24. Damn Dad-7

Redo lekas terbangun. Tangannya hendak bergerak, tetapi tak tergapai. Daisy menggeletakkan bayi Biru di atas karpet, tatapan si bayi bertanya-tanya. Telapak perempuan itu terbuka, satu gerakan melayang. Tubuh bayi Biru hampir terpental. Pipi kirinya perlahan memerah. Seketika tangisan keras pun pecah.

Daisy termundur, rautnya ngeri memandang bayi Biru. Redo segera menghampiri anak tersebut selagi dia meraba-raba gagang pintu. Daisy hendak kabur, tetapi si lelaki mencekal pergelangannya. Jerit ketakutan pun keluar seiring pinta dilepas.

“Ah, lepas!” Tangannya meronta-ronta. “Maafkan aku! Maaf!”

Redo mengernyit melihat Daisy. Pegangannya terlucut dan si perempuan meninggalkan kamar sambil terus berteriak.

“Maafkan aku! Maaf! Maaf! Maaf!”

Tingkah aneh Daisy amat membingungkan, tetapi yang lebih penting sekarang adalah si bayi. Redo cepat-cepat menenangkannya. Saat dia berdiri membawa si bayi ke gendongan, terdengar dengung dari saku jaket. Redo tak mengindahkan itu dan berusaha meredakan rengekan yang kencang.

Bayi Biru dia timang-timang. Puncak kepalanya diusap pelan-pelan, lalu beralih mengelus pipi. Ingus serta air tangis belum mau berhenti. Bayi Biru yang lemah menyembunyikan wajah ke pundak kiri Redo.

Isi kepala Redo menjadi kacau. Tangisan bayi makin menyulitkannya. Bekas tamparan di pipi bayi Biru tampak parah dengan rona merah yang meluas. Manik cokelat hazel Redo mengedarkan pandang ke sekeliling, pada botol susu kosong, mainan bongkar pasang, jendela terbuka. Sambil mengayun lembut si bayi, matanya mengejam berusaha berpikir keras.

Seketika nalar teringat sesuatu. Redo mendekati ranjang berpagar, mengambil benda yang menggantung di sampingnya. Mainan dengan kepala bola, badan tabung, serta manik-manik sepanjang tali-tali kaki yang berumbai-rumbai. Ketika diguncang, manik tersebut saling bergesekan menghasilkan bunyi yang bagus.

Perhatian bayi Biru berhasil teraih, kepalanya mendongak dan menoleh ke mainan yang ditunjukkan. Redo mengangkat mainan itu lumayan tinggi, lalu jari memencet tombol aktif. Dengan perlahan tabung berputar, memainkan kaki tali yang manik-maniknya menimbulkan suara. Ditambah musik merdu bernada ninabobo, tangis bayi Biru pun reda dan Redo bisa bernapas lega.

Pada momen berikutnya, remaja itu beralih menatap lorong rumah lalu wajah menengadah.

Kamar Daisy memiliki pencahayaan temaram dengan tingkap panjang di dinding yang dilapisi jaring. Kondisinya tampak berantakan, benda-benda berserakan acak di lantai serta di atas nakas yang menyatu cermin. Pada kasur busa ukuran besar, seprai hampir merosot, susunan bantal tersebar. Sesosok perempuan merebahkan diri dengan perut menempel dan muka menelungkup.

Lampu menyala lalu dalam sekejap seisi ruangan benderang. Daisy terlonjak menengok ke belakang, mendapati Redo yang menggendong bayi Biru berdiri di pinggir kamar. 

“Re-Redo? Tidak … ! Aku tidak bermaksud ….”

Rautnya pucat pasi. Punggungnya mundur menekan kuat-kuat kepala kasur.

“Ba—ba—Biru … bayi itu …. Aku tidak berniat melakukannya … tapi—”

Daisy memekik ngeri. Jari-jemari hendak menggaruk wajah. Bahu bergidik ketika Redo berjalan mendekat.

Redo meletakkan bayi Biru yang pelupuknya masih sembap ke sisi kasur, dia merunduk lalu menyenggut. Setelah itu, dia menghampiri Daisy yang tampak ketakutan. Tangan gemetar Daisy siap melindungi diri. Kemudian, Redo menepuk pundaknya. Sontak si perempuan tertegun, matanya terbuka melihat Redo yang memandang tenang.

Daisy mereguk liur. Dia pikir Redo akan memarahinya, tetapi yang dituding menggeleng.

“Aku pikir … kamu bakal marah karena Biru …. Kamu ‘kan sangat perhatian kepadanya, bahkan melindunginya saat Ayah mengamuk.”

Perkataan itu membuat raut Redo jadi ingin tahu. Daisy mengangguk dan lanjut bercerita.

