25. Damn Dad-8
Hamparan langit kelabu menyaksikan di atas prairi berbatu. Bayangan burung-burung hitam melintasi, tangisannya begitu dibutuhkan dalam momen menenangkan jiwa. Ratapan perempuan muram mendekap pusara dengan gundukan baru. Kerumunan orang-orang berbaju hitam, di antaranya pemuda berambut cokelat madu.
Biru.
Ingin dia ucapkan sesuatu, ingin dia berikan empati, tetapi tidak dapat melakukan apa pun. Saat darah mulai menetes dari hatinya, sebuah suara bergema dalam kepala.
“Mengapa kau ingin melakukan ini?”
“Maafkan aku. Aku menyadari bahwa kau telah menderita. Kau harus bebas, demi kebaikanmu.”
***
Mentari tidak gelap bersama kicauan merdu kawanan Pokémon burung di luar jendela. Cerah pun diterima setelah keremangan terusir oleh tembus cahaya. Angkasa biru berkata selamat pagi sesaat dimulainya hari. Redo mengenakan jaket merah dan topi berlogo PokéBall. Dia berjalan keluar dari kamar yang mendapat semilir. Di gendongannya, bayi Biru tergelak ceria. Langkahnya menuju ruang tengah. Di sana, Daisy serta ibu Biru sedang menyiapkan meja makan. Mereka memakai celemek yang melindungi pakaian. Ketika Redo masuk, mereka menyapa santai. Dia duduk pada salah satu kursi setelah bayi Biru sedia dahulu. Daisy memberikannya set piring.
Perubahan pasca-kejadian malam itu laksana memperbaiki segalanya. Tentang ayah Biru, tentang kakak dan ibunya. Seakan-akan semua kembali normal. Ingatan-ingatan yang bercampur aduk antara keadaan sekarang dan masa lalu, jika dipikirkan kembali menuntun pada petunjuk yang Redo harapkan.
Hanya satu masalahnya, bayi Biru. Remaja itu menatapnya cemas. Gabungan tawa yang pecah mengaburkan kegelisahan Redo. Dia rogoh saku jaket, mengeluarkan benda kotak yang menyala.
Ketika tampilan PokéDex v2 sepenuhnya terbuka, angka tertera berubah. Terakhir Redo memeriksa ialah kepala tiga, tetapi kini berkurang tiga.
###
Baby Blue (bayi Biru) ♂️
Lv. 27
PokéDex No.: N/A
Name: Baby Blue
Type: Normal
OT: REDO
ID No.: 162915
Exp. Points: 27333
To Next Lv.: 667
Item: Spoon
###
Redo anggap tak masalah tidak terlalu memikirkannya. Daisy yang memukul bayi Biru, ayah Biru yang berhasil pergi, semua ada konsekuensinya.
Daripada bertumpu pantat merenungkan berbagai hal, Redo menanti sarapan siap. Dia pandang bayi Biru pada kursi khususnya. Di atas meja, masakan menguar uap hangat, roti dan kue, kotak hiasan dengan batang-batang parafin di atas. Ibu dan Daisy mendorong bangku saat doa dimulai.
Perhatian Redo pecah. Itu bukan kotak untuk menampung lilin. Warna serta bentuk sudah jelas membuat syak.
Tubuh bayi Biru diselimuti cahaya biru indigo. Kotak hitam segi lima memendarkan cahaya neon pula mengeluarkan bising. Seketika dinding ruangan meruntuh, langit-langit terbuka, lantai lesap. Semua barang-barang membeku hitam-putih dan dilahap kehampaan, begitu pun orang-orang yang stop termasuk bayi Biru.
Redo menutup alat penglihat dan indra pendengar, sesaat serasa air meluap bersama gelembung pecah, dan saat membuka, iris matanya memancarkan sorot merah darah, terbeliak. Lagi-lagi dia berada di tempat berupa kekosongan biru-hitam luar angkasa, menghampar sampai jauh di ujung. Berbagai benda aneh gabungan-gabungan imaji melayang berkisar. Tiga pilar menjulang di hadapan, podium dengan simbol PokéBall emas. Suara cicit menggema makin lama makin terdengar.
Wujud Pikachu gadungan memijak di atas podium. Kaki depannya nan mungil melambai saat Redo diam memperhatikan. Tuan Hoothoot tertawa dan justru itu membuat bergidik.
“Hai! Halo! Selamat datang di Heal Order! Apa kau merindukanku?”
Tidak ada balasan, semua tenggelam dalam keheningan suara benda-benda abstrak. Iris merah darah Redo terpaku dan dianggap telah memberikan sahutan.
“Kau benar. Ini bukan Heal Order. Dilihat dari mana pun juga tempat ini terlalu jelek!”
