21. Damn Dad-4
Tiap kali pulih dari tak sadarkan diri, Redo menemukan dirinya di atas karpet kamar dengan bayi Biru terlelap di ranjang berpagar.
Redo tak tahu ini di waktu mana dan masa berapa, yang dia tangkap sekarang hari telah samar muka. Ruangan gelap, jendela tertutup rapat. Pada celahnya tiada sinar menyelinap. Namun, yang jadi tanda tanya ialah benda-benda di dekat. Kasur, lemari tak berdebu, baju rapi yang digantung pada dinding. Apakah dia anggota keluarga? Akan tetapi, timbul juga keinginan angkat kaki ketika masa volunter pramusiwa berakhir.
Heal Order memang seenaknya mengatur keadaan dalam kehidupan Biru.
Redo menggeleng. Tidak patut berpikir yang aneh-aneh. Ambil positifnya. Mungkin saja ini petunjuk yang sengaja dicampur aduk supaya kesulitan mencari jawabnya. Mencari cara penyelamatan Biru.
Remaja bertopi itu mengeratkan jaket dan mencangklong ransel. Hal pertama yang dia lakukan adalah keluar kamar guna mengecek keadaan. Koridor didapati terang-terang laras sehingga mendorongnya mencari tombol lampu. Di kala menurut dinding, tak dinyana telinga mendengar perbalahan dari ruangan lain. Mungkin dari kamar tengah yang menyala. Yang pintunya terbuka, memberikan pencahayaan pada sebagian koridor di depan. Perbalahan tersebut disertai seruan bernada tinggi, suara benda yang dipukul, dan siluet yang beradu fisik.
Redo sejujurnya tidak ingin menguping, tetapi segan juga jikalau menginterupsi. Jadilah dia mematung di tengah lorong dalam remang-remang, bagai menyatu bersama bayangan.
"Cukup sudah! Ibu muak!"
"Tidak, Ibu! Ibu seharusnya mendengar perkataanku!"
Redo pun menyipitkan mata, alisnya berkerut. Itu suara ibu Biru dan Daisy, nadanya tidak ramah.
"Kenapa? Kenapa kau selalu tidak mau merawatnya, Daisy?"
"Ibu tahu? Aku sebenarnya benci punya adik! Aku tidak suka dia selalu merebut kebahagiaanku!"
"Anak durhaka! Sebagai kakak seharusnya kau yang mengambil alih tugas merawatnya!"
"Lalu kenapa tidak Ibu saja yang merawatnya? Bukannya malah sibuk bekerja?!"
Rasanya Redo mendengar perkara yang seharusnya tidak dia dengar. Remaja itu tak ingin memukat mara, maka lekas-lekas beranjak dari lorong. Dari siluet yang sekarang terdiam, isak pun mulai dihasilkan, meski benda yang dibanting masih terjadi berulang-ulang. Ratapan dari si ibu terdengar di saat Redo tepat lewat di depan ambang pintu.
"Ibu juga .... Ibu juga tidak ingin bayi itu lahir!"
Mata Redo terbelalak. Tubuhnya mematung di tempat, sisi kiri tersirami cahaya dari ruangan, sementara sisi kanan amat gelap. Perlahan dia menoleh, mendapati tatapan tak senang dari dua hawa yang seolah menganggapnya pengganggu. Semua bermuka merah padam lagi sembap.
Redo pun menundukkan kepala di balik topi, lantas bergegas balik dan angkat kaki. Sepanjang lorong sampai teras langkahnya bungkuk sembari tangan meremas tali ransel.
Setelah menutup daun pintu depan, pikirannya melayang. Pandangan menekuri tanah, seakan hendak ditelan kegelitaan. Redo menggeleng, tak ingin dikuasai hawa negatif di udara.
Namun, saat menoleh ke kanan, tergemaplah raut mukanya. Tampak rumah yang silam, tak mendapat penerangan. Dihasilkan kesan tanpa penghuni bak tempat itu menyatu dengan malam.
Redo tetap menghampiri meski punggung menegang, lengan menggigil. Selepas masuk dan melepas sepatu, remaja itu menemukan isi rumah tiada presensi orang. Lampu pun mati, tombol di dinding ditekan atas-bawah beberapa kali tak berefek.
Pencariannya sampai di ruang tengah. Di atas tabung televisi, Redo mengamati beberapa bingkai foto yang kacanya pecah dengan wajah orang-orang dicoret. Lembar foto itu sobek sebagian atau digunting tak rapi. Berkat remang-remang, dia tidak dapat melihat jelas siapa.