“Aku dan Ibu sempat bertengkar. Aku tidak mau Ayah datang kembali ke rumah ini. Aku menyuruh Ibu meninggalkannya, tetapi Ibu masih mencintai Ayah padahal dia selalu kasar kepadanya. Sungguh aneh, bukan? Aku jadi tidak paham apa-apa lagi.”

Redo menggeleng dengan raut lugas. Dia senang Daisy memberitahunya, menghadap mukanya, tak berkedip menatapnya tegas.

Saat Daisy berkata dia pantas dibenci, sangkalan cepat langsung diberikan dan seketika mengubah pemikirannya. Si perempuan tersenyum lembut dalam raut yang berantakan, menyeka air mata pada pelupuk.

“Terima kasih, Biru.”

Redo tercengang. Dia sadar ini bagian dari ingatan Biru.

Tatkala mata mengerjap, Redo berada di kamar yang lampunya menyala. Dia menunduk, menemukan bayi Biru tengah bermain lego. Si remaja mengusap rambut si anak saat saling angguk, lalu berjalan keluar seraya menutup pintu. Seisi rumah mendapat penerangan. Dia menuju ruang tengah, mendapati Daisy beserta ibu Biru duduk di sofa seolah menantinya. Mereka menganggut kepada Redo dengan tatapan mantap.

Rasa penasaran pun terbit. Daisy berdiri dan berkata, “Kita akan melawan Ayah agar dia tidak datang lagi ke rumah ini!”

Ketika dari depan rumah terdengar pintu terbuka, mereka mengajak Redo beranjak dari ruang tengah. Di ujung lorong, ayah Biru masuk sambil membawa tongkat bantu jalan. Di luar, tampak hari sudah gelap. Aura meneror datang menyebar ke sekeliling udara.

Sang ayah terheran ketika melihat tiga orang mengadangnya.

“Ada apa ini?”

“Apa mau Ayah datang kemari?” Daisy bertanya gamang.

“Oh? Jadi ini bagaimana anak menyambut ayahnya yang pulang setelah sekian lama?”

Pria itu menyeringai. Pandangannya tak berubah selagi meletakkan topi pada tiang kapstok. Dalam hening, mata mengilatnya terus mengamati lawan bicara lekat-lekat.

“Ayah ke mana saja selama ini? Kenapa Ayah tiba-tiba ke sini?” desak Daisy seolah meminta kejelasan.

Namun, sang ayah mendengkus. “Bukan urusanmu dan tidak hakmu untuk bertanya.”

Berikutnya Ayah mencerling si wanita yang memilih diam. Daisy pun menyergah dengan telunjuk terangkat.

“Ibu, tolong katakan sesuatu!” desaknya.

Si ibu yang kaku hampir gagu menaut tangan ragu, maniknya melirik ke arah lantai buku. “Sayang, aku …. Aku sudah tidak bisa memberi uang lagi ….”

“Oh? Jadi ibunya juga ikut ke dalam konspirasi?” Ayah mengaduh menggeleng-geleng, mulutnya mengecap seakan sangkaannya mengecewakan.

Daisy makin mendidih darah, tidak senang dengan perangai sang ayah.

“Seharusnya begitu, bukan? Harusnya Ayah yang menafkahi kita, bukannya Ayah yang meminta uang ke kita!”

Sang ayah terpelatuk. “Jaga mulutmu! Ja—”

Seseoang maju ke tengah-tengah dan langsung menghentikan adu mulut mereka. Redo mematung beberapa saat dengan kepala menunduk. Perasaannya enggan, menarik lengan sang ayah lalu meluncur supaya telapak tangannya terbuka. Redo tinggalkan sebuah amplop cokelat di tapak kasar itu. Sang ayah pun mengerutkan alis serta menatap heran. 

“Apa ini, Redo?”

Daisy bak mewakili ucapan Redo. Perempuan itu berkata, “Jangan datang lagi ke rumah ini. Redo tidak ingin ayah sepertimu berada di sini.”

Sang ayah terperanjat, menghela napas. Sudut bibirnya tersungging kemudian memikirna suatu hal. Dia pun mengaduh karena kalah. “Ah, putra-putriku yang manis.”

Redo serta Daisy menurunkan bahu yang tegang.

“Aku akan ingat ini.” Sang ayah melambai seraya berbalik mengambil topi. Senyum kerising tercetak sebelum lengan meraih gagang. “Sampai jumpa, Redo.”

Redo membuang napas lega, begitu pun Daisy. Mereka saling lempar senyum, kemudian mengangguk kepada si ibu yang menggenggam erat tangannya. Redo paham, punggung yang kian menjauh itu akan segera pergi. Dia tak mau pria ini mengganggu ketenteraman keluarga Biru lagi. Itu karena, Biru adalah teman berharga Redo.

“Ngomong-ngomong, semoga bayi itu baik-baik di sini.”

Pintu tertutup malam itu juga.

###

Kudus, 31 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top