Redo tertegun. Kepalanya membeku, tetapi tidak diindahkan.
“Ngomong-ngomong, selamat untukmu! Bukankah bagus, heh? Dalam seminggu sudah seperempat tujuan! Jika lancar seperti ini, Heal Order pasti bisa tercapai sebelum tenggat hari!”
Tuan Hoothoot tahu-tahu memakai topi kerucut berenda, mulutnya meniup trompet pesta yang riuh. Pada tangan kanan menggenggam pistol mainan, memuntahkan pita warna-warni bertebaran ke udara.
Raut Redo heran menyaksikan, antara kesal dan senang. Lantas dia mengangkat kepala, tetapi terkejut lantaran Tuan Hoothoot berseru.
“Oh, iya! Aku lupa bilang. Bayi Biru tidak bisa dibawa ke luar Pallet Town. Jadi kau tidak bisa mengajaknya ke mana-mana. Ingat ini baik-baik, karena jika kau melanggar akan ada hukumannya. Jangan coba-coba, nanti kau yang rugi sendiri!”
Redo menempelkan jari ke dagu, tampak berpikir. Dari sudut pandang Tuan Hoothoot barangkali dia sedang menaruh syak. Namun, tidak juga, Redo kembali menyimak perkataannya.
Tuan Hoothoot bernapas lega. Setelah itu, konversasi diperpanjang oleh penjelasan mengenai selesainya misi pertama, bagaimana tolok ukur keberhasilan, poin-poin penting yang bisa dipetik, kesimpulan akhir.
Klien pun sebagaimana biasa mudah mengikuti alur. Tuan Hoothoot mengangguk, merasa sudah saatnya menerangkan misi selanjutnya. Misi memasuki kehidupan Biru tahap kedua. Oh, kenapa Tuan Hoothoot berujar seolah tahu semuanya? Semua pilihan ada di tangan Klien.
Redo berhenti menuliskan catatan dalam kepalanya. Jadi, dia harus merawat bayi Biru atau melalui ingatan Biru di kehidupan nyata? Uraian Tuan Hoothoot terlalu dubius. Ambigu dan plin-plan. Redo memang gampang diperdaya, tetapi ini sudah keterlaluan.
“Intinya, semoga merawat bayi Biru bisa lancar dan berjalan cepat. Ingatlah tiap kenaikan level ada konsekuensinya. Apalagi jika bayi Biru tidak mendapat kasih sayang, levelnya bakal turun seperti sebelumnya.”
Tuan Hoothoot mengingatkan Redo untuk selalu bahagia dan anggap ini sebagai senang-senang belaka. Sekali lagi, tangan mungilnya menunjuk papan peraturan Heal Order yang terpampang di hadapan Redo. Lantas semua menggelap.
Kelopaknya terpejam, lalu terbuka. Dia terlonjak, badan masuk terbenam dalam air. Sekeliling lapang terlihat biru, kian jauh kian hitam. Tak ada biota, tak ada kehidupan. Di atas, permukaan air terpampang luas. Satu titik cahaya makin redup seiring dia jatuh makin dalam.
Redo menoleh tatkala gelembung keluar, mata iris cokelat hazel mencari apa pun di sekitar, tetapi kosong. Jaket yang terbuka serta ujung celananya berayun mengikuti gelombang. Topi lepas bertahan menetap lebih di atas. Rambut pun menari-nari sesuai alur. Redo tersedak, gelembung keluar lagi dari mulut. Lengan meraih-raih, hendak menyapu air, kaki bergerak naik-turun. Namun, tarikan laut tanpa dasar lebih kuasa.
Mata Redo menyipit, bibir pucatnya gemetar lantaran rahang menganga. Tangannya beralih ke leher, menggaruk kulit yang tampak terkena cekam oleh jari bukan miliknya. Dia berusaha sekuat tenaga melawan itu, tetapi sudah telanjur panik dan napas kian habis. Air memasuki saluran menuju paru-paru yang terisi banyak. Redo pun mengalah. Tubuhnya dibiarkan terbawa arus lubuk. Jauh ke bawah, gelap hingga lenyap.
Pada pandangan rupa muka, mata hilang cahaya yang terbuka sebagian, bibir biru bercampur lesi, barisan gigi sepucat kulit, lubang mulut dan hidung melalukan gelembung udara tersisa. Anak rambut hitamnya menari-nari bersama gelombang air.
Di saat-saat terakhir, Redo memikirkan tentang Biru. Bukan nasib akhir hidupnya, bukan juga takdir miliknya. Semua demi Biru. Apakah Biru berpikiran hal yang sama? Redo menutup mata, beban kepala bersama punggung jatuh lebih dahulu, baru tangan serta kaki yang memudar.
###
Kudus, 31 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top