20. Damn Dad-3
Leksikon berkata, efek halo cenderung terjadi manakala aditokoh menilai terlalu tinggi seseorang berdasarkan kelebihannya.
Sama halnya pria itu. Figur dengan oret-oretan yang melingkupi parasnya, yang dengan percaya diri mengatakan Redo akan menjadi pelatih Pokémon terbaik. Ternyata di balik kedok tersebut, tersingkap sosok yang tak lebih dari tikus Rattata.
Redo pikir, orang yang baik akan selamanya menjadi baik. Bukanlah semudah itu membalikkan fakta?
***
Hari masih bunyi Pidgey*. Pagi-pagi benar remaja itu bangkit dari kasur. Jika ingatan di Gunung Silver terlintas, dia pasti bakal berpikir ini waktunya latihan rutin. Memang benar demikian. Refleks badan melangsungkan gimnastik aerobik guna tingkatkan pernapasan dan detak jantung. Selepas itu, tangan pun meraih tas kotak isi enam PokéBall.
Satu bola terbuka, menyemburkan cahaya. Pikachu yang pertama kali muncul. Bak tikus yang ekstra penasaran, Pokémon itu berlari memutar di hadapan kakinya.
Tatkala Redo mengerlip, lantai kayu beralih karpet merah marun. Benda-benda di sekeliling pun bertukar. Pikachu tetap statis di situ, pada jalur yang sama mengitari bayi Biru, kemudian berhenti paksa ketika ekornya diremas dan pipinya dipijit-pijit.
Lantas remaja itu terkejut. Satu PokéBall memang ada di genggamannya. Lalu perhatian pun beripindah saat memalingkan muka. Suara musik dari mainan di atas ranjang bayi yang amat merdu. Ditambah lonceng angin yang seakan menyapa.
Dia baru bisa mengerti ketika kamar Biru memberi tahu.
Sebagai pramusiwa, Redo terpikirkan ide. Ini sekalian untuk bayi Biru. Sebagiannya tertulis pada buram di catatan. Dia pun mengecek keadaan tim Pokémon. Enam Pokémon kuat yang berlatih pantang menyerah.
Atas buah pikiran tersebut, Redo menggendong bayi Biru dalam dekapan. Berbagai perlengkapan masuk ke ransel punggung. Pikachu sebagai Pokémon pendamping pun bercicit senang. Mereka keluar menjelang masa tengah hari, menyisir petak rerumputan tinggi setelah halaman rumah. Hutan kecil yang dipenuhi pohon-pohon konifera, semak belukar, dan bebatuan kerikil. Para penghuni pastilah mengamati dari persembunyian, Redo kira-kira bisa tahu.
Tangan menyibak daun sejajar tinggi, sepatu menginjak lempung. Tatkala sinar mendukung suhu udara tinggi dan respirasi menimbulkan kelembaban, satu Pokémon rumput tampak di antara belukar. Menyadari keberadaan Pikachu dan Redo, Pokémon itu pun terkejut lalu melarikan diri. Naungan pohon konifera sempat mengaburkan, apalagi celah yang terbentuk dari batang-batang lebar membuat tubuh gesitnya bergerak cepat.
Redo sangat kewalahan apalagi membawa bayi Biru di dekapan. Namun, dia memiliki Pikachu. Larinya jauh lebih kencang. Dalam hitungan detik, Pikachu berhasil mengadang si Pokémon rumput yang terlihat panik, tersentak dan gemetar di tempat. Sudah tak ada jalur kabur baginya.
Si remaja laki-laki menurunkan bayi Biru ke posisi duduk. Dia kemudian menghampiri Pokémon rumput itu. Bentuk kepalanya kantong dengan lubang mulut menyempit. Leher dan tubuhnya panjang serupa batang, terdapat sepasang daun di sisi, serta di ujung bawah membentuk akar sebagai alat gerak.
Redo mengangguk. Dari tampilan layar pada PokéDex wilayah Kanto, itu merupakan Bellsprout, Pokémon tipe rumput yang menyukai lingkungan panas lagi lembap, sesekali menyerang dengan cambukan sulur. Si remaja pun berjongkok, membuat Bellsprout bergidik. Namun, uluran tangan sejenak membingungkannya. Redo menjulang Pokémon itu, lantas dia bangkit berdiri selagi mengangkatnya hingga di atas bahu. Wajah mereka saling tatap. Redo menyentuhkan dahi ke wajah si Pokémon.
Bellsprout pun bersemu merah, menggeliat di dekapan. Ia kemudian diturunkan ke tanah, di samping bayi Biru yang bediri. Anak tersebut membuka mulut dan tersenyum cerah, merentangkan lengan kepada si Pokémon. Bellsprout awalnya agak enggan, tetapi kemudian maju. Kini keduanya mesra berpeluk-pelukan. Rambut mirip rumput bayi Biru bersentuhan dengan kepala licin Pokémon.
