataannya langsung terkabulkan, bahkan penampilannya pun. Dengan semangat dia memajukan wajah kepada Sensei.

“Makanya aku harus lebih giat belajar dan rajin melatih tim Pokémon-ku supaya dapat mengalahkan semua PokéTrainer kuat di sekolah ini!”

Sensei berdeham paham. Dari konklusinya, dia tahu itu keinginannya Biru.

“Ya, benar! Itulah keinginanku, Sensei!”

Begitukah? Sensei turut bahagia mendengarnya. Lalu, bagaimana dengan keluarga Biru?

“Keluargaku?” Biru takjub mendengar itu. “Keluargaku baik dan sehat. Aku bersyukur terlahir di keluarga yang selalu mendukungku. Ayah yang banting tulang mencari nafkah, Ibu yang merawat penuh kasih sayang, dan Kakak yang sangat akrab.”

Namun, ada sedikit masam pada air mukanya. Apakah Biru merindukan mereka?

“Sekarang masih belum bisa pulang, tapi aku yakin kakak dan ibuku baik-baik di rumah. Tentu aku merindukan mereka, tapi pendidikan lebih penting, bukan?”

Begitu, ya. Lantas, bagaimana keseharian Biru di asrama sekolah ini? Biru sudah dapat banyak teman, bukan?

“Ah, teman-teman asramaku semuanya asyik. Kami mengobrol tentang banyak hal, atau bermain kartu sebelum tidur. Ada fotonya, lo! Sensei mau lihat?”

Biru tersenyum bangga sambil mengulurkan lembaran kertas persegi. Sensei menyanjungnya karena di gambar kertas tersebut tampak gerombolan remaja laki-laki terlihat bahagia. Biru kemudian memberikan lembar foto lagi, kali ini Biru di kelas bersama satu laki-laki dan dua perempuan. Banyak juga temannya. Tentu saja, bukan? Biru memang orang yang mudah berteman dengan siapa saja karena tingginya kemampuan komunikasi yang dia miliki.

Obrolan pun berlanjut santai sebagaimana siswa menimbrung bersama kawan akrabnya. Kadang kala Biru bermonolog sebab Sensei hanya diam saja atau berdeham memuji kelebihan-kelebihan Biru.

Kehidupan sekolah Biru dari awal masuk sampai hendak lulus ini, akunya, benar-benar luar biasa. Pengalaman yang tak terlupakan. Momen demi momen terlukis bak gulungan film saling bertautan dalam kepalanya.

“Setiap detik yang berputar, setiap pengalaman dan pengetahuan yang kudapat dari para Sensei dan teman-temanku. Aku tak akan pernah melupakannya. Tak akan sedikit pun. Aku janji.”

Sensei mengiakan, Biru pun jadi tersenyum malu.

“Sensei! Setelah lulus nanti, aku ingin pergi ke luar negeri, menikmati pulau tropis dan bertemu banyak orang baru, bertemu hal-hal yang belum pernah kualami selama hidup. Jantungku benar-benar berdebar kencang saat memikirkannya!”

Biru tertawa lepas.

“Setelah sampai di sana, aku akan memesan kamar apartemen, mencari pekerjaan yang layak. Tak akan kusia-siakan kesempatan di depan mata. Tentu aku juga bakal berpakansi bersama teman-teman baruku di sana. Nanti Sensei akan kubelikan oleh-oleh yang banyak!”

Sensei ikut tertawa.

“Lalu, setelah dewasa nanti, aku mendapat pasangan hidup yang cantik, pintar, dan sifat kewanitaannya baik hati. Membeli rumah setelah rajin menabung, dikaruniai anak, merawat mereka sampai besar dan mandiri, lalu tinggal bersama sampai kakek-nenek.”

Sudut bibirnya tertarik lebar dan matanya berbinar-binar.

“Benar-benar … kehidupan yang begitu amat sangat menyenangkan sekali!”

Biru bergeming.

Bibirnya gemetar, tak berani menatap ke depan, kepala menunduk menekuri lantai. Sorot matanya tak yakin. Kedua jemari tangan bertautan di atas meja, menopang dahi yang bersembunyi.

"Hei, Sensei, apa aku bisa melakukannya?"

Tak ada sahutan, semua sunyi senyap.

“Aku tidak tahu apa yang kulakukan ini benar atau tidak. Tapi, apa aku bisa melakukannya?

“Ada banyak hal yang ingin kukatakan. Ada banyak hal yang ingin kulakukan. Tapi, tidak ada satu pun yang tersampaikan. Aneh, bukan? Meski aku sudah jauh dari tempat mengerikan itu, aku masih merasa ada yang salah. Mungkin karena sesuatu yang menghambat, sesuatu yang tidak kuketahui meski di dekat. Seolah aku masih di tempat yang sama sedari awal dan tidak maju sama sekali. Bagaimana caraku melaluinya?

"Hei, Sensei, aku … bisa melakukannya, tidak, ya?"

Biru mengangkat wajah, menatap gamang. Sensei yang dimaksud ialah boneka orang-orangan, duduk di tengah barisan meja paling depan. Kepala dari batok kelapa bertulis "Guru", tangan dari sapu, dan kaki tongkat pel.

Pada papan tulis timbul coretan: "My Nightmare".

Redo masuk dari ambang pintu, raut depresif nan simpatik menuntun. Remaja itu berdiri, memeluknya dari belakang, lengan menyusup perlahan melingkari pundaknya.

Biru mematung, tetap pada posisi tangan bertaut. Muka tertutup akan bayangan hitam rambut dan efek cahaya. Manik mata cokelat madu mengilat seakan pijar memancar dari kedalaman kornea.

Kipas berhenti berputar. Pilar-pilar cahaya asal jendela menyorot belakang kelas ke depan hingga stop pada Biru. Proyektor berubah bising. Tampilan proyeksi di layar berguncang, satu per satu kotak berganti layar statis.

Redo mengeratkan genggaman.

"My Nightmare" beralih "Our Nightmare", tulisan yang terpampang pada papan tulis putih.

###

Kudus, 31 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top