22. Damn Dad-5

“Yang benar menaruhnya!”

Bahu perempuan itu bergidik. Nampan kecil di tangan hampir meluncur. Segelas minuman entah-apa warna-gelap bergoyang. Dia pun membenarkan tutup hijau lalu lekas menuju meja di hadapan si pria. Begitu selesai, geraknya langsung mengacir.

“Dasar anak bodoh! Masih saja salah padahal sudah bolak-balik diberi tau!”

Mulutnya menyengat siapa saja yang disasar. Dengan perawakan yang mirip bramacorah, bekas luka itu, rajah di dada itu, si pria duduk mengangkang pada sofa. Jas hitamnya tersingkap dan kerah kemeja putih terbuka. Eskpresi yang sudah ingin berang, alisnya menukik serta bibir menjorok.

“Mana ini makanannya?” teriak pria itu.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya berambut pirang memasuki ruang tengah rumah. Dibawanya sepiring lauk daging rendang, semangkuk karbo, dan olahan sayur-mayur. Semua diletakkan berjejalan di meja.   

“Nah, begitu, dong! Kalau disuruh itu langsung gerak cepat! Jangan lelet!”

Dua hawa yang berdiri sikap istirahat di hadapannya menunduk paham. Dengan janji sepihak bahwa tak akan mengulanginya lagi, mereka disilakan keluar ruangan. Yang perempuan sempat mengerling seiring berjalan. Tampak si pria mirip bramacorah itu rakus menyantap makanan, bernafsu menyeruput minuman.

Di kamar Biru, gemerusuk menembus pintu, tak ingin salam melindungi bunga tidur. Atas suasana yang buyar laksana layar statis memenuhi visual, Redo terbangun. Mata yang setengah terlayang mencerling beker, tak diberi tahu pun dia tahu hari masih fajar. Daripada susah kelopak terpejam kesadaran terjaga, remaja itu pilih bangkit dari kasur. 

Tali lampu ditarik, cahaya seketika menyebar. Di ranjang, bayi Biru terlihat lelap, tetapi dari wajahnya mungkin terganggu juga. Redo menggeleng. Remaja berkaus hitam itu pasti berpikir tidak-tidak lagi. Dia putuskan beres-beres sesudah mengenakan jaket.

Ransel disiapkan bersama bayi Biru yang tidur dalam dekapan. Agak antap rasanya, tetapi Redo tak masalah. Mereka pun keluar kamar saat lampu dimatikan. Di lorong yang remang-remang, dia bisa mendengar asal bunyi canggih yang membuat suasana rumah ramai. Dua orang berlalu, yang satu ke dapur, satunya naik ke kamar atas. Saat Redo memandang penampilan kusut mereka, tiba-tiba namanya disapa oleh suara serupa sapu jagat.

“Ah, Redo, kaukah itu?” Ingin Redo pura-pura, tetapi tingkahnya kentara. “Kemarilah,” ajak si pria ketika dia berbalik.

Mau tak mau, remaja itu melangkah ke ruang tengah. Mata tajam si pria mengamati Redo dari ujung rambut ke kuku kaki. Redo pun membalas tatapan tersebut agak segan. Dari wajah yang dicoret-coret dalam ingatan Biru, dia bisa tahu tampang si pria bagai Exeggutor dibelah dua jika disandingkan dengan tampang Biru dewasa. 

Iris cokelat madu yang terbilang manis, tetapi tidak, bersama alis yang menukik. Hidung agak mancung, dagu lancip sedikit comek. Lesung pipi yang terbentuk ketika bibir tipisnya tertarik. Barisan gigi mengilat agak hitam mungkin akibat kebiasaannya saat ini. Rambut pria itu cukup mirip, cokelat madu, bergaya mirip duri, tetapi lebih rapi dan sedikit lebih pendek. Ibarat pertama kali bertemu, Redo memandangnya takjub—karena benar-benar mengingatkan akan sosok Biru.

“Kau ingin keluar? Jangan pulang malam-malam,” pesannya seraya mengibas tangan yang mengapit sigaret.

Redo asal mengiakan padahal tidak ingin ke mana-mana. Lagi pula, asap yang mengepul begitu pedih di mata. Dia pun pamit, kemudian mengambil ransel dan bayi Biru yang disembunyikan di sofa belakang pintu. Remaja itu putuskan untuk keluar saja, sekalian mengawali aktivitas pagi. Kebetulan bayi Biru sudah bangun walau masih menggeridip.