Setelah puas memberi tegur sapa, saat berpisah pun tiba. Bellsprout menggoyang daunnya selagi berjalan maju dengan kepala menghadap ke belakang, kepada Redo dan bayi Biru di gendongan yang melambai tangan. Di akhir, si bayi berseru riang seakan tak akan pernah melupakannya.
Bayi Biru senang bukan main, dia naik level cukup pesat. Bunyi giring-giring bertubi-tubi muncul dari kotak PokéDex v2 di saku jaket, yang saat dikeluarkan suaranya makin bising.
Di kamar Biru, Redo menghadap jendela terbuka, mengibas kerah kaus hitamnya. Bayi Biru asyik dengan mainan bongkar pasang, membangun kastel yang entah bagaimana wujudnya di imajinasi si anak.
Masa badan lelah serta peluh membasahi punggung dan dahi, Redo duduk selonjor di samping meja. Ingin rasanya tidur dengan kepala di atas meja. Beberapa detik, tidak ketahuan. Baru ketika kilau menyilaukan mata, Redo terperanjat.
Benda hitam misterius dengan sisi segi enam muncul kembali.
Entah karena kegelisahan terbit, ucapan ibunya tebersit tiba-tiba. Tentang ayah Biru. Segala visual menjadi putih absolut.
Saat masih anak-anak, Biru sering bermain bersama Redo. Mereka menghadap sebuah buku gambar, tengkurap dengan kaki terangkat dan berayun-ayun. Biru mencoret pergelangan tangan, lalu mengelusnya. Redo kira spidol dan krayon dipakai buat mewarnai Pokémon di halaman, dia takut karena salah, wajahnya jadi murung.
Biru kemudian meletakkan spidol. Katanya, dia mau cerita tentang ayahnya.
"Mau dengar?"
Redo pun berjeda, ingin mendengar.
Namun, dia tidak bisa. Suara yang keluar dari bibir Biru yang bergerak berulang kali seketika berubah denging, tak tertangkap. Redo tuli mendadak.
"Sudah mendengar?"
Redo mengangguk, tak ingin telinga sakit lebih dari ini. Mungkin saja Biru sedang menjahilinya.
Waktu pun melompat ke masa Biru telah pra-dewasa. Dia menyimpan seragam terlipat ke rak lemari kamar, tersenyum pahit ketika mendorong masuk. Di kamar rumahnya, dia mengeluh kepada diri sendiri. Harusnya di saat seperti ini dia bekerja atau bertualang. Namun, ada kepentingan lain yang perlu ditunaikan.
Ini hari ayah sialannya bebas.
Bersama ibu dan kakaknya, Biru bertandang ke rumah prodeo. Ada kesan tak menyenangkan ketika orang-orang di sana memberikan tatapan aneh. Dari sekian kerlingan, sebagian besar tertuju pada ibunya. Pantas masker serta topi menempel di hulu wanita itu.
Biru beserta Daisy duduk-duduk di kursi tunggu lobi, tidak berpatah kata, hanya menandangi lalu-lalang yang terkadang sepi, terkadang ramai. Ketika sang ibu menampakkan diri di ujung koridor sambil mengeret koper beroda, Biru pun Daisy tercengang atas apa yang mereka lihat.
Ayahnya seakan beda orang. Bak Pokémon kacang yang lupa akan kulitnya. Bersuara kasar, membentak wanita di sebelah yang katanya lambat. Lalu menggoda setiap kaum hawa yang ditemui sepanjang melangkah. Tak terkecuali Daisy, yang jika tangan Biru tidak merentang, bakal jadi mangsa tangan menggeliat si pria.
"Apakah Ayah benar-benar Ayah?" Pertanyaan Biru hanya dibalas tawa tidak jenaka. Tentu saja itu ayahnya.
Ayah dengan wajah terbalut cangkang retak-retak, yang keping demi keping jatuh terkelupas menampakkan mata memelotot, seringaian menyala.
Sebuah citra yang kelak menciptakan Biru delinkuen.
Tatkala Redo remaja mengikuti langkah penuh jejak darah tak kasatmata dari empat anggota keluarga itu, dia berhenti selepas keluar dari gerbang rumah prodeo. Dari bayang-bayang di belakang kompleks gedung, menjulanglah tiga pilar yang mencakar langit, dengan latar belakang angkasa biru hitam pekat.
Terbitlah hatif yang entah dari mana berasal. Bukan suara Biru. Bukan juga suara Tuan Hoothoot. Namun, di saat bersamaan mirip keduanya.
'Redo, berhati-hatilah,' bisik suara itu.
###
Kudus, 23 Januari 2022
● 'bunyi Pidgey' adalah pelesetan dari 'bunyi murai' yang artinya waktu pagi-pagi benar ketika murai mulai berkicau
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top