23. Damn Dad-6
Setibanya di rumah, jungur sang ayah langsung berkomentar betapa buruknya kondisi kediaman. Padahal menurut Biru tidak ada masalah.
Pria itu selalu bersambat tentang sudut lantai yang tidak disapu, kamar mandi yang berbau busuk, tatanan benda yang berubah-ubah, masakan tidak sesuai selera. Tentu dengan nada membentak-bentak. Katanya, di rumah prodeo jauh lebih nyaman. “Ya sudah, balik saja sana,” cibir Biru sembari memunguti pecahan kaca—mungkin gelas atau piring.
Sering kali juga dia memprotes tentang tetangga yang berisik di malam hari, yang selalu menangis, memeking, meracau, diumpat justru makin parah.
“Sudahlah, Ayah. Tetangga kita memang begitu. Maklumi saja,” tegur Ibu.
“Kapan dia dibawa ke sanatorium jiwa?”
Kadang kala pria rekan mantan pekerjaannya mampir berkunjung di hari libur atau awal malam. Ayah acap berubah baik walau hanya pada saat itu, dan semua yang di rumah harus menjaga sopan santun, menahan napas supaya udara di dalam paru-paru tidak tercemari urbanisme.
Kian hari kelakuan Ayah kian menjadi. Sudah dituruti pun masih banyak maunya, masih banyak tidak puasnya.
Alhasil karena lelah, ibu Biru melampiaskan semua. Gunung meletus dan tsunami yang hanya terjadi di luar pulau kini berada di dapur, fenomena piring terbang yang tak usah pergi jauh-jauh sudah ada di ruang tengah, Pokémon legendaris satu taman safari keluar dari gua bertulang belakang.
Hebat.
Tak tahan hanya menyaksikan, Daisy ingin melerai mereka. Biru bilang tiada guna jikalau telah dimulai tanbisa dilerai. Namun, perempuan itu sama keras kepala. Dia bergegas lari ke dapur, dengan bibir gemetar berteriak membentengi sang ibu.
“Jangan ikut campur, janda muda!”
“Sialan, stop!”
Mengempap keras.
Biru pikir, ayahnya bakal membaik keesokan hari. Nyatanya, pria itu langsung mengemasi sedikit barang, segera pergi tanpa pamit ketika Daisy mengompres wajah Biru, ketika sang ibu termenung di hadap penanggah.
***
Terjadi keributan yang riuhnya menerus dinding, menciptakan adegan berulang-ulang. Kegelisahan Redo berhenti sesaat ranselnya kosong, semua barang yang berserakan mau dibuat apa tak tahu. Remaja bertopi itu tak mengindahkan apa pun, siapa pula yang peduli asal dirinya aman. Otaknya yang permisif selalu saja demikian.
Bayi Biru merecoki benda-benda di atas karpet, dan karena melihat kesempatan, merangkak lewat pintu.
Redo mendengar debuk dari luar, terkam keremangan ruang meluber lalu kesadarannya balik hakiki. Objek di cengkeraman dibawa, beranjak pula dia dari stagnasi. Perhatiannya bertaut pada sumber pekik dari kamar lain di lantai satu.
“Ah, aku bosan denganmu!”
Lorong dalam rumah riuh, jalur suara memelesat bilik demi bilik hingga sampai ke indra pendengar. Redo memeriksa sekali lagi apa gerangan yang berlangsung. Rintihan dari langit-langit, ratapan yang membersamai bentakan, derap yang kian kuat.
“Redo, ada apa?”
Harusnya dia siaga kala petaka tiba. Harusnya rasa waspada diperhatikan lebih lagi. Terlambat dari waktu sedetik saja sudah berakibat fatal.
Terlebih tatkala gelak bayi Biru tercipta, dari ujung lorong yang mengarah belakang. Ayah Biru di ruang tengah pun menampakkan dirinya, dengan kemeja putih kusut yang tidak dimasukkan sempurna.
“Bayi?” Sebelah alisnya naik.
Mata yang mengilat di balik temaram itu terus melebar, terpusat pada sosok anak yang bersila memainkan setiwel di lantai kayu.
“Bayi itu ….”
Bayi Biru merasakan aura amat mencekam. Rautnya yang ceria seketika sendu, lalu dia pun menangis.
“Kenapa? Ada apa dengan bayi itu? Kenapa aku … ?”
Redo bergidik. Tampang si pria memelotot dengan gigi mengertak. Tangan merentang ke depan seakan hendak melumat hidup-hidup.
Redo bergegas menghampiri bayi Biru, membawanya ke dalam dekapan. Dia peluk erat si bayi yang kemudian tangisannya agak reda.
Remaja yang bertelut, tangan merangkul pinggang dan mengusap mercu kepala sang anak, serta bayi yang berdiri sambil menyeka ingus. Kedua insan itu menatap tetap hati terhadap sosok hitam yang datang dari ujung lain lorong. Sosok mirip raksasa dengan sepasang mata bulat menyorot merah, sekujur tubuhnya gelita bergaris-garis tepi yang hancur bergerak bagaikan jelaga lekat. Lengan masif menjulur seraya kaki menggelembung melangkah.