Di halaman depan, kabut tipis tampak pada kejauhan, langit pun biru gelap. Samar-samar dia bisa mendengar para Pokémon hewan mulai aktif bergerak, pepohonan meneteskan embun dari ujung daun. Redo menghirup dalam-dalam, udara beku terasa begitu relaks memasuki paru-paru.

Di bawah pohon konifer, dia dudukkan bayi Biru di atas karpet yang tergelar. Tak lupa botol susu—yang sebelum pergi dia ambil dari kulkas—beserta mainan lego diberikan kepadanya. Dengan isyarat tangan, Redo menepuk karpet dan mengangguk dua kali seraya tersenyum kecil. Yang diminta hanya diam mengisap botol dengan mata masih mengantuk.

Redo kira dia paham. Maka remaja itu menuju tengah halaman membawa kotak isi lima PokéBall. Satu bola sudah di genggaman, dan ketika dibuka, Pikachu melompat keluar beriringan semburat binar. Serentak mereka lakukan pemanasan yang meliputi sasmita kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, tangan. 

Jaringan otot di tubuh Redo menjadi panas bertepatan dengan keadaan aktif. Semua Pokémon pun dia keluarkan guna berlatih rutin. Medan area yang berupa pinggir bengawan dapat dibilang cocok. Darat dan air adalah dua dunia berbeda. Pikachu, Venusaur, Lapras, dan Blastoise berjuak di grup sungai, sementara Charizard dan Snorlax di grup padang rumput.

Gabungan antara seri jurus api, rumput, dan air menciptakan bianglala ke langit. Seiring angkasa mengusir awan-awan gelap, sinar-sinar jingga menyembur dari cakrawala timur. Hitam berganti biru terang, perlahan-lahan terlukiskan dan terus menyebar.

Redo menyaksikan bola terang muncul di horizon. Remaja itu merilekskan badan atas nikmat alam yang tak mampu didustakan. Seraya berkacak pinggang dia mulai menerima siraman matahari. Dari situ, dia menampak bayi Biru asyik menyusun lego.

Tangan mungil yang menggenggam bongkah plastik, muram.

Ekspresi senang ketika mainannya jadi kastel, guram.

Pemandangan kabur di bawah naungan pohon, suram.

Dada Redo berdebar-debar, dia remas baju seiring posisi turun ke bertelut. Kelopaknya melebar, pupil menyempit, mulut berdesis. Gerak batin tak dikenali yang menghantam sekujur tubuh hingga tak berkuasa.

Aku tidak bisa melakukannya.

Tak ada yang mampu diperbuat selain menahan rasa sakit di dada. Tubuhnya merunduk, tangan kiri menahan tanah sedang tangan lain mengurut dada. Napas terputus-putus, rintihan terdengar. Topi merahnya lolos dari kepala, rambut hitam yang basah melekat pada dahi pun pelipis.

Bayangan tentang ibu baik, sosok wanita seram, tentang ayah baik, figur yang lesap. 

Lintasan memori wanita ramah, wanita syak, Daisy senang hati, Daisy rapuh hati. Pria yang menyeringai tajam, berkuasa di atas semua itu.

Bayi Biru menangis, meraung-raung. Dari tempatnya bersila seakan meminta Redo kembali. Redo pun tertarik dari dunia khayal, itu semua yang menggenggamnya berganti pecah berkeping-keping.

Aku harus melakukan sesuatu.

Redo harus mengambil suatu keputusan.

Demi memenuhi Heal Order.

Demi Biru.

Dia pun bangkit dan mendongak menentang langit.

***

Pintu rumah terbuka. Remaja laki-laki yang menggendong masuk tanpa bersuara. Bayi di dekapan pun bungkam, hanya memandang.

Selagi dia melangkah pada lorong gelap dengan acuh tak acuh, bisa dia tangkap wanita pirang dipaksa si pria ke suatu kamar, meski tak diinginkan pun, sementara di lantai atas seorang perempuan menangis pada bantal, rintihannya makin menjadi-jadi.

Redo kembali ke kamar Biru.

Di tempat semuanya bermula, di saat sesosok jangkung berdiri di belakangnya.

###

Kudus, 25 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top