2. Biru-2
Aku benar-benar bodoh.
Harusnya tidak kuterima kotak hitam itu, harusnya aku tidak besar kepala hanya demi mendapat pengakuan darinya, harusnya aku sadar diri bahwa menemukan 'orang itu' adalah kemustahilan.
Lagi pula, benar, bukan? Sudah bertahun-tahun lamanya, tak kunjung ada kabar dari 'orang itu', bahkan bertanya ke orang-orang dan berkunjung ke berbagai tempat pun tiada hasil. Tahu-tahu tak ada angin tak ada hujan, Pak Tua dengan mudahnya mengatakan bahwa kita bisa mencari 'orang itu'? Omong kosong!
Berpikirlah, Biru, berpikir! Bukankah kau itu orang yang pintar? Mengapa bisa-bisanya sampai berakhir terjebak di tempat semacam ini? Biru yang bodoh. Biru yang ceroboh.
Mentertawakan kekecewaan cuma satu-satunya yang bisa kulakukan, dan memang itu keahlianku.
Aku terpejam, terbangun, lalu tertidur, lalu tersadar lagi. Tampak di atas sana yang gulita, pada titik cahaya, wajah Pak Tua menatap dengan raut penuh kekecewaan, kemudian berganti wajah 'orang itu' yang samar-samar, lalu menghilang jadi kegelapan. Dapat kudengar gelak mereka—gelak 'orang itu'—yang gemanya memenuhi langit-langit.
Aku memeluk tubuhku, meringis, terpejam, lalu membuka mata, menyeringai lagi. "Kuharap ini semua segera berakhir." Titik cahaya masih setia di atas sana, dengan siluet hitam tertentu.
Tanah berguncang, debris berjatuhan dari langit-langit. Aku mendongak, tampak beberapa pasang tangan membuka titik cahaya, menggali tanah, menyingkirkan bongkah batu sedikit demi sedikit, sampai akhirnya jalan keluar terbentuk.
Kulihat sesosok Pokémon mirip manusia dengan dua pasang lengan berotot, kepala dan kulitnya berwarna kelabu kebiru-biruan.
Ah, keajaiban itu ternyata ada, ya?
"Machamp, kawanku! Kerja bagus, Bung!" Aku berseru senang. Kulambai tangan dan tersenyum, tertawa kecil. Aku sedikit bingung saat Machamp memundurkan badan.
Mataku melebar, aku menoleh mengikuti batu-batu yang bergerak bagai terangkat oleh tenaga tak kasatmata. Batu yang menjepit kaki kanan turut melayang diliputi aura misterius. Di atas sana, Pokémon dengan kumis dan telinga panjang menongol, berperawakan manusia dengan rambut emas di sekujur tubuh. Dia memegang sendok, memainkannya bak pesulap.
Setelah kakiku bebas, aku mencoba berdiri, tetapi gagal. Tiba-tiba sulur-sulur besar menyusup dari lubang atas, membuat struktur kukuh semacam dinding pada tepi tebing.
Kemudian beberapa akar gantung turun, bergerak melilit tubuhku, mengangkat sampai melewati lubang. Itu terasa amat ringan. Di dekatku berdirilah Pokémon pohon kelapa dengan buah-buah yang mempunyai wajah.
"Terima kasih, Alakazam dan Exeggutor!"
Aku berhasil keluar, terbebas dari jurang yang dalamnya belasan meter. Di puncak tebing suatu daerah perbukitan, aku dibaringkan pada tilam rumput. Cahaya matahari sore menerangi dari kaki langit barat, amat menyilaukan.
Aku bangkit berselonjor dan berterima kasih kepada mereka. Enam Pokémon yang ukurannya jauh lebih besar menyambutku, berseru senang, saling berebut memeluk. Aku pun tak kalah terharu, hampir menitikkan air mata, amat bangga kepada semua partnerku yang dapat diandalkan.
Pokémon telah memberikanku kekuatan, memantapkan hati guna terus maju. Bukan berarti hanya menyerah satu-satunya pilihan ketika tak bisa melakukan apa-apa, karena di luar sana para partner tengah menungguku, memberi harapan besar yang mampu mengalahkan keputusasaan.
Ya, benar. Aku punya Pokémon yang setia menolongku di kala susah, selalu menghiburku di kala sedih, membantuku di kala buntu.
Bayangan masa keenam Pokémon masih kecil terlukis oleh cahaya senja. Kura-kura biru, anak kecil berkekuatan super, makhluk kaki dua yang matanya selalu tertutup, telur-telur jambon, anak anjing oranye berapi, burung mungil. Enam partner perjalananku yang telah berjuang dari nol sampai sekarang.