“Bawa bayi itu padaku!” Gigi besar-besar tampak ketika rahangnya menganga.
Sosok itu makin dekat, bersama jelaga lekat yang berbunyi sebak meninggalkan jejak pekat. Mulut berteriak gelegar menyimbur air liur yang membasahi dinding pula lantai. Jeritnya terus menggema meminta si bayi diberikan kepadanya.
Akan tetapi, Redo tetap bergeming, pun bayi Biru yang memeluk rekat. Mereka menentang sosok mengerikan tersebut dengan raut teguh, percaya tak akan dikalahkan. Redo pun tergerak karena tebersit perkataan Heal Order.
"Lakukan apa yang ingin kau ubah saat itu juga. Atau kau akan menyesalinya.”
Kilat mantap terlukis pada pupil Redo. Alis tebal yang menukik dan bibir yang melengkung ke bawah. Rahang menegas seiring napas memburu. Semua kilasan itu membuat gerak seram si sosok tersendat.
Dalam benaknya, perawakan Redo seperti seseorang, tetapi bukan seumuran dengan Redo sekarang. Aura yang terpancar sangatlah mirip dan itu amat membingungkannya.
Sementara dalam kepala Redo, ingatan memori tentang Biru terlintas.
Daisy kabur dikejar sang ayah berwajah bengis, kejar-kejaran sampai di lorong.
“Jangan ikut campur!” pekik sang ayah.
“Sialan, stop!”
Biru memeluk kakaknya, melindungi dari cekalan tangan besi sang ayah. Remaja pra-dewasa tersebut menatap tegas, seakan dari rautnya mencoba melawan.
Sang ayah menggeram, bogem mentah pun melayang. Pipi Biru jadi biru lebam, wajahnya yang dipukul memaling. Daisy menjerit ngeri. Lalu tatapan Biru kembali menoleh, membeliak dengan gigi digertakkan.
“Jangan apa-apakan keluargaku!”
Redo mengerjap tatkala memori meresap ke ruang. Sosok raksasa di hadapan telah tersekat. Perlahan jelaga hitam mengering, pecah-pecah dan mengelupas. Tiap remahan terserak di lantai, jatuh sedikit demi sedikit. Kini menampilkan wajah seorang pria yang terbelalak tak percaya, mematung memandang ke depan.
Redo serta bayi Biru bisa tenang. Remaja itu mengangguk kepada si bayi, lalu membawanya ke gendongan. Dia bangkit, berdiri melangkah melewati sang pria, masuk ke kamar Biru.
Ketika pemeran berharap semua berjalan baik, sosok lain memelotot dari balik lorong.
Di kamar Biru, Redo meletakkan bayi Biru ke ranjang. Jendela dibuka, seketika cahaya masuk bersama angin sejuk. Botol susu dia berikan, setiwel dipasang kembali. Si bayi terlihat masih syok, tentu Redo tak ingin hal buruk terjadi.
Tiba-tiba matanya terasa perih, dibuat mencelik malah hendak mengatup. Mulut pun menguap. Bahu melemas juga kedua lengan gemetar. Lutut yang layu menuntun pada kasur di sebelah. Tubuhnya berbaring pada alas nan empuk, terlelap begitu saja.
Masa mata membuka sayup-sayup, sinar yang menembus dari jendela telah kejingga-jingaan. Bayi Biru tak ada di ranjangnya. Agak gelap ruangan, tertangkap sosok berambut panjang pula mengenakan gaun.
Daisy berdiri, menjulang bayi Biru ke atas kepalanya.
###
Kudus, 26 Januari 2022
Pojokan Story #4
“Happy Birthday!”
Korek api menyala, ujung lilin terbakar. Kue tar di atas meja dikelilingi hiasan manisan.
Biru: Dengan begini, yosh. Semua siap.
Redo: (angguk-angguk) (mengeluarkan confetti gun) (menawarkan topi pesta)
Biru: Ah, terima kasih. Duh, di mana bintang utama kita?
Redo: (mengamati sekeliling rumah, mencari seseorang)
Biru: Masih belum ketemu?
Redo: (menggeleng)
Tiba-tiba derap ramai datang dari luar pintu.
Pembaca yang baik karena suka memberi vote dan komentar: Kejutan!!!
Biru&Redo: (terkejut)
Biru: Wah, lihat tamu kita. Ramai sekali …. Sniff ....
Redo: (memberi tisu)
Biru: (mengelap ingus)
Pembaca yang baik karena suka memberi vote dan komentar: Kami datang ke sini karena mendengar orang-yang-meminjam-kalian-untuk-disiksa sedang tambah umur menuju kematian. Jadi kami berkunjung, deh! Yey!
Biru: Terima kasih, terima kasih banyak :’) (ngarep banget)
Redo: (membungkuk sungkem)
Sementara itu, di taman bermain, di depan penjual es krim.
Jer: Heal Order-nya satu, Om.
???: Ini, Dek.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top