Pikiran Redo kembali terbayang adu pendapat yang terjadi di rumah Biru. Perasaan sesak di dada, perih di mata. Dalam hati, Redo bertanya-tanya. Apakah selama ini Biru selalu mengalaminya? Tak bisa apa-apa, hanya terduduk di tepi lorong setiap kali ibu dan kakaknya bersitegang urat leher. Meski berusaha meluruskan pun, akan ditampik mentah-mentah. Pada akhirnya ego masing-masing yang memenangkan keadaan.
Kala merenungkan hal-hal demikian, atmosfer beku seketika mencekam.
Tengkuk Redo bergidik. Badannya gemetar, tangan menggigil. Napas berubah berat dan pendek-pendek.
Matanya membeliak lalu terasa perih. Gigi menggeletuk bersama jantung yang bertalu-talu.
Ada telapak tangan kurus di kedua sisi kepalanya. Yang terbuka lebar, kemudian turun ke leher. Redo pun tercekik.
Batang tenggorok seakan tertarik ke belakang, tangan Redo yang gemetar berusaha keras membebaskan dari cengkaman. Dia cekal pergelangan, lantas ditarik kuat hingga terlepas. Redo lekas berputar hampir menabrak televisi, menemukan sesosok wanita berbaju putih kusam dan rambut gelap kusut, memelotot ke arahnya seraya menggeram.
Sosok itu menjerit serak, mulut menganga hendak melantas kembali dengan lengan yang terbuka lebar.
Redo membungkuk dan menyundul tubuhnya memakai siku, mengenai dada si sosok hingga terpukul menabrak dinding.
Remaja itu mengusap leher yang merah di balik temaram. Masih dengan napas dan detak jantung bertalu-talu, dia gegas beranjak kabur, keluar dari rumah tanpa alas kaki.
Larinya membawa menuju rumah Biru, tahu tak ada jalan lain dalam kegelapan. Redo masuk lalu cepat-cepat mengunci pintu. Dalam temaram lorong, dia berusaha mendinginkan kepala, mengatur denyut nadi serta isapan udara. Setelah agak tenang, remaja itu mencerling lebih dalam. Dari ruang tengah masih berlangsung kecaburan, diiringi ramainya benda pecah belah. Ketika Redo terseok-seok lewat, tampak dua insan saling merenggut rambut.
Redo sudah tidak tahu apa-apa lagi.
Dia tutup pintu kamar Biru. Langkah gontainya mengarah kasur. Tubuh direbahkan di atas alas tidur. Bantal dia pakai menutup telinga sekaligus kepala. Riuh sangat rumah akan berbantah.
Tahu-tahu, pelupuk Redo basah. Anak sungai pun meluncur melalui pipi, membasahi seprai. Terbayang akan sosok wanita yang mengerikan, foto pria yang digunting-gunting. Dan, potret keluarga yang hancur lebur.
Dari mulut Redo keluar sedu sedan. Dia teringat pesan sang ayah ketika melepas keberangkatannya di pagi hari.
"Kau adalah anak kebanggaan kami. Tolong jaga keluarga ini, ya, Redo?" pesannya menepuk pundak Redo.
Sewaktu sekolah dasar, Redo kecil berdiri terkoteng-koteng, menyandar dinding lorong. Semua teman sekolah tampak sudah keluar kelas seraya membawa tas di punggung. Tak jauh darinya, sejumlah pria mengobrol santai. Beberapa menerima pemberian dari anak yang berbeda, beberapa bergandengan tangan. Hal itu menyulut Redo mengamati tapak tangannya, meremas udara hampa.
"Hei, Redo!" sapa dua teman sekolah. Anak yang dipanggil pun menoleh.
Seorang perempuan bertanya, "Mana hadiah untuk ayahmu?"
Perempuan lain menegurnya, "Kamu lupa, ya? Redo itu tidak punya ayah!"
"Ah ...."
Lantas dua teman itu pergi tanpa sepatah kata lagi.
Redo pun tak ambil pusing. Karena tak lama kemudian Biru datang, mengajaknya.
"Redo, ayo pulang!"
Sayup-sayup tampak langit-langit temaram. Matanya mencelik, dia pikir sudah tertidur, tetapi tetap terjaga. Di luar kamar, suara riuh pun tak terdengar lagi.
Saat firasat tak tenteram merayap,
Redo mengetahui keadaan di luar.
Di teras rumah, siluet pria jangkung berdiri. Gelap, bersama jas hitam serta topi fedora.
Redo merasakan bahaya.
Ayah Biru telah pulang.
###
Kudus, 25 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top