Anjing legendaris berambut bara api berhias loreng hitam menawarkan bantuan. Aku naik dengan dibantu Machamp. "Terima kasih tumpangannya, Arcanine," ujarku, menepuk punggung Pokémon itu.
Kura-kura biru raksasa dengan sepasang meriam di tempurungnya, Blastoise, mendekat. Tangan besarnya mengulurkan tas pinggangku. Aku tersanjung karena isinya sudah masuk kembali secara lengkap.
Kuambil gulungan peta, merentangkannya, memperhatikan detail demi detail; kotak-kotak bertuliskan nama kota, terhubung garis lurus bercabang. "Sepertinya di lokasi ini tidak ada informasi mengenai Pokémon yang kita cari."
Sambil meringis sedikit, kupikirkan langkah selanjutnya selagi para Pokémon menantiku.
"Pertama-tama, kita ke PokéCenter terlebih dahulu, yah?"
***
Di bangunan besar berupa fasilitas umum yang berisi barisan kursi dan sofa, komputer, serta bagian utamanya ialah meja tinggi dengan berbagai macam peralatan canggih. Aku keluar dari sana setelah istirahat dan menyembuhkan Pokémon-ku. Luka lecet diplester, kaki kanan telah dibarut dan diberi bidai. Baju sudah rapi, kulit bersih. Aku juga memperoleh tongkat untuk membantu jalan.
Suster berambut jambon model gulung sempat mengkhawatirkan, menyuruhku menetap beberapa hari dahulu, tetapi aku tersenyum lalu berkata, "Huh, luka sekecil ini tidak seberapa bagi laki-laki tangguh sepertiku. Tenang saja!"
Aku pun mengawai elegan, berlalu menaiki punggung Arcanine—sebagai Pokémon terdepan pendamping petualangan, sementara Pokémon lainnya masuk ke dalam bola khusus yang disebut PokéBall.
Kami melaju pergi dengan kecepatan hampir mengalahkan angin, membelah awan, mengarungi rimba, melompati tebing kecil. Bertualang dari satu kota ke kota lain pada wilayah bernama Sinnoh. Tempatnya hampir sama dengan Kanto, tetapi di sini dipenuhi mitos pula legenda.
Yang paling penting ialah Pokémon endemik yang hanya bisa ditemui di Sinnoh. Bersama partnerku, kami melawan Pokémon liar yang baru pertama kali kulihat dan berada di urutan tiga digit nomor pada PokéDex.
PokéDex atau Pokémon Index adalah ensiklopedia berisi informasi tentang Pokémon, cara kerja benda itu yakni secara otomatis merekam Pokémon yang baru saja ditemui, dan jika ingin lebih lengkap harus ditangkap menggunakan PokéBall.
Ketika beristirahat di sebuah kafe yang dikatakan strategis berada di persimpangan jalur utama, aku bersandar di tepi pohon yang batangnya berbalur madu. Sembari menunggu Pokémon liar tertentu datang, perhatianku kembali tertuju pada kotak hitam pemberian Pak Tua. Kusentuh salah satu permukaannya, kemudian muncul gambar Pokémon berwujud peri biru laut.
Pokédex nomor #490
Manaphy
Pokémon Penjaga Laut
Saat Manaphy lahir, ia dianugerahi kekuatan menakjubkan yang membuatnya mampu terikat dengan berbagai jenis Pokémon.
Aku agak bingung karena seharusnya jika belum ditangkap, informasi semacam ini tidak muncul, tetapi mungkin itulah fungsi keberadaan kotak hitam. Kuharap itu bisa mempermudah pencarian, walau sudah biasa ekspektasi tak sesuai realita.
Aku dan para Pokémon partner bertualang, menjelajah, bermain, bertarung bersama, sangat menggembirakan. Suatu hari di pintu gerbang antarkota, seorang pria kacamata dan berpakaian jas lab mengajakku bicara, aku tidak tahu harus berekspresi apa ketika mendengar perkataannya, hanya bisa mengangguk serta menitip pesan.
Di dalam hutan, perapian dari kayu bakar menyala, mengalahkan kegelapan. Bersandar pada Pokémon burung raksasa—Pidgeot, aku menimang kalung koin perak di leher, merenung, menatap lekat-lekat.
"Pak Tua bodoh ...."
Dan, terjadi lagi.
Memang harusnya aku tidak ke Sinnoh. Harusnya aku tidak pergi. Harusnya aku tidak egois. Ini semua salahku, maafkanlah aku.
###
Bonus
Prof. Oak: Funfact, the H in Pokémon stands for happiness.
Blue: But where is the H?
Prof. Oak: Nowhere because there is no happiness.
###
Klaten, 22 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top